ACEH BISA MENUNTUT
BELANDA ATAS AGRESI
TAHUN 1987
Ketua Komite
Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Batara R Hutagalung mengatakan rakyat Aceh
dapat menggugat dan menuntut Pemerintah Belanda ke Mahkamah Internasional atas
agresi Belanda terhadap Aceh pada 1873. Akibat agresi itu sekitar 70 ribu
rakyat Aceh meninggal, dan menyisakan kesengsaraaan meskipun Aceh tidak pernah
takluk dari Belanda.
“Belanda
menyatakan perang terhadap Aceh pada 1873 dan sejak itulah terjadi kejahatan
dan penindasan yang membuat banyak terjadi pembantaian penduduk sipil. Belanda
harus resmi minta maaf kepada rakyat Aceh atas agresi militer tersebut,” kata
Batara seusai menjadi pembicara pada Seminar Kejanggalan dalam Hubungan
Diplomatik RI-Belanda dalam Perspektif Nasional dan Lokal yang diselenggarakan
Prodi Sejarah FKIP Unsyiah di aula kampus setempat, Kamis (14/3).
Acara dibuka
Dekan FKIP Unsyiah Prof M Yusuf Aziz MPd dengan menampilkan dua pemateri yakni
Batara R Hutagalung dan sejarawan senior Aceh Rusdi Sufi. Acara yang
dimoderatori oleh sejarawan Unsyiah, Dr Husaini Ibrahim MA ini, diikuti oleh
ratusan mahasiswa Prodi Sejarah, Prodi Bahasa dan FISIP Unsyiah. Turut hadir,
Pembantu Dekan I Drs Salasih R MPd, Pembantu Dekan III Dr Jufri MSi dan
Pembantu Dekan IV Dr Wildan MPd.
Menurut
Batara pengajuan gugatan tersebut dinilai penting sebagai bagian dari upaya
mengangkat martabat rakyat Aceh yang secara langsung mengalami penindasan dari
Belanda selama masa penjajahan.
Dia sebutkan
Belanda secara jelas telah melakukan pelanggaran teritorial dimana saat itu
Aceh merupakan satu negara yang berdaulat, yang ditandai dengan adanya hubungan
diplomatik yang intens dengan Belanda dan negara lainnya.
Bahkan, kata
Batara, Aceh adalah sebuah negara berdaulat yang pertama mengakui kemerdekaan
Belanda pada tahun 1602 sebagai satu entitas politik. Namun pengakuan tersebut
dibalas Belanda dengan menyatakan maklumat perang terhadap Aceh pada 1873 yang
hingga kini belum pernah dicabut Belanda.
“Tidak
penting ada atau tidaknya pencabutan maklumat perang, tapi sekarang Aceh dapat
menuntut Belanda untuk minta maaf atas kejahatan perang yang mereka lakukan
kepada rakyat Aceh selama agresi berlangsung,” ujarnya.
Menurut
Batara pengajuan gugatan dilatarbelakangi karena Belanda harus mengembalikan
dan memulihkan martabat rakyat Aceh yang pernah dirampas hak, harta, dan bahkan
jiwa serta menyisikan kepedihan terhadap keluarga korban.
“Bukan soal menang, tapi gugatan dilakukan untuk sebuah martabat dan keadilan rakyat Aceh. Membangkitkan semangat rakyat bahwa kita bangsa yang besar,” ujarnya
“Bukan soal menang, tapi gugatan dilakukan untuk sebuah martabat dan keadilan rakyat Aceh. Membangkitkan semangat rakyat bahwa kita bangsa yang besar,” ujarnya
Prosesnya
Bisa Belajar dari Kenya
Sementara
itu ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Batara R Hutagalung
menyatakan, gugatan rakyat Aceh terhadap Pemerintah Belanda bukan hal yang
mustahil untuk dilakukan. Proses pengajuan gugatan ini dapat dilakukan dengan
membentuk Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Perwakilan Aceh. Sementara
proses pengadilannya dapat dilakukan di Mahkamah Internasional.
Ia
menyebutkan, kasus penuntutan terhadap sebuah negara jajahan terhadap negara
penjajah pernah terjadi di Kenya. Saat itu empat orang Kenya, Afrika menuntut
pemerintah Inggris atas penindasan terhadap etnis Mao Mao di Kenya yang
melakukan pemberontakan sekitar tahun 1950.
Di antara
mereka yang dibunuh, ada empat orang yang masih hidup dan jadi saksi mata.
Keempat orang ini lalu mengajukan gugatan ke Pengadilan Inggris setelah Kenya
memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada 1963.
“Tanggal 3 oktober
2012, Pengadilan Inggris memenangkan gugatan mereka. Tapi sekarang bukan soal
kompensasi lagi yang dicari. Tapi yang kita tuntutan walau satu rupiah adalah
dilakukan secara simbolis. Belanda harus resmi minta maaf kepada rakyat Aceh
atas agresi militer tersebut,” tegas Batara.
Menurut
Batara, KUKB merupakan sebuah gerakan nasional yang menuntut pemerintah Belanda
untuk mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945.
Oleh karena
itu, pada 20 Mei 2005, seperti sebelumnya juga tuntutan Komite Nasional Pembela
Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI), KUKB menyampaikan tuntutan kepada
Pemerintah Belanda untuk, pertama, mengakui de jure kemerdekaan Republik
Indonesia adalah 17.8.1945.
Kedua,
meminta maaf atas penjajahan perbudakan, kejahatan perang dan berbagai
pelanggaran HAM terutama yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia
antara tahun 1945-1950.
Siap
Mendukung
Sejarawan
Aceh, Rusdi Sufi, mendukung rencana Aceh melayangkan gugatan terhadap
belanda ke Mahkamah International.
"Saya
setuju saja kalau ada orang Aceh yang mau peduli dengan gugatan ini. Sebab
perang Belanda ini telah menyebabkan kerugian yang besar bagi rakyat Aceh. Kita
lihat saja banyak batu nisan yang membuktikan banyak orang Aceh meninggal saat
agresi Belanda terjadi," ujar Rusdi Sufi.
Dengan kata
lain melihat banyaknya kerugian dan korban nyawa rakyat Aceh yang mencapai 70
ribu orang, maka bisa saja Aceh membentuk komite untuk menuntut Belanda. Termasuk
juga pampasan perang (pembayaran yang secara paksa ditarik oleh negeri pemenang
perang kepada negeri yang kalah perang sebagai ganti atas kerugian material).
Sampai saat
ini maklumat perang belanda terhadap Aceh belum dicabut. Sejak awal memang Aceh
sudah banyak berjasa kepada Belanda, karena Aceh yang pertama mengakui
kemerdekaan Belanda. Tapi air susu dibalas air tuba.
Belanda
tetap memaksa kehendak untuk memerangi Aceh untuk sebuah prestise. Sebab Aceh
saat itu menjadi wilayah strategis masuk Nusantara, dan Belanda takut ada
negara lain yang mencaplok. Maka Belanda tetap bersikeras untuk memerangi Aceh
untuk menjadikannya bagian dari Hindia-Belanda. | SERAMBINEWS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar