Breaking News

Blogger Template

Sabtu, 15 Juni 2013

PERKARA & ALASAN PERJUANGAN ANGKATAN ACHEH - SUMATERA MERDEKA



PERKARA & ALASAN
PERJUANGAN ANGKATAN ACHEH - SUMATERA MERDEKA
Ceramah
Dimuka Scandinavian Association Of Southeast Asian Social Studies
Göteborg, Sweden, 23 Agustus, 1985
Oleh
DR, Tengku Hasan M. di Tiro
Ketua, Angkatan Acheh-Sumatera Merdeka
Terjemahan dari Bahasa Inggeris Ke Bahasa Melayu Acheh–Sumatera, bukan "bahasa indonesia" Jawa


SEJARAH
Lama sekali sebelum kedatangan penjajahan-penjajahan Eropa Barat ke Dunia Melayu (Asia Tenggara), Acheh sudah menjadi satu negara merdeka yang berdaulat di Sumatera dan diakui dunia Internasional. Pada waktu itu, negara merdeka tersebut lebih terkenal dengan nama Kerajaan Acheh, tetapi kemudian menjadi lebih terkenal dengan nama sebuah pelabuhannya yang sering dikunjungi oleh kapal-kapal Eropa, yaitu pelabuhan ‘Samudra’ di Acheh bagian Utara, dari padanyalah berasal nama Sumatera. Buku LAROUSE GRAND DICTIONNAIRE UNIVERSELLE, menggambarkan Kerajaan Acheh pada waktu itu sebagai "bangsa yang paling berkuasa di Dunia Melaju atau Hindia Timur, pada achir abad ke-16 dan sampai pertengahan abad ke –17". ("Vers la fin du XVIe siècle et jusqu’ à la moitië du XVIIe, les Achins etaient la nation dominante de l’archipel Indien.") Vol.I, p.70, Paris, 1886. Sebuah sumber sejarah yang kuat lainnya, LA GRAND ENCYCLOPEDIE, menulis sebagai berikut: "Pada tahun 1582, bangsa Acheh sudah meluaskan kekuasaannya atas pulau-pulau Sunda (Sumatera, Jawa, Borneo, dan lain-lain), atas satu bagian dari semenanjung Tanah Melaju, dan mempunyai hubungan dengan segala bangsa yang melayari lautan Hindia, dari Jepang sampai ke Arab. Sejarah peperangan yang lama sekali dilancarkan oleh bangsa Acheh terhadap bangsa Portugis yang menduduki Malaka sejak permulaan abad ke-16, adalah halaman-halaman yang tidak kurang kemegahan dan kebesarannya dalam sejarah bangsa Acheh. Pada tahun 1586, seorang Sultan Acheh menjerang Portugis di Malaka dengan sebuah armada yang tediri dari 500 buah kapal perang dan 60,000 tentara laut." ("En 1582, ils avaint étandu leur Malacca depuis le commentcement du XVIe siècle n’est pas une des pages les moins prépondérance sur les iles de la Sonde, sur une partie de la Presque ‘ile de Malacca, ils étaient en relation avec tous les pays que baigne l’océan Indien depuis le Japan jusqu´ à glorieuse de l’ histoire des Atchinois. En 1586, un de leur Sultans attaque les Portugais avec une flotte d’ environ 500 voiles montée par 60,000 marins." (Vol.IV,p.402, Paris,1874)
Tiga ratus tahun sesudah Belanda menduduki dan menjajah pulau Jawa dan pulau-pulau lain di Hindia Timur atau "indonesia", Acheh masih satu negara merdeka yang berdaulat, yang mempunyai hubungan diplomatik dengan seluruh dunia. "Pada waktu itu" kata professor M.C.Ricklefs, "Acheh berdiri sebagai satu kekuasaan besar, paling berkuasa, kaya dan bertamaddun di kawasan Asia Tenggara." (M.C.Ricklefs, A History of Modern Indonesia, Bloomington, 1981, p.335)

ANGGOTA DARI PADA KHILAFAH ISLAMIAH
Sebagai sebuah Negara Islam, Acheh tidak pernah berdiri sendirian di dunia, tetapi selamanya berhubungan dan bekerjasama dengan negara-negara Islam yang lain di dunia, terutama sekali dengan Khalifah Osmaniah di Turki yang berbendera Bulan Bintang, yang sama dengan Acheh, dan menegakkan Hukum Syari’ah Islam yang sama pula dengan Acheh. Pada zaman itu Acheh selalu memihak Turki dalam segala peperangan dengan negara-negara Barat. Mengenai kedudukan Acheh dalam Dunia Islam pada waktu itu, Professor Wilfred Cantwell Smith, menulis: "Pada abad ke-16, Dunia Islam sudah menyadi berkuasa kembali, kaya raya, mewah dan penuh kebesaran. Orang-orang Islam masa itu di Maroko, Istanbul, Isfahan, Agra, Acheh – adalah pembina-pembina sejarah yang besar dan sangat berhasil". (Wilfred C. Smith, Islam in Modern History, Princenton, 1975, p.38). Seorang ahli sejarah yang lain, Anthony Reid, telah menulis: "Dimasa sebelum Islam, dan dimasa Indonesia baru, Sumatera sebelah Utara khattulistiwa – Acheh – kelihatannya tidak penting. Tetapi dari kacamata sejarah Islam, Acheh adalah pusat Kepulauan Melayu selama lima abad lamanya. (Anthony Reid, The Contest for North Sumatra: Acheh, The Netherlands, and Britain, London, 1969, p.1)

PERJANJIAN PERTAHANAN DENGAN KERAJAAN INGGERIS
Pada tahun 1819, Kerajaan Acheh dan Kerajaan Inggeris menanda-tangani sebuah Perjanjian Pertahanan. Tujuan dari pada Kerajaan Acheh ialah supaja ada satu negara sahabat yang kuat. Tujuan dari Kerajaan Inggeris adalah untuk dapat menguasai Selat Melaka. Maksud dari pada Inggeris itu sudah diterangkan dengan jelas sekali oleh seorang anggota Parlemen Inggeris, Thomas Gibson Bowles, sebagai berikut: "Selat Melaka itu adalah pintu gerbang perniagaan antara Eropa dan Laut Cina. Hal ini dapat dipahami dengan selayang pandang pada peta dunia. Dan dimasa Kerajaan Inggeris masih mempunyai ahli-ahli negara, Selat Melaka itu dipandang dan diperlakukan sebagai tujuan yang penting sekali, satu pintu dunia yang tidak boleh ditutup orang terhadap perdagangan kita, dalam masa damai atau dalam masa perang. Tujuan ini telah kita jamin dengan menduduki Penang, Singapura, dan tempat-tempat penting (strategis) yang lain di sebelah utara-timur dari Selat Melaka, dan dengan membuat satu perjanjian Pertahanan dengan Raja Islam Acheh, yang memerintah pulau Sumatera. Dengan demikian satu pihak dari Selat Melaka ada dalam tangan kita sendiri, sedang pihak yang lain ada dalam tangan negara sahabat kita yang dapat dipercayai. Semua ini sudah kita capai dan kita buat menjadi satu kenyataan pada tahun 1819, dalam Perjanjian Pertahanan dengan Kerajaan Acheh itu. Perjanjian itu dianggap sebagai satu kemenangan diplomasi kita yang gilang-gemilang atas Belanda, dengan siapa kita sudah berlomba-lomba selama 200 tahun belakangan ini, untuk menentukan siapa yang berkuasa di perairan seberang lautan itu. Dengan adanya Perjanjian Pertahanan dengan Sultan Acheh itu, kita memperoleh Selat Melaka berada penuh dalam tangan kita." (Thomas Gibson Bowles, FRAZER’S MAGAZINE, London, Januari, 1874, p.124). Yang mengusahakan Perjanjian Pertahanan Acheh-Inggeris ini adalah tidak lain dari Sir Stamford Raffles, pembangun Singapura yang kenamaan itu.

PEPERANGAN DENGAN BELANDA: KEMENANGAN ACHEH – KEKALAHAN BELANDA
Belanda, yang pada waktu itu sudah lebih 300 tahun menjajah pulau Jawa, selalu berusaha dengan tiada berhenti-hentinya untuk merebut wilajah Kerajaan Acheh disepanjang pantai selatan Pulau Sumatera untuk dimasukkan ke dalam daerah jajahannya. Pada tanggal 26 Maret, 1873, Belanda mengirim satu Ultimatum kepada Kerajaan Acheh yang masih tetap merdeka dan berdaulat itu, dan mempunyai Perjanjian Pertahanan dengan Kerajaan Inggeris, supaya menyerahkan Negeri Acheh dengan tidak melawan, dan supaya Negeri Acheh menjadi satu bagian dari Hindia Belanda alias "indonesia". Waktu Kerajaan Acheh menolak ultimatumnya itu, maka Belanda menyerang Acheh dengan mendaratkan 10,000 tentara Belanda, dibawah pimpinan Jenderal Köhler. Itu adalah pasukan Eropa yang terbesar pernah dikumpulkan di Asia Tenggara untuk melakukan serangan dalam sejarah.
Pada tanggal 23 April, 1873, dalam Medan Perang Bandar Acheh, Tentara Belanda dihanjur-leburkan oleh Tentara Negara Acheh dan Panglima Besar Belanda, Jenderal Köhler, dihukum mati oleh Tentara Acheh sebagai penjahat perang di Kuta Raja. Ini adalah kakalahan penjajah Belanda atau Eropa yang paling besar di Asia Tenggara dalam sejarah penjajahan mereka. Surat kabar LONDON TIMES, pada tanggal 22 April, 1873, memuat laporan lengkap dari Medan Perang Bandar Acheh, dimana antara lain ditulis: "Suatu kejadian yang luar biasa dalam sejarah penjajahan baru sudah terjadi di Kepulauan Melaju. Satu kekuatan Eropa yang besar sudah dikalahkan oleh tentara anak negeri, Tentara Negara Acheh. Bangsa Acheh sudah mencapai kemenangan yang memutuskan. Musuh mereka bukan saja sudah kalah tetapi dipaksa lari". Dalam laporan lengkap itu, ditulis lagi oleh surat kabar London, bahwa Acheh bukanlah tanah jajahan Belanda dan Belanda sama sekali tidak mempunyai hak menyerang Acheh. Surat kabar Amerika, THE NEW YORK TIMES, pada tanggal 6 Mai, 1873, menulis sebagai berikut: "Suatu pertempuran yang berlumur darah sudah terjadi di Acheh. Serangan Belanda sudah ditangkis dengan penyembelihan besar-besaran terhadap tentara Belanda. Panglima Belanda sudah dibunuh dan tentaranya lari lintang-pukang. Kekalahan Belanda itu di anggap hebat sekali dan ini terbukti dengan debat yang sudah terjadi dalam parlemen Belanda di den Haag, dimana seorang anggota Parlemen sudah menyatakan bahwa kekalahan di Acheh ini adalah permulaan dari kejatuhan kekuasaan Belanda di Dunia Timur."
Pada tanggal 15 Mai, 1873, surat kabar THE NEW YORK TIMES, mengelurkan sebuah tajuk rencana (editorial) dimana antara lain tertulis:
ACHEH
"Sekarang boleh dikatakan bahwa sudah dimulai pendidikan Acheh kepada keturunan Kristen yang baru.
"Segera akan diketahui umum bahwa Bangsa Acheh itu bukanlah satu bangsa biadab yang tidak berurat-saraf (tidak pandai berpikir), tetapi mereka adalah bangsa Islam yang baik sekali dan bangsa pahlawan.
"Segera akan nyata bahwa, sebagai musuh mereka, sekarang, juga mempunyai tanah jajahan mereka sendiri pada suatu masa, dan ada waktu-waktu ketika mereka begitu kuat hingga dapat mengepung armada Portugis di kota Melaka. Begitu juga akan menjadi pengatahuan umum bahwa pada suatu waktu, Sultan Acheh adalah sahabat karib dari Raja Inggeris, James I, yang pernah memberikan dua buah meriam besar kepada saudara Acheh-nya. Meriam-meriam itu sekarang turut mempertahankan istana penggantinya di Sumatera".
Kekalahan Belanda yang sangat memalukan di tangan bangsa Acheh menimbulkan komentar-komentar yang luar biasa dari pada ahli-ahli sejarah di seluruh dunia. Misalnya, Professor Ricklefs, menulis: "Baru sekarang kaum kolonialis sudah berhadap-hadapan muka dengan lawan yang paling kaya, paling kuat, paling beraturan dan berdisiplin, paling lengkap bersenjata dan paling keras bersifat merdeka." ( M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia, p.137)

KEDUDUKAN KEBESARAN ACHEH DALAM DUNIA INTERNASIONAL
Adalah satu tanda dari pada kedudukan Kerajaan Acheh yang terkemuka dan menduduki tempat penting dalam dunia ketika President Ulysses.S.Grant dari Amerika Serikat segera mengeluarkan satu pernyataan yang luar biasa, yang dinamakan ‘Pernyataan Berdiri-Sama-tengah Yang Tidak Memihak’ (‘Proclamation of Impartial Neutrality’) dalam perang antara Belanda dengan Acheh. Dalam perjanjian ini dinyatakannya pula bahwa Amerika Serikat tidak mau membenarkan serangan Belanda atas Acheh. (MESSAGES AND PAPERS OF THE PRESIDENTS, washington, D.C. , 1874).
Sesudah kemenangan di Bandar Acheh barulah pemerintah Kerajaan Acheh menuntut kepada pemerintah Inggeris supaja menunaikan tugasnya membantu Kerajaan Acheh menurut Perjanjian antara kedua negara. Menurut perjanjian itu Inggeris mempunyai keawajiban untuk membantu Acheh melawan serangan Belanda. Tetapi amat disesalkan bahwa pemerintah Inggeris pada waktu itu mengchianati perjanjian yang sudah ditanda-tangani oleh wakil2nya yang berkuasa penuh itu. Kejadian ini akan tetap mendajdi bukti dan saksi sejarah bagaimana janji2 Kerajaan inggeris itu tidak dapat diperjajai. Debat yang terjadi di parlemen Inggeris perkara Perjanjian Pertahanan dengan Kerajaan Acheh ini kemudian membuktikan bahwa pemerintah Inggeris sudah menerima suapan dari Belanda supaja tidak menepati dan menghormati janjinja dengan Kerajaan Acheh, dengan Belanda menyerahkan satu jajahannya di Afrika kepada Inggeris: jajahan itu ialah Gold Coast, sekarang Ghana. Lord Granville, Menteri Luar Negeri Inggeris pada waktu itu, dalam jawabannya kepada Habib Abdul Rahman Zahir, Menteri Luar Negeri Acheh, pada 15 Juli, 1873, tidak pernah mengatakan bahwa Perjanjian Pertahanan Acheh-Inggeris itu tidak sah, atau tidak berlaku lagi, atau sudah dibatalkan, tetapi ia hanya mengatakan bahwa Inggeris tidak mau memenuhi kewajibannya menurut Perjanjian itu. Oleh Menteri Luar Negeri Inggeris itu tidak dibantahnya perkara ada dan sah-nya Perjanjian itu. Ia hanya tidak mau melakukan kewajibannya menurut Perjanjian itu. Alasan yang diberikannya untuk berchianat itu ialah karena Inggeris "sudah menanda-tangani satu perjanjian lain dengan Belanda yang isinya berlawanan dengan Perjanjian dengan Acheh itu" dan juga dengan alasan bahwa Inggeris "telah tidak menjalankan dengan terus-menerus kewajibannya terhadap Acheh dalam Perjanjian itu."
Politik pemerintah Inggeris untuk tidak menghormati dan mengchianati Perjanjian-nya dengan Kerajaan Acheh itu mendapat kejaman yang amat keras dalam surat2 kabar Inggeris, dan dalam Parlemen inggeris hungga hal itu menjadi perdebatan besar dalam pemilihan umum beberapa tahun lamanya. Hal ini juga menjadi satu bukti tentang kuatnya kedudukan Acheh dalam politik dunia internasional sebagai satu negara merdeka yang kedaulatannya diakui dunia dan tidak pernah menjadi persoalan atau perdebatan. Thomas Gibson Bowles, seorang pemimpin partai politik dan anggota Parlemen menulis sebuah artikel dalam majallah FRAZER’S MAGAZINE, yang terbit di London, dimana ia menamakan jawaban Lord Granville kepada Acheh sebagai "satu dokumen yang paling tidak mempunyai rasa malu, yang pernah ditulis manusia". Ia menamakan Perjanjian Inggeris-Belanda dimana Belanda menyerahkan satu daerah di Afrika kepada Inggeris untuk merugikan Acheh sebagai "satu tawar-menawar haram", dan jawaban Menteri Luar Negeri Inggeris kepada Acheh dinamakannya satu "satu pengakuan yang memalukan untuk meninggalkan kewajiban terhadap Acheh yang mencerminkan sikap orang2 Kementrian Luar Negeri Inggeris yang selalu sedia mengchianati Perjanjian antara-negara." Thomas Gibson Bowles membuat kesimpulan: "Surat dari Lord Enfield (Wakil dari Lord Granville) kepada Sultan Acheh bersifat sama sebagai di atas juga, sebab waktu oleh Sultan Acheh diminta bantuan Inggeris, menurut Perjanjian, supaja Inggeris membantu Acheh, oleh Enfeld dikatakan bahwa Inggeris tidak dapat memenuhi Perjanjian itu sebab Inggeris sudah lebih dahulu melanggarnya, dan ia menasehati Sultan Acheh supaja berbaik-baik dengan Belanda yang menyerangnya. Dalam kedua kedua perkara ini, pihak yang bersalah yang berpura-pura berchutbah kepada pihak yang menjadi korban, dan melatakkan atas pundak yang tidak bersalah, tanggung-jawab dari pihak yang bersalah. Kami mengatakan bahwa yang bersalah adalah pemerintah Inggeris." (FRAZER’S MAGAZINE, London, Januari, 1874,p.124-134).
Lord Stanley of Alderley, seorang bangsawan Inggeris, berdiri dalam Majlis Tinggi Parlemen Inggeris (House of Lords) membela Acheh dan mengejam Pemerintah Inggeris sebab telah melanggar Perjanjian Pertahanan dengan Achehh. Beliau menuntut supaja Pemerintah Inggeris menghormati dan memenuhi kewajibannya menurut Perjanjian Pertahanan tersebut, dan supaja Inggeris membantu Acheh melawan Belanda. Dalam sebuah pidato pada tanggal 28 Juli, 1873, beliau berkata:
"Belanda tidak mempunyai alasan dan tidak mempunyai sebab untuk menyerang Acheh yang tidak berbuat apa2 kepada Belanda. Sekarang Belanda sudah menyerang Negara Acheh dan sudah dikalahkan dan digagalkan. Kejatuhan Acheh akan menyebabkan kehancuran kemuliaan kita diseluruh Asia Timur dan Asia tenggara; kekejewaan besar akan dirasa oleh warga Inggeris di Asia Tenggara dan oleh orang2 Melaju di Malaja, yang kesan baik dari mereka adalah sangat penting bagi kita. Perjanjian baru antara inggeris dengan Belanda ini bukan saja merusakkan kemuliaan Negara Inggeris tetapi juga merusakkan kepentingan ekonomi kita. Sistem penjajahan Belanda di Jawa bukan saja berlawanan sekali dengan kebebasan perdagangan, tetapi hampir tidak berbeda dari perbudakan – Belanda menamakannya "kerja-tidak-bergaji" – sehingga tidak ada alasan sama sekali mengapa pemerintah Inggeris mau menolong meluaskan sistem ini samapai ke Sumatera Utara, atau se-kurang2nya mengapa tiadk dibuat pengejualian untuk Acheh sebab Negara Acheh berhak mengharap kita tidak melupakan kemerdekaannya yang dari zaman purbakala, dan sejarahnya yang gilang-gemilang, sebab Acheh sudah menjadi satu negara Merdeka ketika Belanda masih satu provinsi Spanyol.
"Sejak waktu itu Acheh sudah mempunyai pengaruh yang besar sekali atas Selat Melaka, dan mengirimkan armada besar2, yang sering mengalahkan armada yang besar2, yang sering mengalahkan armada Portugis dalam setiap peperangan. Lebih 300 tahun yang lalu Acheh sudah meletakkan dirinya dibawah perlindungan Chalifah osmaniah (Turki) dan meriam besar2 yang dikirimkan oleh Sultan Salim sebagai hadiah kepada Raja2 Acheh masih dapat dilihat sampai sekarang di Pidië dan Pasè. Perlu kita tanya: mengapa Belanda telah menyerang satu negara Merdeka dan berdaulat yang tidak berbuat apa2 terhadap negeri Belanda, dan ini dilakukan pada waktu dimana Belanda sendiri masih takut kemerdekaannya yang baru diperoleh itu mungkin dirampas oleh negara lain, lebih2 sesudah perang Perancis – sebab semua kita mengatahui bahwa di Jerman ada satu partai yang ingin mengambil negeri Belanda dan merampas tanah jajahannya sekali, dan sebagian besar orang Jerman sudah jakin bahwa golongan terbanyak dari bangsa Belanda memang ingin bersatu dengan Jerman. Dalam hal ini, Jerman mempunyai hak yang sama besar atau sama kecflnya seperti "hak" Belanda untuk menyerang dan menjajah Acheh. Jawa saja tidak menjadi soal, tetapi kalu Sumatera dimasukkan kebawah Jawa maka mungkin baru inggeris tidak akan mengakuinya. Dalam sesuatu keadaan, sikap pemerintah Inggeris sudah dapat diterka, misalnya seperti waktu negeri Belanda jatuh dalam tangan Perancis pada awal abad ini (dimana Inggeris menduduki Jawa supaja Jawa dyangan diambil oleh Perancis). Inggeris masih mungkin membiarkan Jawa jatuh ketangan Tuan-nya yang lain, tetapi mustahil Inggeris dapat menerima Acheh jatuh kedalam tangan sesuatu kekuasaan militer yang kuat. Sebab sebagai sudah dikatakan oleh Admiral Sherard Osborn baru2 ini, Acheh adalah satu tempat yang amat penting sekali dalam strategie perang lautan." (HOUSE OF LORDS, Speech of Lord Stanley of Alderlley, 28 juli, 1873. Hansard, Vol. 217, p.1077-1081)
Dalam perdebatan yang terus-menerus di Inggeris perkara perjanjian Pertahanan dengan Acheh yang sudah dilanggar Inggeris itu, ada juga yang memakai alasan bahwa Perjanjian Belanda-Inggeris tahun 1871 sudah membatalkan Perjanjian Acheh-Inggeris tahun 1819. Thomas Gibson Bowles menjawab soal ini dalam satu suratnya kepada surat kabar LONDON TIMES, 3 Febuari, 1874, sebagai berikut: "Perjanjian Belanda-Inggeris tahun1871 sama sekali tidak dapat membebaskan Pemerintah Inggeris dari kewajibannya menepati janji untuk mempertahankan Acheh menurut Perjanjian Pertahanan tahun 1819. Maka adalah satu pelanggaran keperjajaan umum yang luar biasa dan hina sekali untuk menolak menepati kewajiban yang timbul dari Perjanjian yang sudah ditanda-tangani itu." (THE TIMES, London, 3 Febuari, 1874, p. 10).
Surat kabar London, VANITY FAIR, tanggal 12 September, 1874, mengeluarkan tajuk rencana (editorial) mengenai Perjanjian Pertahanan Acheh-Inggeris yang sudah dichianati itu:
"Perhatian sudah diminta berulang-ulang oleh banyak penulis2 kepada surat kabar ini mengenai pelanggaran yang besar sekali kepada Perjanjian Negara antra Inggeris dengan Acheh dimana inggeris telah menolak kewajiban untuk membantu satu negara sahabat jaitu Kerajaan Acheh. Perbuatan ini telah dimulai oleh Pemerintah Gladstone dan diteruskan lagi oleh Pemerintah Disraeli sampai kini. Keduanya menolak memnuhi kontrak yang sudah ditanda-tangani atas nama Kerajaan Inggeris pada tahun 1819, dengan Kerajaan Acheh, untuk membantu negara itu kalau diserang musuh. Perdana Menteri Disraeli, ketika ditanya dalam sidang Parlemen dalam perkara itu, tidak berani membantah tentang adanya Perjanjian itu – sebab ia tidak bisa – karena Perjanjian itu masih tetap legal dan mengikat, tetapi masih terus-menerus dilanggar. Perkara ini hendak didiamkan oleh orang2 yang tertentu dalam Kabinet, tetapi menyebabkan malu dan amarah orang2 yang mengatahui apa yang sudah terjadi dalam soal ini. Keterangan tambahan yang sangat berharga sudah datang lagi dari singapura, dan telah dikeluarkan oleh surat kabar MORNING POST, hari Senin yang lalu - satu surat yang rupanya ditulis oleh seorang yang mengatahui segala apa yang terjadi disekitar soal itu. Dalam surat itu ditulis: "Dewasa ini semua kami yang ada disini sependapat perkara politik busuk - itulah istilah yang terbaik yang dapat kami pakai - yang di ikuti oleh pemerintah di London dalam perjaungan yang sedang berlaku antara Belanda dengan Bangsa Acheh. Inggeris mestinya tidak berdiri menonton saja, dengan tidakberbuat apa2, melihat sahabat sjarikat lama (Acheh bukan hanya sjarikat lama tetapi masih masih sjarikat baru sampai sekarang menurut hukum Perjanjian antara negara) ditaklukkan dengan tidak mengatakan apa-apa, apalagi berbuat sesuatu membantu mereka. Sikap Inggeris ini sedang meruntuhkan nama, kemuliaan dan kepentingannya dibagian dunia ini.
"Dikatakan bahwa Inggeris adalah neutral dalam perang ini, tetapi Belanda dibiarkan mempergunakan wilajah jajahan kita disini sebagai basis operasi menyerang Acheh. Jadi Inggeris bukan saja tidak membantu Acheh, sebagai kewajibannya menurut Perjanyian, tetapi ia memberikan kepada Belanda segala bantuan untuk menaklukkan Acheh. Sudah pasti ini adalah puncak dari pengkhianatan. Dan Perdana Menteri baru, Tuan Disraeli, sesudah menyela Perdana Menteri lama, Tuan Gladstone, dalam perkara ini, sekarang dia sendiri juga berbuat demikian: membantu Belanda mendudukkan Acheh. Walaupun demikian masih banyak orang yang menyangka bahwa dalam demokrasi semua dapat diperbaiki dan diobah dengan menggantikan satu kabinet dengan kabinet yang baru, partai pemerintah dengan oposisi. Satu bangsa sudah menjadi rendah sekali apabila ia tidak perduli lagi kepada kehormatannya dan kepada perkara2 seperti ini.
"Perkara kenyataan dalam soal ini tidak mungkin ada perdebatan: sebab semuanya adalah terang-benderang. Inggeris terikat dengan Perjanjian Pertahanan untuk mempertahankan Acheh. Mula2 Lord Granville berusaha menolak perjanjian itu. Lord Derby, yang seharusnya memperbaiki nama baik negerinya dan bangsanya tetap berbuat sebagai orang2 yang digantinya. Mereka adalah pantas menjadi Menteri2 dari pada satu bangsa yang sudah hilang perasaan kehormatannya."
Surat kabar London, PALL MALL GAZETTE, pada 30 Januari, 1874, menulis sebagai berikut:
"Pada tahun 1819, pemerintah kita dapat menguasai Selat Melaka. Segala perdagangan dengan Jina dan Jepang harus melalui selat yang penting ini. Kita memperoleh kontrol yang penuh atas Selat Melaka dengan adanya Perjanjian Pertahanan 1819 dengan Kerajaan Acheh. Bagian tepi pantai Melaka kita kuasai sendiri langsung. Tepi pantai sebelah Sumatera kita amankan dengan Perjanjian Pertahanan dengan Sultan Acheh yang menguasai seluruh pantai Sumatera. Tiga tahun yang lalu Belanda datang kepada kita. Mereka mengatakan jika kita biarkan mereka menyerang Sultan Acheh dan merebut Negeri Acheh, mereka akan memberikan kepada kita satu daerah jajahannya di Afrika, di Gold Coast. Jika kita serahkan Selat Melaka kepada mereka, mereka akan memberikan kepada kita sekeping tanah Gold Coast yang tidak berharga apa2 kepada mereka, dan lebih dan lebih tidak berharga lagi kepada kita. Dan jika kita terima hadiah mereka, kita akan terlibat dalam peperangan dengan Raja Kofi. Ini adalah usul gila, tetapi kementrian kita menerimanya, dan mengorbankan Sultan Acheh kepada serangan Belanda, walaupun kita sudah menada-tangani perjanjian untuk mempertahankan kemerdekaan Acheh. Tidak pernah ada satu "tawar-menawar" semajam ini dalam sejarah negeri Inggeris. Tetapi sudah diterima oleh Menteri2 kita. Perdana Menteri Gladstone membuatnya seakan-akan satu rahsia besar yang katanya mengingatkannya kepada surat-menyurat diplomatik. Jika sebagai kata Tuan Gladstone: adalah satu kesalahan pemeritah Konservatif yang telah memberikan Siak kepada Belanda, dan itu adalah salah; tetapi itu tidak mebuat politiknya terhadap Acheh benar. Kita tidak bersumpah membela siak, tetapi kita telah bersumpah membela Acheh. Sebab itu Inggerislah yang bertanggung-jawab atas darah yang berjujuran di Acheh."
Patut kita singgung disini juga satu kenyataan lain, jaitu bahwa Belanda harus menghadapi kesukaran2 diplomatik yang bukan kejil dalam Dunia Islam dalam mengahadapi Acheh, lebih2 Turki, oleh karena kedudukan Acheh yang kuat sebagai bagian dari pada Chalifah Islamiah. Di Turki pada waktu itu besar gerakan untuk jampur tangan langsung membantu Acheh. Surat2 kabar Turki pada masa itu seperti BASIRAT, JEVAIB, LA TURQUI, semuanya terbit di Istanbul, penuh dengan artikel2 dan editorial yang membantu Acheh. Semua ini menunjukkan kekuatan diplomasi Acheh di dunia.

SERANGAN BELANDA YANG KEDUA DAN KEKALAHAN YANG TERACHIR
Sebagaimana yang terjadi, sesudah kekalahannya dalam serangan pertama itu, Belanda melakukan serangannya yang kedua, ketiga, ke-empat, ke-lima dan ke-enam, dengan tidak pernah mencapai kemenangan yang sesungguhnya terhadap bangsa Acheh yang mempertahankan dirinya itu. Perang Belanda (sebagai bangsa Acheh melihatnya) berjalan hampir satu abad, sehingga oleh majalah Amerika, HARPER’S MAGAZINE, sudah dinamakannya sebagai ‘PERANG SERATUS TAHUN MASA INI’ (HARPER’S MAGAZINE, New York, Agustus, 1905: ‘THE ONE HUNDRED YEARS WAR OF TODAY’). Achirnya bangsa Belanda sudah dikalahkan oleh Bangsa Acheh dalam pertempuran2 yang terjadi diseluruh Acheh pada bulan Mart, 1942, sebelum Jepang masuk ke Acheh dalam Perang Dunia ke-II. Demikianlah, Belanda tidak pernah menanda-tangani surat menyerah kepada Belanda, atau surat berdamai dengan Belanda, dan perlawanan tidak pernah dihentikan sampai achirnya Belanda diusir dari bumi Acheh dengan segala kehinaan.
Tetapi diantara dua tanggal itu, nyakni antara tanggal 26 Mart, 1873 (ketika Belanda menyatakan perang kepada Kerajaan Acheh yang merdeka dan berdaulat) dan bulan Mart 1942 (ketika semua Belanda dan kaki-tangan-nya diusir dari Acheh) Belanda pernah membuat propaganda bohong yang mengatakan bahwa mereka sudah dapat ‘menaklukkan Acheh’ Negara Acheh, dan bahwa mereka sudah ‘sah’ menduduki Acheh, jaitu ‘legal’. Propaganda Belanda ini adalah palsu dan bohong sama sekali. Belanda tidak pernah dapat berbuat sebagai apa yang dipropagandakannya itu. Sebagaimana sudah diketahui, serangan Belanda yang pertama, dibawah pimpinan jendral Kohler, sudah dihancur-leburkan oleh Tentara Acheh dan Kohler sendiri dihukum mati di Kuta Raja. Serangan Belanda yang kedua dibawah pimpinan jendral Van Swieten, yang dimulai pada tanggal 25 Desember, 1873, dengan kekuatan yang jauh lebih besar lagi dari serangan yang pertama, juga tidak mendapat kemenangan, sebagaimana sudah diakui sendiri oleh Van Swieten dalam buku-nya DE WAARHEID OVER ONZE VESTIGING IN ACHEH (Keadaan sebenarnya tentang pendudukan kita di Acheh), 1879. Dalam bulan Januari, 1874, segera sesudah ia mendarat dipantai Acheh, van Swieten menyatakan kepada dunia bahwa ia sudah ‘mengambil’ (annexed) Kerajaan Acheh dan memasukkannya ke dalam Hindia Belanda (alias "indonesia). Ini telah dilakukannya untuk menyenangkan hati bangsa Belanda yang telah begitu malu dimata dunia atas kekalahan-kekalahan yang mereka terima dari tangan bangsa Acheh. Tetapi karena Negara Acheh dan Tentara Acheh yang sangat kuat itu masih berdiri danmengalahkan tentara Belanda dalam setiap medan perang yang terjadi sesudahnya, maka propaganda bohong dari Van Swieten itu tidak dapat disembunyikan kebohongannya dari mata dunia, sehingga pernyataan Van Swieten itu menjadi masjhur dengan nama "Van Swieten’s illegal Annexation of Acheh" (Anthony Reid, ‘VAN SWIETEN’S ILLEGAL ANNEXATION OF ACHEH’, The Contest for North Sumatra). Kemudian dari pada itu, pada tahun 1879, Van Swieten sendiri mengaku bahwa ia sebenarnya tidak pernah dapat menaklukkan Acheh, dan ia meminta kepada bangsanya supaja ia dyangan lagi dipanggil dengan nama julukan "Penakluk Acheh" sebab katanya ia malu – karena ia tidak pernah dapat menaklukkan bangsa Acheh. Berdasarkan atas pengalamannya sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang Belanda di Acheh, Van Swieten mengatakan bahawa ia sudah jakin bangsa Acheh itu tidak mungkin dapat dikalahkan dalam medan perang. Sekarang ia mengatakan bahwa Perang Acheh itu satu kesalahan dari pemerintah Belanda. Belanda wajib menarik diri dari Acheh dan mengakui Acheh sebagai Negara Merdeka kembali. Perang Acheh bukan saja menghanthurkan tentra Belanda di Acheh, tetapi akan menghancurkankekuasaan Belanda di "indonesia" . Van Swieten begitu jakin pada pendiriannya itu hingga ia menyusun satu gerakan politik di negeri Belanda untuk mempengaruhi pemerintah Belanda supaja mengikuti kebijaksanaan politik yang dianjurkannya. Kata van Swieten : "Une nation ne meurt pas de reconnaitre une faute, mais d’y persister" – satu bangsa tidak akan mati karena menginsafi satu kesalahan yang sudah dibuatnya, tetapi akan mati karena jika bangsa itu terus-menerus melakukan kesalahan itu! Seorang jendral Belanda yang sudah menyatakan bahwa sudah ‘mengambil’ dan sudah ‘menaklukkan’ dan sudah ‘memasukkan’ Negara Acheh Merdeka kedalam "indonesia"-nya, kini menuntut supaja Acheh di akui sebagai Negara Merdeka kembali. (J.VAN SWIETEN, DE WAARHEID OVER ONZE VESTIGING IN ACHEH)
Tetapi lagi-lagi, pada tahun 1881, pemerintah Belanda menyatakan bahwa Acheh sudah dapat ditaklukkan dan bahwa Perang Acheh sudah selesai dengan kemenangan bagi pihak Belnda. "Ini adalah angan2 yang bukan2, yang tidak berdasar kenyataan, yang dibikin-bikin oleh kaum penjajah," tulis peofessor M.C.Ricklefs, dalam bukunya A HISTORY OF MODERN INDONESIA, Bloomington, Indiana University Press, 1981, p.137. Seterusnya ia memberi komentar sebagai berikut: "Perang Acheh adalah satu peperangan yang lama dan pahit sekali. Ketika tentara Belanda maju sambil menjatuhkan bom dan membakar kampung2, penduduk lari ke gunung2 tetapi tetap meneruskan perlawanan mereka…. Perlawanan dipimpin oleh ulama2 dan yang paling masjhur adalah Tengku Jhik di Tiro (1836-91), dan perlawanan menjadi perang suji antara Ummat Islam dan kafir. Achirnya Belanda menjadi sadar bahwa mereka tidak menang apa2, dan tidak menguasai sejengkal tanah diluar tangsi2 mereka. Biaja peperangan ini begitu besar sehingga pada tahun 1884-5 Belanda terpaksa menarik mundur tentaranya ke benteng2, dan dengan demikian maka negeri Acheh kembali dalam tangan bangsa Acheh sendiri."
Surat kabar London MORNING POST, menulis dalam editorial-nya pada hari 2 Juli, 1874, sebagai berikut:
"Sudahlah menjadi satu kenyataan bahwa bangsa Acheh itu bukanlah satu bangsa yang mudah dikalahkan orang. Mereka sudah memperlihatkan kekuatan dan kesanggupan yang hampir2 tidak ada jontohnya dalam melawan dan menentang sipenjajah negeri mereka. Laporan yang terachir, yang kami terima dari sumber2 yang diperjajai, memperlihatkan betapa besar kekuatan dan bagaimana keras tekad mereka untuk meneruskan peperangan: mereka munjul kembali ditempat-tempat dimana tadinya mereka sudah dikalahkan dan ditempat-tempat yang sama sekali tidak disangka-sangka oleh Belnda…. Kabarnya kenyataan2 ini sudah begitu besar mempengaruhi dan mengobah pendapat jenderal Van Swieten mengenai semangat perang bangsa Acheh. Satu bangsa yang sanggup berperang dengan semangat yang semajam ini tidak akan segera menyerah, dan kini sudah terang bahwa Belanda sudah salah terka dengan pernyataan2nya yang mengatakan peperangan akan segera berachir…. Keberanian bangsa Acheh memaksa kita mengangkat tangan; memberi hormat; dan ada sesuatu dalam semangat bangsa yang baik ini yang menyebabkan mereka tidak mau merendahkan diri kepada sipenjajah dan musuh2 mereka yang sudah rusak, atau mendirikan yang baru ditempat benteng lama yang sudah roboh, dan dari sana membalas tembakan2 Belanda walaupun tidak kena, tetapi mesti ada balasan! Oleh karena itu apakah perlu diherankan bahwa ‘kemenangan’ Belanda itu begitu tidak mejakinkan? Ketika sejarah perang antara Belanda dengan Acheh ini ditulis dan dibukukan, kita pikir, hal itu tidak akan menambah kebesaran bangsa Belanda."
Hal ini sbenarnya sudah kejadian. Sampai sekarang sudah lebih 500 buku sejarah ditulis dalam bahasa Belanda mengenai Perang Belanda dengan Acheh itu dan sungguhlah bangsa Belanda tidak keluar dari halaman2 sejarah itu lebih baik dari sudut moral dan militer. Sebaliknaj bangsa Acheh-lah yang tenyata lebih besar dan lebih baik dari sudut moral dan militer, dalam tekadnya untuk hidup sebagai bangsa yang merdeka. Dalam satu diantara buku2 sejarah Perang Acheh (Perang Belanda) yang terachir, pengarangnya, Paul Van’t Veer, membuat kesimpulan sebagai berikut:
"Bangas Belanda dan negeri Belanda tidak pernah menghadapi satu peperangan yang lebih besar dari pada peperangan dengan Acheh. Menurut pandyang waktunya, perang ini dapat dinamakan perang delapan-puluh-tahun. Menurut jumlah korbannya – lebih seratus ribu orang yang mati – perang ini ada satu kejadian militer yang tidak ada bandingnya dalam sejarah bangsa Belanda. Untuk negeri dan bangsa Belanda, Perang Acheh itu lebih dari pada hanya pertikaian militer: selama satu abad inilah persoalan pokok politik internasional, politik nasional, dan politik kolonial Belanda." (Paul Van’t Veer, DE ACHEH-OORLOG, Amsterdam, 1969, p. 10).
"Acheh bukanlah Jawa. Sebenarnya sudahlah terang-benderang bahwa dalam bagian dunia yang sejara umum dan tidak berketentuan disebut Hindia Belanda ("indonesia") tidak ada satu kerajaan yang dapat dibandingkan dengan Acheh. Ini kita tahu sekarang ini. Satu peperangan yang lamanya lebih setengah-abad, seratus-ribu orang mati, dan setengah miljard Rupiah Belanda abad ke-19 yang mahal itu, sudah menjadi bukti dari hal ini. Kita sudah tahu ini sekarang, tapi kita tidak tahu itu ditahun 1873. Biarlah kenyataan2 ini tegak berdiri – dyangan sembunyikan – supaja orang2 di negeri Belanda, atau lebih lagi di pulau Jawa, dapat mengatahui manusia yang bagaimana bangsa Acheh itu." (Paul Van’t Veer, DE ACHEH OORLOG, p.76)
Paul Van’t Veer menulis dalam bukunya itu semua kejadian2 di Acheh antara tahun 1942 ketika bangsa Belanda diusir dari Acheh untuk kali yang terachir. Ia membuat kesimpulan: "Acheh adalah yang paling achir ditaklukkan tetapi yang pertama sekali merdeka kembali!" – sebab sehabis Perang Dunia ke-II, ketika Belanda kembali menduduki tanah jajahanmereka yang kini sudah diberi nama baru sebagai "indonesia", mereka tidak berani kembali ke Acheh. Sebab itu adalah menjadi hak bangsa Acheh untuk merdeka dan berdaulat kembali – seperti dimasa sebelum Belanda datang menyerangnya. Tetapi hal yang adil dan lumrah ini tidak terjadi karena kedustaan dan tipuan bangsa Belanda dan Jawa atas bangsa Acheh.

PENJAJAHAN BELANDA DIGANTIKAN DENGAN PENJAJAHAN JAWA
Pada tanggal 27 Desember, 1949, Belanda menanda-tangani satu perjanjian dengan regime Jawa di Jakarta yang menamakan dirinya "republik indonesia" supaja dapat mendakwakan wilajah2 diluar Jawa sebagai ‘milik’nya, padahal mereka adalah orang-orang Jawa belaka yang tidak pernah dipilih atau diberi kuasa oleh bangsa2 yang bukan Jawa, apalagi oleh bangsa Acheh. Nama "indonesia" yang mereka pakai itu adalah nama pura2, dalam bahasa Grik (Junani) yang bermakna "kepulauan keling", yang tidak pernah ada hubungan apa2 dengan bahasa, sejarah, budaja kita penduduk Dunia Melaju yang amat luas ini. Perjanjian antara Belanda dengan Jawa inilah yang menjadi ‘alat’ pemindahan kekuasaan Belanda kepada Jawa, dan yang menjadi ‘sumber’ kekuasaan Jawa atas Dunia Melaju. Karena Belanda sebagai penjajah tidaklah mempunyai hak legal atas tanah2 orang yang dirampasnya, maka "republik indonesia-jawa" inipun tidaklah mepunyai hak legal apa2 atas wilajah Kepulauan Melaju yang masing2 pulau itu adalah milik rakyatnya masing2. Belanda telah membuat Perjanjian illegal itu dengan Jawa sebab regime Jakarta bersedia menjamin kepentingan ekonomi Belanda sampai Hari Kiamat disini: membajar hutang negeri Belanda, memberi gaji pegawai2 negeri Belanda, membajar pension mereka, dls. Itulah Perjajian yang membuat dan mensahkan "indonesia-dajwa" sebagai neo-colony bagi Belanda, dan merampas hak menentukan nasib diri-sendiri dari pada penduduk Kepulauan Melaju seluruhnya, termasuk dari pada bangsa Acheh sendiri yang sudah merdeka sejak ribuan tahun – sebelum Belanda sendiri mendapat kemerdekaannya.
Dalam Perjanjian Belanda-Jawa ini, Belanda berpura-pura ‘menyerahkan’ kedaulatannya atas Acheh yang tidak pernah ada itu, kepada regime "republik indonesia", se-akan2 Acheh adalah satu bagian dari Hindia Belanda, dan se-akan2 Acheh pernah ditaklukkan dan dikuasai oleh Belanda, se-akan2 Perang Acheh/Belanda yang hampir seratus tahun itu tidak pernah terjadi. Dan semua ini dilakukan dengan tidak ada pemilihan, permusjawaratan atau muwafakat dengan bangsa Acheh. Hal ini telah dilakukan walaupun diketahui Belanda tidak pernah mempunyai kekuasaan de jure atau de facto atas Acheh. Apalagi ketika Belanda menada-tangani Perjanjian itu dengan Jawa, Belanda sudah tujuh tahun – dari tahun 1942 sampai tahun 1949 – tidak menginjakkan kaki kotornya diatas bumi Acheh. Sungguhpun demikian Perjajian illegal antara Belanda dengan Jawa ini disahkan oleh negara2 imperialis Barat, sehingga dengan itu negeri Acheh sudah diletakkan dibawah penjajahan Indonesia/Jawa sejara illegal.
Semua ini adalah berlawanan 100% dan bertentangan langsung dengan Hukum Dekolonisasi dari PBB dan Hukum Internasional. Perbuatan Belanda – Jawa ini melanggar semua keputusan (Resolusi) Sidang Umum PBB mengenai penjajahan. Kerjasama antara penjajah Belanda yang dengan penjajah Jawa yang baru untuk menghilangkan hak bangsa Acheh untuk merdeka kembali tidak jontohnya dalam sejarah, apalagi karena ketentuan2 Hukum Internasional dan Hukum Decolonisasi PBB dalam soal ini adalah tegas sekali : (a) Kedaulatan atas wilajah2 jajahan ada dalam tangan bangsa2 penduduk wilajah itu sendiri – bukan dalam tangan sipenjajah atau pemerintah asing - Keputusan Sidang Umum PBB 1514-XV; (b) Kedaulatan atas setiap tanah jajahan tidak boleh diserahkan oleh satu penjajah kepada penjajah atau penguasa yang lain - Keputusan PBB 1514-XV; dalam hubungan ini, Belanda sama sekali tidak berhak menyerahkan kedaulatan atas Acheh kepada regime Indonesia/Jawa. Demikian juga atas pulau luar Jawa yang lain; (c) Semua kekuasaan wajib dikembalikan oleh sipenjajah kepada bangsa asli dari tiap tanah jajahan: dalam hal ini kekuasaan atas Acheh wajib dikembalikan kepada bangsa Acheh, dan demikian juga di negeri2 lain, dan bukan sekali-kali kepada bangsa Jawa – Keputusan PBB 1514 –XV; (d) Semua negara anggota PBB berkewajiban menghabiskan penjajahan dan wajib melarang siapapun menggunakan kekerasan terhadap bangsa2 yang sedang memperjuangkan kemerdekaan mereka: dalam hal ini apa yang dilakukan oleh sipenjajah Jawa di Acheh,Papua, Maluku Selatan dan Timor adalah sebaliknya – Keputusan PBB 2625-XXV; (e) Kepada bangsa2 terjajah diberi hak melawan sipenjajah mereka, dan penjajahan dipandang sebagai kejahatan internasional – Keputusan PBB 2621 –XXV; (f) Dilarang menggunakan kekerasan senjata atas mereka yang sedang memperjuangkan kemerdekaannya – Keputusan PBB 3314 – XXIX; bandingkan ini dengan apa yang sedang dilakukan oleh sipenjajah Indonesia/Jawa sekarang ini dimana-mana dikepulauan Melaju. (g) Setiap wilajah jajahan mempunyai hak hukum (legal status) yang terpisah dari wilajah jajahan yang lain dan hak ini tidak boleh ditiadakan oleh sipenjajah dengan alasan mempersatukan administrasi dls sebagai yang dilakukan Belanda di "indonesia" – Keputusan PBB 2625 –XXV; (h) Semua bangsa mempunyai hak menentukan nasib diri-sendiri dan hak kemerdekaan, menurut piagam PBB, artikel I, bagian 2 dan 55; menurut Piagam Hak Bangsa2 (Universal Declaration of the Rights of the Peoples) artikel 5, 6, dan 11; menurut Piagam Hak Manusia (Universal Declaration of Human Rights); menurut Piagam Hak Ekonomi, Kemasjarakatan dan Kebudajaan (International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights); dan menurut Piagam Hak Umum dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) (Dr. Tengku Hasan di Tiro, The Legal Status of Acheh Sumatra under International Law, New York, 1980).
Menurut semua aturan dan hukum ini yang sudah dijalankan diseluruh dunia – kejuali di Hindia Belanda atau "indonesia" – maka Acheh sudah lama berhak merdeka kembali.

PERJUANGAN ACHEH MERDEKA ADALAH LEGAL DAN  MENURUT HUKUM
Keputusan Sidang Umum PBB No.2621-XXV, yang diambil pada 12 Oktober, 1970, yang berisi program lengkap untuk bertindak guna melaksanakan Pernyataan tentang Kemerdekaan – Declaration on Independence - dengan tegas menamakan segala usaha untuk membenarkan penjajahan /penguasaan oleh satu bangsa atas bangsa yang lain sebagai "kejahatan". Inilah yang sekarang sedang dilakukan oleh sipenjajah Indonesia/Jawa atas bangsa Acheh, dan atas bangsa2 lain di Dunia Melaju. Keputusan PBB itu mengakui adanya "Hak Mutlak dari pada bangsa2 yang sudah dijajah itu untuk berjuang dengan segala jalan/alat yang diperlukan" dalam melawan sipenjajah mereka.
Keputusan Sidang Umum PBB No. 2711-XXV, yang diambil pada 14 Oktober, 1970, mengakui kelegalan semua perjuangan kemerdekaan, termasuk perjuangan bersenjata, yang dilancarkan oleh bangsa2 yang masih terjajah, untuk mencapai kemerdekaan mereka dan menghanjurkan regime penjajahan dan regime2 asing yang datang dari seberang lautan menjajah mereka. Semua anggota PBB diminta supaja memberi bantuan kepada pejuang2 kemerdekaan ini.
Ini adalah dasar2 hukum dalam Hukum Internasional dari Angkatan Acheh Sumatera Merdeka (NATIONAL LIBERATION FRONT OF ACHEH SUMATERA) dalam perjuangan membebaskan diri dari penjajahan Indonesia/jawa. Angkatan Acheh Merdeka sudah menegaskan sifatnya yang internasionalis dengan menyatakan solidaritet dengan segala gerakan kemerdekaan bangsa2 terjajah dan tertindas di dunia.
Dan di atas semua ini Angkatan Acheh Sumatera Merdeka adalah satu organisasi Islam yang berdiri atas dasar Islam dan membenarkan dirinya atas kewajiban Muslim untuk menegakkan ke’adilan, melindungi yang tertindas, membenarkan yang benar dan melarang yang salah.

TUJUAN ANGKATAN ACHEH SUMATERA MERDEKA
Tujuan yang tertinggi dari Angkatan Acheh Sumatera Merdeka ialah keselamatan bangsa Acheh dan Sumatera, dunia dan achirat, sebagai satu bangsa merdeka dan berdaulat dibawah Daulat Allah dan sebagai satu jama’ah dari pada satu Ummah: ini bermakna jaminan keselamatan nilai2 agama, politik, masjarakat, budaja dan ekonomi mereka, yang kesemuanya kini sedang dihanjurkan oleh penjajahan Indonesia/jawa; keselamatan tanah pusaka mereka yang kini sedang dirampas dan dibagi-bagikan kepada bangsa penjajah Jawa yang didatangkan beramai-ramai dengan memakai topeng sebagai "transmigrants"; keselamatan ekonomi dan kekajaan alam mereka yang kini sedang dirampok oleh penjajah Jawa dengan dalang2 mereka kaum imperialis Barat atas nama "pembangunan". (Dr. Tengku Hasan di Tiro, Indonesia as a Model Neo-Colony, London, 1984).
Yang kedua untuk menarik perhatian dunia kepada kenyataan bahwa perkara Acheh Sumatera Merdeka bukanlah perkara "separatisme" - hanya untuk memisahkan diri - sebagai yang dipropagandakan oleh sipenjajah Jawa, tetapi adalah perkara Hak menentukan Nasib-diri-sendiri dari bangsa Acheh dan Sumatera, dan perkara Dekolonisasi atau Pembubaran dari Hindia Belanda, alias "indonesia", yang sampai sekarang belum dilakukan menurut ketentuan yang diwajibkan oleh PBB dan Hukum Internasional, dan menurut keputusan PBB mengenai kewajiban memberikan kemerdekaan kepada bangsa2 yang terjajah. Oleh karena itu perkara pembubaran Hindia Belanda alias "indonesia" mesti dibuka kembali sekarang juga.

KESIMPULAN
Dari apa yang sudah kita kemukakan diatas sudah jukup nyata bahwa jika hak menentukan nasib diri-sendiri dan hak kemerdekaan bisa ditolak untuk bangsa Acheh, maka tidak ada satu bangsapun di dunia yang mempunyai hak untuk merdeka, dan Piagam PBB, Keputusan Sidang Umum, Program Dekolonisasi, dan Hukum Internasional, kesemuanya itu tidaklah mempunyai arti apa2.
Apa yang dinamakan oleh sipenjajah Jawa sebagai "republik indonesia" mereka, adalah tetap sebagai satu gerombolan perampok dan pejajah, penguasa yang tidak sah dan illegal atas Tanah Acheh dan sumatera selama Hukum Internasional masih menetukan sah atau tidaknya kekuasaan sesuatu negara atas sesuatu wilajah adalah berdasarkan pada: bagaimana wilajah itu telah jatuh ke tangan negara itu! Sudahlah jelas bahwa apa yang disebut-sebut sebagai "republik indonesia" dari sipenjajah Jawa itu telah mengambil Acheh dan Sumatera sebagai hadiah yang tidak sah dari sipenjajah Belanda, yang tidak mempunyai hak de facto, tidak mempunyai hak de jure, dan tidak mempunyai hak untuk "menyerah kedaulatan" atas Acheh Sumatera kepada siapapun juga - apalagi kepada sipenjajah Jawa. Sebagai kata orang, nemo dat quod non habet - "orang tidak dapat memberikan apa yang tidak dipunyainja".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By