PERKARA
& ALASAN
PERJUANGAN ANGKATAN ACHEH - SUMATERA MERDEKA
PERJUANGAN ANGKATAN ACHEH - SUMATERA MERDEKA
Ceramah
Dimuka Scandinavian Association Of Southeast Asian Social Studies
Göteborg, Sweden, 23 Agustus, 1985
Dimuka Scandinavian Association Of Southeast Asian Social Studies
Göteborg, Sweden, 23 Agustus, 1985
Oleh
DR, Tengku Hasan M. di Tiro
Ketua, Angkatan Acheh-Sumatera Merdeka
DR, Tengku Hasan M. di Tiro
Ketua, Angkatan Acheh-Sumatera Merdeka
Terjemahan dari Bahasa
Inggeris Ke Bahasa Melayu Acheh–Sumatera, bukan "bahasa indonesia"
Jawa
SEJARAH
Lama sekali sebelum
kedatangan penjajahan-penjajahan Eropa Barat ke Dunia Melayu (Asia Tenggara),
Acheh sudah menjadi satu negara merdeka yang berdaulat di Sumatera dan diakui
dunia Internasional. Pada waktu itu, negara merdeka tersebut lebih terkenal
dengan nama Kerajaan Acheh, tetapi kemudian menjadi lebih terkenal dengan nama
sebuah pelabuhannya yang sering dikunjungi oleh kapal-kapal Eropa, yaitu
pelabuhan ‘Samudra’ di Acheh bagian Utara, dari padanyalah berasal nama
Sumatera. Buku LAROUSE GRAND DICTIONNAIRE UNIVERSELLE, menggambarkan Kerajaan
Acheh pada waktu itu sebagai "bangsa yang paling berkuasa di Dunia Melaju
atau Hindia Timur, pada achir abad ke-16 dan sampai pertengahan abad ke
–17". ("Vers la fin du XVIe siècle et jusqu’ à la moitië du XVIIe,
les Achins etaient la nation dominante de l’archipel Indien.") Vol.I,
p.70, Paris, 1886. Sebuah sumber sejarah yang kuat lainnya, LA GRAND ENCYCLOPEDIE,
menulis sebagai berikut: "Pada tahun 1582, bangsa Acheh sudah meluaskan
kekuasaannya atas pulau-pulau Sunda (Sumatera, Jawa, Borneo, dan lain-lain),
atas satu bagian dari semenanjung Tanah Melaju, dan mempunyai hubungan dengan
segala bangsa yang melayari lautan Hindia, dari Jepang sampai ke Arab. Sejarah
peperangan yang lama sekali dilancarkan oleh bangsa Acheh terhadap bangsa
Portugis yang menduduki Malaka sejak permulaan abad ke-16, adalah
halaman-halaman yang tidak kurang kemegahan dan kebesarannya dalam sejarah
bangsa Acheh. Pada tahun 1586, seorang Sultan Acheh menjerang Portugis di
Malaka dengan sebuah armada yang tediri dari 500 buah kapal perang dan 60,000
tentara laut." ("En 1582, ils avaint étandu leur Malacca depuis le
commentcement du XVIe siècle n’est pas une des pages les moins prépondérance
sur les iles de la Sonde, sur une partie de la Presque ‘ile de Malacca, ils
étaient en relation avec tous les pays que baigne l’océan Indien depuis le
Japan jusqu´ à glorieuse de l’ histoire des Atchinois. En 1586, un de leur
Sultans attaque les Portugais avec une flotte d’ environ 500 voiles montée par
60,000 marins." (Vol.IV,p.402, Paris,1874)
Tiga ratus tahun sesudah
Belanda menduduki dan menjajah pulau Jawa dan pulau-pulau lain di Hindia Timur
atau "indonesia", Acheh masih satu negara merdeka yang berdaulat,
yang mempunyai hubungan diplomatik dengan seluruh dunia. "Pada waktu
itu" kata professor M.C.Ricklefs, "Acheh berdiri sebagai satu
kekuasaan besar, paling berkuasa, kaya dan bertamaddun di kawasan Asia Tenggara."
(M.C.Ricklefs, A History of Modern Indonesia, Bloomington, 1981, p.335)
ANGGOTA DARI PADA KHILAFAH ISLAMIAH
Sebagai sebuah Negara Islam,
Acheh tidak pernah berdiri sendirian di dunia, tetapi selamanya berhubungan dan
bekerjasama dengan negara-negara Islam yang lain di dunia, terutama sekali
dengan Khalifah Osmaniah di Turki yang berbendera Bulan Bintang, yang sama
dengan Acheh, dan menegakkan Hukum Syari’ah Islam yang sama pula dengan Acheh.
Pada zaman itu Acheh selalu memihak Turki dalam segala peperangan dengan
negara-negara Barat. Mengenai kedudukan Acheh dalam Dunia Islam pada waktu itu,
Professor Wilfred Cantwell Smith, menulis: "Pada abad ke-16, Dunia Islam
sudah menyadi berkuasa kembali, kaya raya, mewah dan penuh kebesaran.
Orang-orang Islam masa itu di Maroko, Istanbul, Isfahan, Agra, Acheh – adalah
pembina-pembina sejarah yang besar dan sangat berhasil". (Wilfred C.
Smith, Islam in Modern History, Princenton, 1975, p.38). Seorang ahli sejarah
yang lain, Anthony Reid, telah menulis: "Dimasa sebelum Islam, dan dimasa
Indonesia baru, Sumatera sebelah Utara khattulistiwa – Acheh – kelihatannya
tidak penting. Tetapi dari kacamata sejarah Islam, Acheh adalah pusat Kepulauan
Melayu selama lima abad lamanya. (Anthony Reid, The Contest for North Sumatra:
Acheh, The Netherlands, and Britain, London, 1969, p.1)
PERJANJIAN
PERTAHANAN DENGAN KERAJAAN INGGERIS
Pada tahun 1819, Kerajaan
Acheh dan Kerajaan Inggeris menanda-tangani sebuah Perjanjian Pertahanan.
Tujuan dari pada Kerajaan Acheh ialah supaja ada satu negara sahabat yang kuat.
Tujuan dari Kerajaan Inggeris adalah untuk dapat menguasai Selat Melaka. Maksud
dari pada Inggeris itu sudah diterangkan dengan jelas sekali oleh seorang
anggota Parlemen Inggeris, Thomas Gibson Bowles, sebagai berikut: "Selat
Melaka itu adalah pintu gerbang perniagaan antara Eropa dan Laut Cina. Hal ini
dapat dipahami dengan selayang pandang pada peta dunia. Dan dimasa Kerajaan
Inggeris masih mempunyai ahli-ahli negara, Selat Melaka itu dipandang dan
diperlakukan sebagai tujuan yang penting sekali, satu pintu dunia yang tidak
boleh ditutup orang terhadap perdagangan kita, dalam masa damai atau dalam masa
perang. Tujuan ini telah kita jamin dengan menduduki Penang, Singapura, dan
tempat-tempat penting (strategis) yang lain di sebelah utara-timur dari Selat
Melaka, dan dengan membuat satu perjanjian Pertahanan dengan Raja Islam Acheh,
yang memerintah pulau Sumatera. Dengan demikian satu pihak dari Selat Melaka
ada dalam tangan kita sendiri, sedang pihak yang lain ada dalam tangan negara
sahabat kita yang dapat dipercayai. Semua ini sudah kita capai dan kita buat
menjadi satu kenyataan pada tahun 1819, dalam Perjanjian Pertahanan dengan
Kerajaan Acheh itu. Perjanjian itu dianggap sebagai satu kemenangan diplomasi
kita yang gilang-gemilang atas Belanda, dengan siapa kita sudah berlomba-lomba
selama 200 tahun belakangan ini, untuk menentukan siapa yang berkuasa di
perairan seberang lautan itu. Dengan adanya Perjanjian Pertahanan dengan Sultan
Acheh itu, kita memperoleh Selat Melaka berada penuh dalam tangan kita."
(Thomas Gibson Bowles, FRAZER’S MAGAZINE, London, Januari, 1874, p.124). Yang
mengusahakan Perjanjian Pertahanan Acheh-Inggeris ini adalah tidak lain dari
Sir Stamford Raffles, pembangun Singapura yang kenamaan itu.
PEPERANGAN
DENGAN BELANDA: KEMENANGAN ACHEH – KEKALAHAN BELANDA
Belanda, yang pada waktu itu
sudah lebih 300 tahun menjajah pulau Jawa, selalu berusaha dengan tiada
berhenti-hentinya untuk merebut wilajah Kerajaan Acheh disepanjang pantai
selatan Pulau Sumatera untuk dimasukkan ke dalam daerah jajahannya. Pada
tanggal 26 Maret, 1873, Belanda mengirim satu Ultimatum kepada Kerajaan Acheh
yang masih tetap merdeka dan berdaulat itu, dan mempunyai Perjanjian Pertahanan
dengan Kerajaan Inggeris, supaya menyerahkan Negeri Acheh dengan tidak melawan,
dan supaya Negeri Acheh menjadi satu bagian dari Hindia Belanda alias
"indonesia". Waktu Kerajaan Acheh menolak ultimatumnya itu, maka
Belanda menyerang Acheh dengan mendaratkan 10,000 tentara Belanda, dibawah pimpinan
Jenderal Köhler. Itu adalah pasukan Eropa yang terbesar pernah dikumpulkan di
Asia Tenggara untuk melakukan serangan dalam sejarah.
Pada tanggal 23 April, 1873,
dalam Medan Perang Bandar Acheh, Tentara Belanda dihanjur-leburkan oleh Tentara
Negara Acheh dan Panglima Besar Belanda, Jenderal Köhler, dihukum mati oleh
Tentara Acheh sebagai penjahat perang di Kuta Raja. Ini adalah kakalahan
penjajah Belanda atau Eropa yang paling besar di Asia Tenggara dalam sejarah
penjajahan mereka. Surat kabar LONDON TIMES, pada tanggal 22 April, 1873,
memuat laporan lengkap dari Medan Perang Bandar Acheh, dimana antara lain
ditulis: "Suatu kejadian yang luar biasa dalam sejarah penjajahan baru
sudah terjadi di Kepulauan Melaju. Satu kekuatan Eropa yang besar sudah dikalahkan
oleh tentara anak negeri, Tentara Negara Acheh. Bangsa Acheh sudah mencapai
kemenangan yang memutuskan. Musuh mereka bukan saja sudah kalah tetapi dipaksa
lari". Dalam laporan lengkap itu, ditulis lagi oleh surat kabar London,
bahwa Acheh bukanlah tanah jajahan Belanda dan Belanda sama sekali tidak
mempunyai hak menyerang Acheh. Surat kabar Amerika, THE NEW YORK TIMES, pada
tanggal 6 Mai, 1873, menulis sebagai berikut: "Suatu pertempuran yang
berlumur darah sudah terjadi di Acheh. Serangan Belanda sudah ditangkis dengan
penyembelihan besar-besaran terhadap tentara Belanda. Panglima Belanda sudah
dibunuh dan tentaranya lari lintang-pukang. Kekalahan Belanda itu di anggap
hebat sekali dan ini terbukti dengan debat yang sudah terjadi dalam parlemen
Belanda di den Haag, dimana seorang anggota Parlemen sudah menyatakan bahwa
kekalahan di Acheh ini adalah permulaan dari kejatuhan kekuasaan Belanda di
Dunia Timur."
Pada tanggal 15 Mai, 1873,
surat kabar THE NEW YORK TIMES, mengelurkan sebuah tajuk rencana (editorial)
dimana antara lain tertulis:
ACHEH
"Sekarang
boleh dikatakan bahwa sudah dimulai pendidikan Acheh kepada keturunan Kristen
yang baru.
"Segera
akan diketahui umum bahwa Bangsa Acheh itu bukanlah satu bangsa biadab yang
tidak berurat-saraf (tidak pandai berpikir), tetapi mereka adalah bangsa Islam
yang baik sekali dan bangsa pahlawan.
"Segera
akan nyata bahwa, sebagai musuh mereka, sekarang, juga mempunyai tanah jajahan
mereka sendiri pada suatu masa, dan ada waktu-waktu ketika mereka begitu kuat
hingga dapat mengepung armada Portugis di kota Melaka. Begitu juga akan menjadi
pengatahuan umum bahwa pada suatu waktu, Sultan Acheh adalah sahabat karib dari
Raja Inggeris, James I, yang pernah memberikan dua buah meriam besar kepada
saudara Acheh-nya. Meriam-meriam itu sekarang turut mempertahankan istana
penggantinya di Sumatera".
Kekalahan Belanda yang
sangat memalukan di tangan bangsa Acheh menimbulkan komentar-komentar yang luar
biasa dari pada ahli-ahli sejarah di seluruh dunia. Misalnya, Professor Ricklefs,
menulis: "Baru sekarang kaum
kolonialis sudah berhadap-hadapan muka dengan lawan yang paling kaya, paling
kuat, paling beraturan dan berdisiplin, paling lengkap bersenjata dan paling
keras bersifat merdeka." ( M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia,
p.137)
KEDUDUKAN
KEBESARAN ACHEH DALAM DUNIA INTERNASIONAL
Adalah satu tanda dari pada
kedudukan Kerajaan Acheh yang terkemuka dan menduduki tempat penting dalam
dunia ketika President Ulysses.S.Grant dari Amerika Serikat segera mengeluarkan
satu pernyataan yang luar biasa, yang dinamakan ‘Pernyataan Berdiri-Sama-tengah
Yang Tidak Memihak’ (‘Proclamation of Impartial Neutrality’) dalam perang
antara Belanda dengan Acheh. Dalam perjanjian ini dinyatakannya pula bahwa
Amerika Serikat tidak mau membenarkan serangan Belanda atas Acheh. (MESSAGES
AND PAPERS OF THE PRESIDENTS, washington, D.C. , 1874).
Sesudah kemenangan di Bandar
Acheh barulah pemerintah Kerajaan Acheh menuntut kepada pemerintah Inggeris
supaja menunaikan tugasnya membantu Kerajaan Acheh menurut Perjanjian antara
kedua negara. Menurut perjanjian itu Inggeris mempunyai keawajiban untuk
membantu Acheh melawan serangan Belanda. Tetapi amat disesalkan bahwa
pemerintah Inggeris pada waktu itu mengchianati perjanjian yang sudah
ditanda-tangani oleh wakil2nya yang berkuasa penuh itu. Kejadian ini akan tetap
mendajdi bukti dan saksi sejarah bagaimana janji2 Kerajaan inggeris itu tidak
dapat diperjajai. Debat yang terjadi di parlemen Inggeris perkara Perjanjian
Pertahanan dengan Kerajaan Acheh ini kemudian membuktikan bahwa pemerintah
Inggeris sudah menerima suapan dari Belanda supaja tidak menepati dan
menghormati janjinja dengan Kerajaan Acheh, dengan Belanda menyerahkan satu
jajahannya di Afrika kepada Inggeris: jajahan itu ialah Gold Coast, sekarang
Ghana. Lord Granville, Menteri Luar Negeri Inggeris pada waktu itu, dalam
jawabannya kepada Habib Abdul Rahman Zahir, Menteri Luar Negeri Acheh, pada 15
Juli, 1873, tidak pernah mengatakan bahwa Perjanjian Pertahanan Acheh-Inggeris
itu tidak sah, atau tidak berlaku lagi, atau sudah dibatalkan, tetapi ia hanya
mengatakan bahwa Inggeris tidak mau memenuhi kewajibannya menurut Perjanjian
itu. Oleh Menteri Luar Negeri Inggeris itu tidak dibantahnya perkara ada dan
sah-nya Perjanjian itu. Ia hanya tidak mau melakukan kewajibannya menurut
Perjanjian itu. Alasan yang diberikannya untuk berchianat itu ialah karena
Inggeris "sudah menanda-tangani satu perjanjian lain dengan Belanda yang
isinya berlawanan dengan Perjanjian dengan Acheh itu" dan juga dengan
alasan bahwa Inggeris "telah tidak menjalankan dengan terus-menerus
kewajibannya terhadap Acheh dalam Perjanjian itu."
Politik pemerintah Inggeris
untuk tidak menghormati dan mengchianati Perjanjian-nya dengan Kerajaan Acheh
itu mendapat kejaman yang amat keras dalam surat2 kabar Inggeris, dan dalam
Parlemen inggeris hungga hal itu menjadi perdebatan besar dalam pemilihan umum
beberapa tahun lamanya. Hal ini juga menjadi satu bukti tentang kuatnya
kedudukan Acheh dalam politik dunia internasional sebagai satu negara merdeka
yang kedaulatannya diakui dunia dan tidak pernah menjadi persoalan atau
perdebatan. Thomas Gibson Bowles, seorang pemimpin partai politik dan anggota
Parlemen menulis sebuah artikel dalam majallah FRAZER’S MAGAZINE, yang terbit
di London, dimana ia menamakan jawaban Lord Granville kepada Acheh sebagai
"satu dokumen yang paling tidak mempunyai rasa malu, yang pernah ditulis
manusia". Ia menamakan Perjanjian Inggeris-Belanda dimana Belanda
menyerahkan satu daerah di Afrika kepada Inggeris untuk merugikan Acheh sebagai
"satu tawar-menawar haram", dan jawaban Menteri Luar Negeri Inggeris
kepada Acheh dinamakannya satu "satu pengakuan yang memalukan untuk
meninggalkan kewajiban terhadap Acheh yang mencerminkan sikap orang2 Kementrian
Luar Negeri Inggeris yang selalu sedia mengchianati Perjanjian
antara-negara." Thomas Gibson Bowles membuat kesimpulan: "Surat dari
Lord Enfield (Wakil dari Lord Granville) kepada Sultan Acheh bersifat sama
sebagai di atas juga, sebab waktu oleh Sultan Acheh diminta bantuan Inggeris,
menurut Perjanjian, supaja Inggeris membantu Acheh, oleh Enfeld dikatakan bahwa
Inggeris tidak dapat memenuhi Perjanjian itu sebab Inggeris sudah lebih dahulu
melanggarnya, dan ia menasehati Sultan Acheh supaja berbaik-baik dengan Belanda
yang menyerangnya. Dalam kedua kedua perkara ini, pihak yang bersalah yang
berpura-pura berchutbah kepada pihak yang menjadi korban, dan melatakkan atas
pundak yang tidak bersalah, tanggung-jawab dari pihak yang bersalah. Kami
mengatakan bahwa yang bersalah adalah pemerintah Inggeris." (FRAZER’S
MAGAZINE, London, Januari, 1874,p.124-134).
Lord Stanley of Alderley,
seorang bangsawan Inggeris, berdiri dalam Majlis Tinggi Parlemen Inggeris
(House of Lords) membela Acheh dan mengejam Pemerintah Inggeris sebab telah
melanggar Perjanjian Pertahanan dengan Achehh. Beliau menuntut supaja
Pemerintah Inggeris menghormati dan memenuhi kewajibannya menurut Perjanjian
Pertahanan tersebut, dan supaja Inggeris membantu Acheh melawan Belanda. Dalam
sebuah pidato pada tanggal 28 Juli, 1873, beliau berkata:
"Belanda tidak
mempunyai alasan dan tidak mempunyai sebab untuk menyerang Acheh yang tidak
berbuat apa2 kepada Belanda. Sekarang Belanda sudah menyerang Negara Acheh dan
sudah dikalahkan dan digagalkan. Kejatuhan Acheh akan menyebabkan kehancuran
kemuliaan kita diseluruh Asia Timur dan Asia tenggara; kekejewaan besar akan
dirasa oleh warga Inggeris di Asia Tenggara dan oleh orang2 Melaju di Malaja,
yang kesan baik dari mereka adalah sangat penting bagi kita. Perjanjian baru antara
inggeris dengan Belanda ini bukan saja merusakkan kemuliaan Negara Inggeris
tetapi juga merusakkan kepentingan ekonomi kita. Sistem penjajahan Belanda di
Jawa bukan saja berlawanan sekali dengan kebebasan perdagangan, tetapi hampir
tidak berbeda dari perbudakan – Belanda menamakannya
"kerja-tidak-bergaji" – sehingga tidak ada alasan sama sekali mengapa
pemerintah Inggeris mau menolong meluaskan sistem ini samapai ke Sumatera
Utara, atau se-kurang2nya mengapa tiadk dibuat pengejualian untuk Acheh sebab Negara
Acheh berhak mengharap kita tidak melupakan kemerdekaannya yang dari zaman
purbakala, dan sejarahnya yang gilang-gemilang, sebab Acheh sudah menjadi satu
negara Merdeka ketika Belanda masih satu provinsi Spanyol.
"Sejak waktu itu Acheh
sudah mempunyai pengaruh yang besar sekali atas Selat Melaka, dan mengirimkan
armada besar2, yang sering mengalahkan armada yang besar2, yang sering
mengalahkan armada Portugis dalam setiap peperangan. Lebih 300 tahun yang lalu
Acheh sudah meletakkan dirinya dibawah perlindungan Chalifah osmaniah (Turki)
dan meriam besar2 yang dikirimkan oleh Sultan Salim sebagai hadiah kepada Raja2
Acheh masih dapat dilihat sampai sekarang di Pidië dan Pasè. Perlu kita tanya:
mengapa Belanda telah menyerang satu negara Merdeka dan berdaulat yang tidak
berbuat apa2 terhadap negeri Belanda, dan ini dilakukan pada waktu dimana
Belanda sendiri masih takut kemerdekaannya yang baru diperoleh itu mungkin
dirampas oleh negara lain, lebih2 sesudah perang Perancis – sebab semua kita
mengatahui bahwa di Jerman ada satu partai yang ingin mengambil negeri Belanda
dan merampas tanah jajahannya sekali, dan sebagian besar orang Jerman sudah
jakin bahwa golongan terbanyak dari bangsa Belanda memang ingin bersatu dengan
Jerman. Dalam hal ini, Jerman mempunyai hak yang sama besar atau sama kecflnya
seperti "hak" Belanda untuk menyerang dan menjajah Acheh. Jawa saja
tidak menjadi soal, tetapi kalu Sumatera dimasukkan kebawah Jawa maka mungkin
baru inggeris tidak akan mengakuinya. Dalam sesuatu keadaan, sikap pemerintah
Inggeris sudah dapat diterka, misalnya seperti waktu negeri Belanda jatuh dalam
tangan Perancis pada awal abad ini (dimana Inggeris menduduki Jawa supaja Jawa
dyangan diambil oleh Perancis). Inggeris masih mungkin membiarkan Jawa jatuh
ketangan Tuan-nya yang lain, tetapi mustahil Inggeris dapat menerima Acheh
jatuh kedalam tangan sesuatu kekuasaan militer yang kuat. Sebab sebagai sudah
dikatakan oleh Admiral Sherard Osborn baru2 ini, Acheh adalah satu tempat yang
amat penting sekali dalam strategie perang lautan." (HOUSE OF LORDS,
Speech of Lord Stanley of Alderlley, 28 juli, 1873. Hansard, Vol. 217,
p.1077-1081)
Dalam perdebatan yang
terus-menerus di Inggeris perkara perjanjian Pertahanan dengan Acheh yang sudah
dilanggar Inggeris itu, ada juga yang memakai alasan bahwa Perjanjian
Belanda-Inggeris tahun 1871 sudah membatalkan Perjanjian Acheh-Inggeris tahun
1819. Thomas Gibson Bowles menjawab soal ini dalam satu suratnya kepada surat
kabar LONDON TIMES, 3 Febuari, 1874, sebagai berikut: "Perjanjian
Belanda-Inggeris tahun1871 sama sekali tidak dapat membebaskan Pemerintah
Inggeris dari kewajibannya menepati janji untuk mempertahankan Acheh menurut
Perjanjian Pertahanan tahun 1819. Maka adalah satu pelanggaran keperjajaan umum
yang luar biasa dan hina sekali untuk menolak menepati kewajiban yang timbul
dari Perjanjian yang sudah ditanda-tangani itu." (THE TIMES, London, 3
Febuari, 1874, p. 10).
Surat kabar London, VANITY
FAIR, tanggal 12 September, 1874, mengeluarkan tajuk rencana (editorial) mengenai
Perjanjian Pertahanan Acheh-Inggeris yang sudah dichianati itu:
"Perhatian sudah
diminta berulang-ulang oleh banyak penulis2 kepada surat kabar ini mengenai
pelanggaran yang besar sekali kepada Perjanjian Negara antra Inggeris dengan
Acheh dimana inggeris telah menolak kewajiban untuk membantu satu negara
sahabat jaitu Kerajaan Acheh. Perbuatan ini telah dimulai oleh Pemerintah
Gladstone dan diteruskan lagi oleh Pemerintah Disraeli sampai kini. Keduanya
menolak memnuhi kontrak yang sudah ditanda-tangani atas nama Kerajaan Inggeris
pada tahun 1819, dengan Kerajaan Acheh, untuk membantu negara itu kalau
diserang musuh. Perdana Menteri Disraeli, ketika ditanya dalam sidang Parlemen
dalam perkara itu, tidak berani membantah tentang adanya Perjanjian itu – sebab
ia tidak bisa – karena Perjanjian itu masih tetap legal dan mengikat, tetapi
masih terus-menerus dilanggar. Perkara ini hendak didiamkan oleh orang2 yang
tertentu dalam Kabinet, tetapi menyebabkan malu dan amarah orang2 yang
mengatahui apa yang sudah terjadi dalam soal ini. Keterangan tambahan yang
sangat berharga sudah datang lagi dari singapura, dan telah dikeluarkan oleh
surat kabar MORNING POST, hari Senin yang lalu - satu surat yang rupanya
ditulis oleh seorang yang mengatahui segala apa yang terjadi disekitar soal
itu. Dalam surat itu ditulis: "Dewasa ini semua kami yang ada disini
sependapat perkara politik busuk - itulah istilah yang terbaik yang dapat kami
pakai - yang di ikuti oleh pemerintah di London dalam perjaungan yang sedang
berlaku antara Belanda dengan Bangsa Acheh. Inggeris mestinya tidak berdiri
menonton saja, dengan tidakberbuat apa2, melihat sahabat sjarikat lama (Acheh
bukan hanya sjarikat lama tetapi masih masih sjarikat baru sampai sekarang
menurut hukum Perjanjian antara negara) ditaklukkan dengan tidak mengatakan
apa-apa, apalagi berbuat sesuatu membantu mereka. Sikap Inggeris ini sedang
meruntuhkan nama, kemuliaan dan kepentingannya dibagian dunia ini.
"Dikatakan bahwa
Inggeris adalah neutral dalam perang ini, tetapi Belanda dibiarkan
mempergunakan wilajah jajahan kita disini sebagai basis operasi menyerang
Acheh. Jadi Inggeris bukan saja tidak membantu Acheh, sebagai kewajibannya
menurut Perjanyian, tetapi ia memberikan kepada Belanda segala bantuan untuk
menaklukkan Acheh. Sudah pasti ini adalah puncak dari pengkhianatan. Dan
Perdana Menteri baru, Tuan Disraeli, sesudah menyela Perdana Menteri lama, Tuan
Gladstone, dalam perkara ini, sekarang dia sendiri juga berbuat demikian:
membantu Belanda mendudukkan Acheh. Walaupun demikian masih banyak orang yang
menyangka bahwa dalam demokrasi semua dapat diperbaiki dan diobah dengan
menggantikan satu kabinet dengan kabinet yang baru, partai pemerintah dengan
oposisi. Satu bangsa sudah menjadi rendah sekali apabila ia tidak perduli lagi
kepada kehormatannya dan kepada perkara2 seperti ini.
"Perkara kenyataan
dalam soal ini tidak mungkin ada perdebatan: sebab semuanya adalah
terang-benderang. Inggeris terikat dengan Perjanjian Pertahanan untuk
mempertahankan Acheh. Mula2 Lord Granville berusaha menolak perjanjian itu.
Lord Derby, yang seharusnya memperbaiki nama baik negerinya dan bangsanya tetap
berbuat sebagai orang2 yang digantinya. Mereka adalah pantas menjadi Menteri2
dari pada satu bangsa yang sudah hilang perasaan kehormatannya."
Surat kabar London, PALL MALL GAZETTE, pada 30 Januari, 1874, menulis sebagai berikut:
Surat kabar London, PALL MALL GAZETTE, pada 30 Januari, 1874, menulis sebagai berikut:
"Pada tahun 1819,
pemerintah kita dapat menguasai Selat Melaka. Segala perdagangan dengan Jina
dan Jepang harus melalui selat yang penting ini. Kita memperoleh kontrol yang
penuh atas Selat Melaka dengan adanya Perjanjian Pertahanan 1819 dengan
Kerajaan Acheh. Bagian tepi pantai Melaka kita kuasai sendiri langsung. Tepi
pantai sebelah Sumatera kita amankan dengan Perjanjian Pertahanan dengan Sultan
Acheh yang menguasai seluruh pantai Sumatera. Tiga tahun yang lalu Belanda
datang kepada kita. Mereka mengatakan jika kita biarkan mereka menyerang Sultan
Acheh dan merebut Negeri Acheh, mereka akan memberikan kepada kita satu daerah
jajahannya di Afrika, di Gold Coast. Jika kita serahkan Selat Melaka kepada
mereka, mereka akan memberikan kepada kita sekeping tanah Gold Coast yang tidak
berharga apa2 kepada mereka, dan lebih dan lebih tidak berharga lagi kepada
kita. Dan jika kita terima hadiah mereka, kita akan terlibat dalam peperangan
dengan Raja Kofi. Ini adalah usul gila, tetapi kementrian kita menerimanya, dan
mengorbankan Sultan Acheh kepada serangan Belanda, walaupun kita sudah
menada-tangani perjanjian untuk mempertahankan kemerdekaan Acheh. Tidak pernah
ada satu "tawar-menawar" semajam ini dalam sejarah negeri Inggeris.
Tetapi sudah diterima oleh Menteri2 kita. Perdana Menteri Gladstone membuatnya
seakan-akan satu rahsia besar yang katanya mengingatkannya kepada
surat-menyurat diplomatik. Jika sebagai kata Tuan Gladstone: adalah satu
kesalahan pemeritah Konservatif yang telah memberikan Siak kepada Belanda, dan
itu adalah salah; tetapi itu tidak mebuat politiknya terhadap Acheh benar. Kita
tidak bersumpah membela siak, tetapi kita telah bersumpah membela Acheh. Sebab
itu Inggerislah yang bertanggung-jawab atas darah yang berjujuran di
Acheh."
Patut kita singgung disini
juga satu kenyataan lain, jaitu bahwa Belanda harus menghadapi kesukaran2
diplomatik yang bukan kejil dalam Dunia Islam dalam mengahadapi Acheh, lebih2
Turki, oleh karena kedudukan Acheh yang kuat sebagai bagian dari pada Chalifah
Islamiah. Di Turki pada waktu itu besar gerakan untuk jampur tangan langsung
membantu Acheh. Surat2 kabar Turki pada masa itu seperti BASIRAT, JEVAIB, LA
TURQUI, semuanya terbit di Istanbul, penuh dengan artikel2 dan editorial yang
membantu Acheh. Semua ini menunjukkan kekuatan diplomasi Acheh di dunia.
SERANGAN
BELANDA YANG KEDUA DAN KEKALAHAN YANG TERACHIR
Sebagaimana yang terjadi,
sesudah kekalahannya dalam serangan pertama itu, Belanda melakukan serangannya
yang kedua, ketiga, ke-empat, ke-lima dan ke-enam, dengan tidak pernah mencapai
kemenangan yang sesungguhnya terhadap bangsa Acheh yang mempertahankan dirinya
itu. Perang Belanda (sebagai bangsa Acheh melihatnya) berjalan hampir satu
abad, sehingga oleh majalah Amerika, HARPER’S MAGAZINE, sudah dinamakannya
sebagai ‘PERANG SERATUS TAHUN MASA INI’ (HARPER’S MAGAZINE, New York, Agustus,
1905: ‘THE ONE HUNDRED YEARS WAR OF TODAY’). Achirnya bangsa Belanda sudah
dikalahkan oleh Bangsa Acheh dalam pertempuran2 yang terjadi diseluruh Acheh
pada bulan Mart, 1942, sebelum Jepang masuk ke Acheh dalam Perang Dunia ke-II.
Demikianlah, Belanda tidak pernah menanda-tangani surat menyerah kepada
Belanda, atau surat berdamai dengan Belanda, dan perlawanan tidak pernah
dihentikan sampai achirnya Belanda diusir dari bumi Acheh dengan segala
kehinaan.
Tetapi diantara dua tanggal
itu, nyakni antara tanggal 26 Mart, 1873 (ketika Belanda menyatakan perang
kepada Kerajaan Acheh yang merdeka dan berdaulat) dan bulan Mart 1942 (ketika
semua Belanda dan kaki-tangan-nya diusir dari Acheh) Belanda pernah membuat
propaganda bohong yang mengatakan bahwa mereka sudah dapat ‘menaklukkan Acheh’
Negara Acheh, dan bahwa mereka sudah ‘sah’ menduduki Acheh, jaitu ‘legal’.
Propaganda Belanda ini adalah palsu dan bohong sama sekali. Belanda tidak
pernah dapat berbuat sebagai apa yang dipropagandakannya itu. Sebagaimana sudah
diketahui, serangan Belanda yang pertama, dibawah pimpinan jendral Kohler,
sudah dihancur-leburkan oleh Tentara Acheh dan Kohler sendiri dihukum mati di
Kuta Raja. Serangan Belanda yang kedua dibawah pimpinan jendral Van Swieten,
yang dimulai pada tanggal 25 Desember, 1873, dengan kekuatan yang jauh lebih
besar lagi dari serangan yang pertama, juga tidak mendapat kemenangan,
sebagaimana sudah diakui sendiri oleh Van Swieten dalam buku-nya DE WAARHEID
OVER ONZE VESTIGING IN ACHEH (Keadaan sebenarnya tentang pendudukan kita di
Acheh), 1879. Dalam bulan Januari, 1874, segera sesudah ia mendarat dipantai
Acheh, van Swieten menyatakan kepada dunia bahwa ia sudah ‘mengambil’ (annexed)
Kerajaan Acheh dan memasukkannya ke dalam Hindia Belanda (alias
"indonesia). Ini telah dilakukannya untuk menyenangkan hati bangsa Belanda
yang telah begitu malu dimata dunia atas kekalahan-kekalahan yang mereka terima
dari tangan bangsa Acheh. Tetapi karena Negara Acheh dan Tentara Acheh yang
sangat kuat itu masih berdiri danmengalahkan tentara Belanda dalam setiap medan
perang yang terjadi sesudahnya, maka propaganda bohong dari Van Swieten itu
tidak dapat disembunyikan kebohongannya dari mata dunia, sehingga pernyataan
Van Swieten itu menjadi masjhur dengan nama "Van Swieten’s illegal
Annexation of Acheh" (Anthony Reid, ‘VAN SWIETEN’S ILLEGAL ANNEXATION OF
ACHEH’, The Contest for North Sumatra). Kemudian dari pada itu, pada tahun
1879, Van Swieten sendiri mengaku bahwa ia sebenarnya tidak pernah dapat
menaklukkan Acheh, dan ia meminta kepada bangsanya supaja ia dyangan lagi
dipanggil dengan nama julukan "Penakluk Acheh" sebab katanya ia malu
– karena ia tidak pernah dapat menaklukkan bangsa Acheh. Berdasarkan atas
pengalamannya sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang Belanda di Acheh, Van
Swieten mengatakan bahawa ia sudah jakin bangsa Acheh itu tidak mungkin dapat
dikalahkan dalam medan perang. Sekarang ia mengatakan bahwa Perang Acheh itu
satu kesalahan dari pemerintah Belanda. Belanda wajib menarik diri dari Acheh
dan mengakui Acheh sebagai Negara Merdeka kembali. Perang Acheh bukan saja
menghanthurkan tentra Belanda di Acheh, tetapi akan menghancurkankekuasaan
Belanda di "indonesia" . Van Swieten begitu jakin pada pendiriannya
itu hingga ia menyusun satu gerakan politik di negeri Belanda untuk
mempengaruhi pemerintah Belanda supaja mengikuti kebijaksanaan politik yang dianjurkannya.
Kata van Swieten : "Une nation ne meurt pas de reconnaitre une faute, mais
d’y persister" – satu bangsa tidak akan mati karena menginsafi satu
kesalahan yang sudah dibuatnya, tetapi akan mati karena jika bangsa itu
terus-menerus melakukan kesalahan itu! Seorang jendral Belanda yang sudah
menyatakan bahwa sudah ‘mengambil’ dan sudah ‘menaklukkan’ dan sudah
‘memasukkan’ Negara Acheh Merdeka kedalam "indonesia"-nya, kini
menuntut supaja Acheh di akui sebagai Negara Merdeka kembali. (J.VAN SWIETEN,
DE WAARHEID OVER ONZE VESTIGING IN ACHEH)
Tetapi lagi-lagi, pada tahun
1881, pemerintah Belanda menyatakan bahwa Acheh sudah dapat ditaklukkan dan
bahwa Perang Acheh sudah selesai dengan kemenangan bagi pihak Belnda. "Ini
adalah angan2 yang bukan2, yang tidak berdasar kenyataan, yang dibikin-bikin
oleh kaum penjajah," tulis peofessor M.C.Ricklefs, dalam bukunya A HISTORY
OF MODERN INDONESIA, Bloomington, Indiana University Press, 1981, p.137.
Seterusnya ia memberi komentar sebagai berikut: "Perang Acheh adalah satu
peperangan yang lama dan pahit sekali. Ketika tentara Belanda maju sambil
menjatuhkan bom dan membakar kampung2, penduduk lari ke gunung2 tetapi tetap
meneruskan perlawanan mereka…. Perlawanan dipimpin oleh ulama2 dan yang paling
masjhur adalah Tengku Jhik di Tiro (1836-91), dan perlawanan menjadi perang
suji antara Ummat Islam dan kafir. Achirnya Belanda menjadi sadar bahwa mereka
tidak menang apa2, dan tidak menguasai sejengkal tanah diluar tangsi2 mereka.
Biaja peperangan ini begitu besar sehingga pada tahun 1884-5 Belanda terpaksa
menarik mundur tentaranya ke benteng2, dan dengan demikian maka negeri Acheh
kembali dalam tangan bangsa Acheh sendiri."
Surat kabar London MORNING
POST, menulis dalam editorial-nya pada hari 2 Juli, 1874, sebagai berikut:
"Sudahlah menjadi satu
kenyataan bahwa bangsa Acheh itu bukanlah satu bangsa yang mudah dikalahkan
orang. Mereka sudah memperlihatkan kekuatan dan kesanggupan yang hampir2 tidak
ada jontohnya dalam melawan dan menentang sipenjajah negeri mereka. Laporan
yang terachir, yang kami terima dari sumber2 yang diperjajai, memperlihatkan
betapa besar kekuatan dan bagaimana keras tekad mereka untuk meneruskan
peperangan: mereka munjul kembali ditempat-tempat dimana tadinya mereka sudah
dikalahkan dan ditempat-tempat yang sama sekali tidak disangka-sangka oleh
Belnda…. Kabarnya kenyataan2 ini sudah begitu besar mempengaruhi dan mengobah
pendapat jenderal Van Swieten mengenai semangat perang bangsa Acheh. Satu
bangsa yang sanggup berperang dengan semangat yang semajam ini tidak akan
segera menyerah, dan kini sudah terang bahwa Belanda sudah salah terka dengan
pernyataan2nya yang mengatakan peperangan akan segera berachir…. Keberanian
bangsa Acheh memaksa kita mengangkat tangan; memberi hormat; dan ada sesuatu dalam
semangat bangsa yang baik ini yang menyebabkan mereka tidak mau merendahkan
diri kepada sipenjajah dan musuh2 mereka yang sudah rusak, atau mendirikan yang
baru ditempat benteng lama yang sudah roboh, dan dari sana membalas tembakan2
Belanda walaupun tidak kena, tetapi mesti ada balasan! Oleh karena itu apakah
perlu diherankan bahwa ‘kemenangan’ Belanda itu begitu tidak mejakinkan? Ketika
sejarah perang antara Belanda dengan Acheh ini ditulis dan dibukukan, kita
pikir, hal itu tidak akan menambah kebesaran bangsa Belanda."
Hal ini sbenarnya sudah
kejadian. Sampai sekarang sudah lebih 500 buku sejarah ditulis dalam bahasa
Belanda mengenai Perang Belanda dengan Acheh itu dan sungguhlah bangsa Belanda
tidak keluar dari halaman2 sejarah itu lebih baik dari sudut moral dan militer.
Sebaliknaj bangsa Acheh-lah yang tenyata lebih besar dan lebih baik dari sudut
moral dan militer, dalam tekadnya untuk hidup sebagai bangsa yang merdeka.
Dalam satu diantara buku2 sejarah Perang Acheh (Perang Belanda) yang terachir,
pengarangnya, Paul Van’t Veer, membuat kesimpulan sebagai berikut:
"Bangas Belanda dan
negeri Belanda tidak pernah menghadapi satu peperangan yang lebih besar dari
pada peperangan dengan Acheh. Menurut pandyang waktunya, perang ini dapat
dinamakan perang delapan-puluh-tahun. Menurut jumlah korbannya – lebih seratus
ribu orang yang mati – perang ini ada satu kejadian militer yang tidak ada
bandingnya dalam sejarah bangsa Belanda. Untuk negeri dan bangsa Belanda,
Perang Acheh itu lebih dari pada hanya pertikaian militer: selama satu abad
inilah persoalan pokok politik internasional, politik nasional, dan politik
kolonial Belanda." (Paul Van’t Veer, DE ACHEH-OORLOG, Amsterdam, 1969, p.
10).
"Acheh bukanlah Jawa.
Sebenarnya sudahlah terang-benderang bahwa dalam bagian dunia yang sejara umum
dan tidak berketentuan disebut Hindia Belanda ("indonesia") tidak ada
satu kerajaan yang dapat dibandingkan dengan Acheh. Ini kita tahu sekarang ini.
Satu peperangan yang lamanya lebih setengah-abad, seratus-ribu orang mati, dan
setengah miljard Rupiah Belanda abad ke-19 yang mahal itu, sudah menjadi bukti
dari hal ini. Kita sudah tahu ini sekarang, tapi kita tidak tahu itu ditahun
1873. Biarlah kenyataan2 ini tegak berdiri – dyangan sembunyikan – supaja
orang2 di negeri Belanda, atau lebih lagi di pulau Jawa, dapat mengatahui
manusia yang bagaimana bangsa Acheh itu." (Paul Van’t Veer, DE ACHEH
OORLOG, p.76)
Paul Van’t Veer menulis
dalam bukunya itu semua kejadian2 di Acheh antara tahun 1942 ketika bangsa
Belanda diusir dari Acheh untuk kali yang terachir. Ia membuat kesimpulan:
"Acheh adalah yang paling achir ditaklukkan tetapi yang pertama sekali
merdeka kembali!" – sebab sehabis Perang Dunia ke-II, ketika Belanda
kembali menduduki tanah jajahanmereka yang kini sudah diberi nama baru sebagai
"indonesia", mereka tidak berani kembali ke Acheh. Sebab itu adalah
menjadi hak bangsa Acheh untuk merdeka dan berdaulat kembali – seperti dimasa
sebelum Belanda datang menyerangnya. Tetapi hal yang adil dan lumrah ini tidak
terjadi karena kedustaan dan tipuan bangsa Belanda dan Jawa atas bangsa Acheh.
PENJAJAHAN
BELANDA DIGANTIKAN DENGAN PENJAJAHAN JAWA
Pada tanggal 27 Desember,
1949, Belanda menanda-tangani satu perjanjian dengan regime Jawa di Jakarta
yang menamakan dirinya "republik indonesia" supaja dapat mendakwakan
wilajah2 diluar Jawa sebagai ‘milik’nya, padahal mereka adalah orang-orang Jawa
belaka yang tidak pernah dipilih atau diberi kuasa oleh bangsa2 yang bukan
Jawa, apalagi oleh bangsa Acheh. Nama "indonesia" yang mereka pakai
itu adalah nama pura2, dalam bahasa Grik (Junani) yang bermakna "kepulauan
keling", yang tidak pernah ada hubungan apa2 dengan bahasa, sejarah,
budaja kita penduduk Dunia Melaju yang amat luas ini. Perjanjian antara Belanda
dengan Jawa inilah yang menjadi ‘alat’ pemindahan kekuasaan Belanda kepada
Jawa, dan yang menjadi ‘sumber’ kekuasaan Jawa atas Dunia Melaju. Karena
Belanda sebagai penjajah tidaklah mempunyai hak legal atas tanah2 orang yang
dirampasnya, maka "republik indonesia-jawa" inipun tidaklah mepunyai
hak legal apa2 atas wilajah Kepulauan Melaju yang masing2 pulau itu adalah
milik rakyatnya masing2. Belanda telah membuat Perjanjian illegal itu dengan
Jawa sebab regime Jakarta bersedia menjamin kepentingan ekonomi Belanda sampai
Hari Kiamat disini: membajar hutang negeri Belanda, memberi gaji pegawai2
negeri Belanda, membajar pension mereka, dls. Itulah Perjajian yang membuat dan
mensahkan "indonesia-dajwa" sebagai neo-colony bagi Belanda, dan
merampas hak menentukan nasib diri-sendiri dari pada penduduk Kepulauan Melaju
seluruhnya, termasuk dari pada bangsa Acheh sendiri yang sudah merdeka sejak
ribuan tahun – sebelum Belanda sendiri mendapat kemerdekaannya.
Dalam Perjanjian
Belanda-Jawa ini, Belanda berpura-pura ‘menyerahkan’ kedaulatannya atas Acheh
yang tidak pernah ada itu, kepada regime "republik indonesia",
se-akan2 Acheh adalah satu bagian dari Hindia Belanda, dan se-akan2 Acheh
pernah ditaklukkan dan dikuasai oleh Belanda, se-akan2 Perang Acheh/Belanda
yang hampir seratus tahun itu tidak pernah terjadi. Dan semua ini dilakukan
dengan tidak ada pemilihan, permusjawaratan atau muwafakat dengan bangsa Acheh.
Hal ini telah dilakukan walaupun diketahui Belanda tidak pernah mempunyai
kekuasaan de jure atau de facto atas Acheh. Apalagi ketika Belanda
menada-tangani Perjanjian itu dengan Jawa, Belanda sudah tujuh tahun – dari
tahun 1942 sampai tahun 1949 – tidak menginjakkan kaki kotornya diatas bumi
Acheh. Sungguhpun demikian Perjajian illegal antara Belanda dengan Jawa ini
disahkan oleh negara2 imperialis Barat, sehingga dengan itu negeri Acheh sudah
diletakkan dibawah penjajahan Indonesia/Jawa sejara illegal.
Semua ini adalah berlawanan
100% dan bertentangan langsung dengan Hukum Dekolonisasi dari PBB dan Hukum
Internasional. Perbuatan Belanda – Jawa ini melanggar semua keputusan
(Resolusi) Sidang Umum PBB mengenai penjajahan. Kerjasama antara penjajah
Belanda yang dengan penjajah Jawa yang baru untuk menghilangkan hak bangsa
Acheh untuk merdeka kembali tidak jontohnya dalam sejarah, apalagi karena
ketentuan2 Hukum Internasional dan Hukum Decolonisasi PBB dalam soal ini adalah
tegas sekali : (a) Kedaulatan atas wilajah2 jajahan ada dalam tangan bangsa2
penduduk wilajah itu sendiri – bukan dalam tangan sipenjajah atau pemerintah
asing - Keputusan Sidang Umum PBB 1514-XV; (b) Kedaulatan atas setiap tanah
jajahan tidak boleh diserahkan oleh satu penjajah kepada penjajah atau penguasa
yang lain - Keputusan PBB 1514-XV; dalam hubungan ini, Belanda sama sekali
tidak berhak menyerahkan kedaulatan atas Acheh kepada regime Indonesia/Jawa.
Demikian juga atas pulau luar Jawa yang lain; (c) Semua kekuasaan wajib
dikembalikan oleh sipenjajah kepada bangsa asli dari tiap tanah jajahan: dalam
hal ini kekuasaan atas Acheh wajib dikembalikan kepada bangsa Acheh, dan
demikian juga di negeri2 lain, dan bukan sekali-kali kepada bangsa Jawa –
Keputusan PBB 1514 –XV; (d) Semua negara anggota PBB berkewajiban menghabiskan
penjajahan dan wajib melarang siapapun menggunakan kekerasan terhadap bangsa2
yang sedang memperjuangkan kemerdekaan mereka: dalam hal ini apa yang dilakukan
oleh sipenjajah Jawa di Acheh,Papua, Maluku Selatan dan Timor adalah sebaliknya
– Keputusan PBB 2625-XXV; (e) Kepada bangsa2 terjajah diberi hak melawan
sipenjajah mereka, dan penjajahan dipandang sebagai kejahatan internasional –
Keputusan PBB 2621 –XXV; (f) Dilarang menggunakan kekerasan senjata atas mereka
yang sedang memperjuangkan kemerdekaannya – Keputusan PBB 3314 – XXIX;
bandingkan ini dengan apa yang sedang dilakukan oleh sipenjajah Indonesia/Jawa
sekarang ini dimana-mana dikepulauan Melaju. (g) Setiap wilajah jajahan
mempunyai hak hukum (legal status) yang terpisah dari wilajah jajahan yang lain
dan hak ini tidak boleh ditiadakan oleh sipenjajah dengan alasan mempersatukan
administrasi dls sebagai yang dilakukan Belanda di "indonesia" –
Keputusan PBB 2625 –XXV; (h) Semua bangsa mempunyai hak menentukan nasib
diri-sendiri dan hak kemerdekaan, menurut piagam PBB, artikel I, bagian 2 dan
55; menurut Piagam Hak Bangsa2 (Universal Declaration of the Rights of the
Peoples) artikel 5, 6, dan 11; menurut Piagam Hak Manusia (Universal
Declaration of Human Rights); menurut Piagam Hak Ekonomi, Kemasjarakatan dan
Kebudajaan (International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights);
dan menurut Piagam Hak Umum dan Politik (International Covenant on Civil and
Political Rights) (Dr. Tengku Hasan di Tiro, The Legal Status of Acheh Sumatra
under International Law, New York, 1980).
Menurut semua aturan dan
hukum ini yang sudah dijalankan diseluruh dunia – kejuali di Hindia Belanda
atau "indonesia" – maka Acheh sudah lama berhak merdeka kembali.
PERJUANGAN
ACHEH MERDEKA ADALAH LEGAL DAN MENURUT
HUKUM
Keputusan Sidang Umum PBB
No.2621-XXV, yang diambil pada 12 Oktober, 1970, yang berisi program lengkap
untuk bertindak guna melaksanakan Pernyataan tentang Kemerdekaan – Declaration
on Independence - dengan tegas menamakan segala usaha untuk membenarkan
penjajahan /penguasaan oleh satu bangsa atas bangsa yang lain sebagai
"kejahatan". Inilah yang sekarang sedang dilakukan oleh sipenjajah
Indonesia/Jawa atas bangsa Acheh, dan atas bangsa2 lain di Dunia Melaju.
Keputusan PBB itu mengakui adanya "Hak Mutlak dari pada bangsa2 yang sudah
dijajah itu untuk berjuang dengan segala jalan/alat yang diperlukan" dalam
melawan sipenjajah mereka.
Keputusan Sidang Umum PBB
No. 2711-XXV, yang diambil pada 14 Oktober, 1970, mengakui kelegalan semua
perjuangan kemerdekaan, termasuk perjuangan bersenjata, yang dilancarkan oleh
bangsa2 yang masih terjajah, untuk mencapai kemerdekaan mereka dan
menghanjurkan regime penjajahan dan regime2 asing yang datang dari seberang
lautan menjajah mereka. Semua anggota PBB diminta supaja memberi bantuan kepada
pejuang2 kemerdekaan ini.
Ini adalah dasar2 hukum
dalam Hukum Internasional dari Angkatan Acheh Sumatera Merdeka (NATIONAL
LIBERATION FRONT OF ACHEH SUMATERA) dalam perjuangan membebaskan diri dari
penjajahan Indonesia/jawa. Angkatan Acheh Merdeka sudah menegaskan sifatnya
yang internasionalis dengan menyatakan solidaritet dengan segala gerakan
kemerdekaan bangsa2 terjajah dan tertindas di dunia.
Dan di atas semua ini
Angkatan Acheh Sumatera Merdeka adalah satu organisasi Islam yang berdiri atas
dasar Islam dan membenarkan dirinya atas kewajiban Muslim untuk menegakkan
ke’adilan, melindungi yang tertindas, membenarkan yang benar dan melarang yang
salah.
TUJUAN
ANGKATAN ACHEH SUMATERA MERDEKA
Tujuan yang tertinggi dari
Angkatan Acheh Sumatera Merdeka ialah keselamatan bangsa Acheh dan Sumatera,
dunia dan achirat, sebagai satu bangsa merdeka dan berdaulat dibawah Daulat
Allah dan sebagai satu jama’ah dari pada satu Ummah: ini bermakna jaminan
keselamatan nilai2 agama, politik, masjarakat, budaja dan ekonomi mereka, yang
kesemuanya kini sedang dihanjurkan oleh penjajahan Indonesia/jawa; keselamatan
tanah pusaka mereka yang kini sedang dirampas dan dibagi-bagikan kepada bangsa
penjajah Jawa yang didatangkan beramai-ramai dengan memakai topeng sebagai
"transmigrants"; keselamatan ekonomi dan kekajaan alam mereka yang
kini sedang dirampok oleh penjajah Jawa dengan dalang2 mereka kaum imperialis
Barat atas nama "pembangunan". (Dr. Tengku Hasan di Tiro, Indonesia
as a Model Neo-Colony, London, 1984).
Yang kedua untuk menarik
perhatian dunia kepada kenyataan bahwa perkara Acheh Sumatera Merdeka bukanlah
perkara "separatisme" - hanya untuk memisahkan diri - sebagai yang
dipropagandakan oleh sipenjajah Jawa, tetapi adalah perkara Hak menentukan
Nasib-diri-sendiri dari bangsa Acheh dan Sumatera, dan perkara Dekolonisasi
atau Pembubaran dari Hindia Belanda, alias "indonesia", yang sampai
sekarang belum dilakukan menurut ketentuan yang diwajibkan oleh PBB dan Hukum
Internasional, dan menurut keputusan PBB mengenai kewajiban memberikan
kemerdekaan kepada bangsa2 yang terjajah. Oleh karena itu perkara pembubaran
Hindia Belanda alias "indonesia" mesti dibuka kembali sekarang juga.
KESIMPULAN
Dari apa yang sudah kita
kemukakan diatas sudah jukup nyata bahwa jika hak menentukan nasib diri-sendiri
dan hak kemerdekaan bisa ditolak untuk bangsa Acheh, maka tidak ada satu
bangsapun di dunia yang mempunyai hak untuk merdeka, dan Piagam PBB, Keputusan
Sidang Umum, Program Dekolonisasi, dan Hukum Internasional, kesemuanya itu
tidaklah mempunyai arti apa2.
Apa yang dinamakan oleh
sipenjajah Jawa sebagai "republik indonesia" mereka, adalah tetap
sebagai satu gerombolan perampok dan pejajah, penguasa yang tidak sah dan
illegal atas Tanah Acheh dan sumatera selama Hukum Internasional masih
menetukan sah atau tidaknya kekuasaan sesuatu negara atas sesuatu wilajah
adalah berdasarkan pada: bagaimana wilajah itu telah jatuh ke tangan negara
itu! Sudahlah jelas bahwa apa yang disebut-sebut sebagai "republik
indonesia" dari sipenjajah Jawa itu telah mengambil Acheh dan Sumatera
sebagai hadiah yang tidak sah dari sipenjajah Belanda, yang tidak mempunyai hak
de facto, tidak mempunyai hak de jure, dan tidak mempunyai hak untuk
"menyerah kedaulatan" atas Acheh Sumatera kepada siapapun juga -
apalagi kepada sipenjajah Jawa. Sebagai kata orang, nemo dat quod non habet - "orang
tidak dapat memberikan apa yang tidak dipunyainja".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar