DR. TENGKU HASAN M. DI TIRO,
STOCKHOLM, 1 FEBUARI, 1991
BISMILLAHI
ARRAHMAN ARRAHIM.
ASSALAMU’ALAIKUM
W.W.
Ucapan
ini saya tujukan kepada Saudara-saudara saya bangsa Sumatera, dari Acheh sampai
ke Lampung, dari Sabang sampai ke Bangka dan Belitung. Perjumpaan kita hari ini
bermakna: Saya sudah datang untuk mengunjungi Saudara-saudara sekalian, dan
masing-masing, dimana saja Saudara-saudara berada: di rumah, di kantor, di
pasar, atas Tanah ibu Sumatera, atau di perantauan. Mengapa saya lakukan ini?
Sebab saya menghargai dan memuliakan Saudara-saudara saya se-Sumatera: setiap
anak Sumatera mempunyai berat yang menentukan dalam neraca saya.
Saudara-saudara bukan hanya satu angka yang tidak berarti apa-apa dalam
statistik, sebagaimana dibuat oleh perampok-perampok Jawa selama 46 tahun yang
akhir-akhir ini, yakni sejak tahun 1945. Dalam statistik mereka, kita semua
akhirnya jatuh dalam keranjang sampah minoriti yang tetap, walaupun kita
berjumlah 25 juta jiwa. Kita yang hidup atas Tanah kita sendiri, tetapi
dinamakan minoriti dari satu bangsa lain, yang hidup di pulau atau negeri lain,
di seberang lautan, yang tidak ada hubungan apa-apa dengan kita. Bangsa Jawa
tidak ada hak untuk memerintah di pulau Sumatera, walaupun mereka lebih banyak
dari kita, sebagaimana bangsa Cina tidak ada hak untuk memerintah bangsa-bangsa
lain di Asia, walaupun mereka berjumlah lebih 1000 juta jiwa. Hak kita untuk
merdeka sendiri di Sumatera adalah mutlak, tidak ada sangkut-pautnya dengan
bangsa Jawa. Mereka tidak boleh meminoriti-kan kita diatas Tanah ibu kita
sendiri, Sumatera. Dalam sistem demokrasi, konsep minoriti itu diterima dengan
syarat bahwa minoriti itu dapat menjadi majoriti sesewaktu dan dengan
pasti-pasti. Tetapi dibawah penjajahan Jawa yang bernama "indonesia",
ini tidak bisa terjadi sebab bangsa Jawa mahu menjadi majoriti yang tetap
selama-lamanya. Mereka memakai nama "demokrasi" hanya untuk
propaganda dan penipuan politik semata-mata.
Pada hari
4 Desember, 1976, 15 tahun yang lalu, saya sudah menyatakan kepada dunia bahwa
Acheh mahu merdeka kembali sebagai sediakala: bahwa penjajahan bandit-bandit
Jawa dari Jakarta yang sudah terjadi selama 46 tahun yang akhir-akhir ini tidak
dapat menghapuskan Sejarah Negara Acheh Merdeka yang sudah lebih 1000 tahun
itu, dan diakui oleh dunia! 46 tahun penjajahan bandit-bandit Jawa tidak
mungkin dapat menghapuskan 1000 tahun Sejarah Acheh Merdeka! Dan Sejarah Acheh
Merdeka sama dengan Sejarah Sumatera Mardeka!
Sejarah
Acheh Merdeka tidak dapat dihapuskan lagi sebab sejarah ini sudah berurat dan
sudah berakar sampai ke hati bumi! Ini ditangan saya ada satu dokumen yang
diterbitkan dalam surat kabar Inggeris, The Times (London), pada tanggal 28
Januari, 1991, tiga hari yang lalu. Dokumen ini diteken oleh 4 orang anggota
Parlemen Inggeris yang terkemuka, yaitu Lord Avebury, anggota House of Lords,
Majlis Tinggi Parlemen Inggeris. beliau adalah Ketua Badan Urusan Hak-hak
Manusia dari Parlemen Inggeris. Kemudian dokumen ini ditandatangni pula oleh
Sir Bernard Braine, Wakil Ketua I dari pada Badan Urusan Hak Manusia Parlemen
Inggeris itu; kemudian diteken oleh Mr. Tony Lioyd, Wakil Ketua II dari Badan
Parlemen itu; dan oleh Mr. Anthony Coombs, Sekretaris Jenderal dari Badan
Parlemen itu. Dokumen rasmi ini menghukum perbuatan-perbuatan kejam yang
dilakukan oleh bandit-bandit Jawa, Joko Pramono dan kakitangannya terhadap
bangsa Acheh sekarang ini. Dan dalam dokumen ini dikatakan:
"In
view of long history of friendship between Britain and Acheh - including a
Treaty of ‘Permanent Peace, Friendship and Defensive Alliance’ in 1819 - before
the territory was invaded by the Dutch in 1873, it would be fitting if we
invited the United Nations Human Rights Commission to review the available
evidence..." Artinya: "Mengingat
kepada sejarah persahabatan yang lama sekali antara Inggeris dan Acheh -
termasuk adanya satu Perjanjian Persahabatan yang kekal dan Persekutuan
Pertahanan tahun 1819 - sebelum Acheh diserang oleh Belanda di tahun 1873, maka
adalah satu hal yang patut sekali bagi kita untuk mengundang Badan Urusan Hak
Manusia dari Perserikatan Bangsa Bangsa (United Nations Human Rights
Commission) untuk memasukkan perkara kekejaman Jawa di Acheh dalam acara
sidangnya bulan ini di Geneva dengan menimbang bukti-bukti yang telah ada pada
kita..." Surat rasmi ini dikeluarkan dari Istana Westminster, pada 18
Januari, 1991.
Ini
membuktikan bahwa sebenarnyalah bahwa kedudukan Acheh sebagai satu bangsa yang
merdeka dan berdaulat tidaklah pernah dilupakan dunia. Dan sejak kita nyatakan
kembali Acheh Merdeka, maka kedudukan Acheh di Dunia Internasional sudah kita
kembalikan sebagai sediakala. Sekarang saja kita sudah mendapat satu kekuasaan
besar (Kerajaan Inggeris) untuk menjadi pembuka-pintu bagi kita masuk langsung
ke Sidang Human Rights Commision dari Perserikatan Bangsa Bangsa. Dari sini
hanya satu langkah lagi untuk membuat PBB campur tangan dalam soal pembubaran
kolonialisme Jawa di Acheh atauSumatera, misalnya dengan mengadakan pemilihan,
dibawah pengawasan PBB. Apakah bangsa Acheh-Sumatera mahu merdeka atau mahu
tetap menjadi jajahan Jawa? Kita akan ambil langkah ini kalau kita anggap
waktunya sudah tiba. Yang sudah terang-benderang sekarang ialah bahwa
bandit-bandit Jawa tidak dapat lagi menguasai politik dan hubungan luar negeri
Acheh. Usaha Angkatan Acheh-Sumatera Merdeka untuk mengembalikan kedudukan lama
Acheh di Dunia Internasional sudah berhasil dengan gilang-gemilang, dan tidak
dapat disangkal lagi walaupun oleh bandit-bandit Jawa!
Penjajahan
bandit-bandit Jawa di Sumatera sudah dilakukan secara illegal, tidak sah.
Menurut Hukum International, sah atau tidaknya sesuatu wilayah masuk ke sesuatu
negara bergantung pada bagaimana asal mulanya wilayah itu menjadi bagian dari
negara itu: kalau melalui jalan yang sah, maka sah; kalau melalui jalan yang
tidak sah, maka wilayah itu tidak sah menjadi bagian dari negara itu. Maka yang
wajib kita tanya sekarang ini: apakah negara penjajah indonesia-Jawa memperoleh
Sumatera secara legal? Mungkin Saudara-saudara sudah tahu bahwa Sumatera telah
jatuh menjadi satu bagian dari indonesia-Jawa pada tanggal 27 Desember, 1949.
Tetapi menurut Hukum Internasional, Belanda tidak mempunyai kedaulatan atas
Sumatera. Maka bagaimana Belanda boleh memberikannya kepada indonesia-Jawa apa
yang Belanda sendiri tidak punya? Yang kedua, juga menurut Hukum Internasional,
negara-nagara penjajah tidak mempunyai hak untuk ‘menyerahkan kedaulatan’ atas
tanah jajahan kepada negara lain. Jadi Belanda tidak mempunyai hak untuk
menyerahkan kedaulatan atas Sumatera kepada indonesia-Jawa. Teranglah sudah apa
yang dilakukan oleh Belanda dan indonesia-Jawa adalah 200 % illegal. Sebab itu
negara penjajahan indonesia-Jawa tidak mempunyai hak yang sah di pulau
Sumatera: negara penjajah indonesia-Jawa adalah illegal disini! Sumatera telah
jatuh ke tangan mereka tidak menurut Hukum International!
Atas
pertanyaan: "SUMATERA, SIAPA PUNYA?" - hanya ada satu jawaban yang
tegas, terang, dan tidak samar-samar lagi, - yaitu kepunyaan kita bangsa
Sumatera sendiri, dari Acheh sampai ke Lampung, dari Sabang ke Bangka dan
Belitung! Bandit-bandit Jawa: Suharto, Sudomo, Sutrisno, Pramono, Murdani,
Prawiro, Wiranto, dan lain sebagainya, tidak mempunyai hak untuk datang ke
Sumatera kalau tidak meminta izin masuk dari Saudara-saudara lebih dahulu;
apalagi kalau mereka datang untuk ‘memerintah’ ke Sumatera; ini membuat mereka,
dengan serta-merta menjadi ‘penjahat internasional’ sebab perbuatan pergi
‘memerintah-ke-seberang-lautan’ bermakna menjajah, dan sipenjajah sekarang dinamakan
dalam istilah Hukum Internasional sebagai ‘International Criminals’
(Penjahat Internasional), dimana kita bangsa Sumatera, yang berdaulat dan
yang dipertuan di Sumatera, berhak menghukum mereka.
Hak bersama (collective
rights) yang paling penting dari sesuatu bangsa ialah Hak Daulat atas Tanah Ibu
dan Bapanya, yang tidak boleh diganggu-gugat oleh bangsa-bangsa lain dari
seberang lautan. Hak Daulat kita bangsa Sumatera atas pulau Sumatera tidak
boleh diganggu-gugat oleh bangsa Jawa dari seberang lautan. Hak kita atas Tanah
Ibu dan Tanah Bapa ini dilindungi dan dijamin oleh Hukum Internasional dengan
tujuh buah Ketentuan hukum:
Pertama, Ketentuan Hukum Tanah (Jus Soli)
yang memelihara hak seseorang atau sesuatu bangsa atas Tanah Tumpah Darahnya.
Inilah satu hak dasar yang penting sekali, yang tidak boleh diikut sertakan
orang atau bangsa lain yang tidak memenuhi syarat-syarat ketentuan ini. Ini
bermakna bahwa di Sumatera hanya kita bangsa Sumatera asli yang mempunyai Hak
Tanah ini. Bangsa Jawa tidak mempunyai hak ini di Sumatera. Inilah pagar hukum
yang pertama, yang melindungi Hak Saudara-saudara atas Tanah Ibu Sumatera.
Bangsa Jawa tidak boleh masuk kemari lalu menuntut hak yang sama dengan kita,
apalagi untuk bertindak sebagai ‘pemerintah’ terhadap kita.
Kedua, Ketentuan Hukum Internasional
yang disebut Jus Sanguinis (Hukum Darah) yang mengatakan bahwa hanya mereka
yang berdarah Sumatera dalam badannya mempunyai Hak Tanah atas pulau Sumatera.
Hak Darah ini memperkuat Hak Tanah yang baru saya sebut tadi.
Ketiga, Ketentuan Hukum Internasioanal
perkara Hak Daulat (Sovereignty). Di Sumatera, yang mempunyai kedaulatan ialah
bangsa Sumatera sendiri. Bangsa Jawa tidak boleh berdaulat di Sumatera. kalau
mereka mengatakan bahwa mereka berdaulat di Sumatera, itu bermakna mereka sudah
menjajah kita. Dan karena penjajahan adalah satu kejahatan, maka kita wajib
mengusir mereka dari Tanah Sumatera.
Ke-empat, Ketentuan Hukum International
yang melarang penjajahan (colonialism) dalam segala bentuk dan macamnya. Makna
yang setegas-tegasnya tentang penjajahan ialah perbuatan sesuatu bangsa yang
pergi memerintah bangsa lain di seberang laut: seperti apa yang dilakukan
oleh bangsa Jawa atas bangsa Sumatera selama 46 tahun akhir-akhir ini, walaupun
apa yang dipropagandakan oleh bandit-bandit Jawa itu! Penjajahan adalah satu
kenyataan yang tidak dapat ditutup-tutup dengan propaganda atau
"penerangan".
Kelima, Ketentuan Hukum Internasioanal
yang menjamin Hak Hukum Tersendiri (Separate Jurisdiction) kepada segala negeri
terjajah supaya tidak ‘disatukan’ oleh sipenjajah, seperti Jawa membuat negara
‘kesatuan’-nya dari pulau-pulau yang dijajahnya. Ini memperlihatkan bahwa
perbuatan bandit-bandit Jawa memasukkan Sumatera dalam ‘negara kesatuan’ mereka
adalah perbuatan illegal, yang melanggar Hak Hukum Tersendiri dari Sumatera.
Ke-enam, Ketentuan Hukum Intenasional
yang menjamin Hak Menentukan Nasib Diri-Sendiri (Self-Determination) kepada
bangsa-bangsa terjajah adalah satu jaminan lagi atas Hak Tanah dan Hak Darah
mereka yang tidak boleh diperkosa oleh bangsa-bangsa lain dari seberang lautan.
Hak ini adalah satu hak mutlak juga bagi kita bangsa Sumatera.
Ke-tujuh, Ketentuan Hukum Internatioanal
yang mengakui Hak bangsa-bangsa terjajah untuk berperang melawan bangsa
penjajahnya (the legality of liberation struggle). Tegasnya kita bangsa
Sumatera mempunyai hak penuh untuk melawan sipenjajah Jawa yang sudah
menggantikan Belanda sebagai penjajah atas bumi Sumatera.
Ketujuh
Ketentuan Hukum Internasional ini sudah lebih dari cukup untuk memelihara Hak
Tanah, Hak Darah, Hak Daulat, Hak Berdiri-Sendiri, Hak Terpisah, Hak Merdeka
dan Hak Berperang dari segala bangsa untuk mengawal kemerdekaannya - termasuk
kita bangsa Sumatera, asalkan kita bersikap dan bertindak menurut
ketentuan-ketentuan ini. Tetapi ketentuan-ketentuan hukum ini, seperti semua
ketentuan hukum yang lain, tidaklah bekerja dengan sendirinya. Kita yang punya
Tanah, yang punya Darah, yang punya Daulat, yang wajib menegakkan
Ketentuan-ketentuan Hukum Internasional ini. Kita telah diberikan Tujuh Lapis
Pagar, yang dapat memelihara Hak kita atas Tanah Ibu Sumatera. Tetapi alangkah
ganjilnya: walaupun telah ada Tujuh Lapis Pagar ini, babi-babi Jawa masih dapat
masuk ke kebun kita Sumatera dan memakan segala hasilnya!
Sebenarnya
Sumatera sudah wajib merdeka 46 tahun yang lalu, sewaktu Belanda sudah pergi.
Demikianlah Ketentuan-ketentuan Hukum Internasional dan Aturan-aturan
Perserikatan Bangsa Bangsa. Ada pemimpin-pemimpin Sumatera yang mengatahui hal
ini dan telah berusaha mendirikan Negara Sumatera Merdeka di tahun 1945 dan di
tahun-tahun sesudahnya. Mereka itu ialah Dr. Tengku Mansur dari Medan dan Tuan
Abdul Malik dari Palembang. Mereka adalah putera-putera Sumatera yang tahu
siapa diri mereka, apa Kepentingan Nasional Sumatera mereka, dan menghormati
diri dan nenek-moyang mereka. Mereka menolak menerima ‘perintah’ dari
bandit-bandit Jawa, dari seberang lautan, sebab mereka tahu menerima ‘perintah’
dari seberang lautan itulah penjajahan! Mereka tidak membenarkan pergantian
penjajahan Belanda dengan penjajahan bandit-bandit Jawa atas bumi Sumatera!
Mereka mau Sumatera Merdeka! Hari ini kita ratapi mereka itu! Hari ini saya
nyatakan kedua patriot Sumatera itu sebagai Pahlawan Nasional Sumatera!
Ada lagi
satu golongan pengkhianat-pengkhianat Sumatera yang tidak boleh kita lupakan.
Sebab kalau kita lupakan, maka mereka akan dapat menggagalkan perjuangan
kemerdekaan kita sekali lagi, kali ini. Mereka itu ialah orang-orang Sumatera
yang sudah pindah ke Jawa dan menjadi kaki-tangan, kuda-beban, jongos, maupun
pesuruh bandit-bandit Jawa: mereka sudah lama menjual murah Kepentingan
Nasional Sumatera dan Tanah Ibu kita kepada bandit-bandit Jawa, untuk
kepentingan pribadi mereka sendiri, asal diberi sedikit gadji atau
jabatan-jabatan Menteri boneka yang tidak berkuasa apa-apa. Untuk itu mereka
bersedia membenarkan penjajahan bandit-bandit Jawa terhadap bangsa dan negeri
mereka. Kebanyakan mereka mengidap penyakit ‘identity crisis’ dan ‘inferiority
complex’. Tandai mereka ini, kenali mereka, dan jangan lagi terpengaruh dengan
perkataan dan tulisan mereka!
Bangsa-bangsa,
pulau-pulau, benua-benua, adalah kenyataan-kenyataan alam, bikinan Tuhan, yang
tidak dapat dibuat-buat atau dibikin-bikin oleh manusia. Berpegang teguhlah
pada kenyataan-kenyataan ini, dan pada kebenaran-kenenaran yang lain: sebab di
indonesia-Jawa kenyataan dan kebenaran bisa ditiadakan dengan propaganda;
pulau-pulau dan bangsa-bangsa bisa dihilangkan dengan ‘tukar nama’. Tuhan telah
membuat pulau Sumatera dan bangsa Sumatera untuk menduduki dan memilikinya dan
mempusakakannya kepada anak cucu mereka. Demikian juga Tuhan telah membuat
pulau Jawa, dan bangsa Jawa atas pulau itu. Ini adalah kenyataan dan kebenaran.
Bangsa Jawa harus menerima kenyataan dan kebenaran ini, juga, mereka tidak boleh
pergi ke Sumatera merampas Tanah kita. Untuk menjamin keadilan dan kebenaran
inilah maka dalam Hukum Internasional telah dibuat 7 buah Ketentuan Hukum untuk
menjaga Hak setiap bangsa atas Tanahnya: supaya satu bangsa tidak dapat
merampas tanah bangsa lain; untuk itulah maka telah diadakan 7 Ketentuan Hukum
- 7 lapis pagar! - untuk menjaga Hak bangsa-bangsa atas Tanah Ibu mereka:
ketujuh Ketentuan Hukum Internasioanl itulah: Jus Soli, Jus Sanguinis,
Sovereignty, Separate Jurisdiction, Self-Determination, No-to-Colonialism,
Right to Liberation.
Tetapi
apa yang sudah terjadi dan sedang terus terjadi terhadap kita bangsa Sumatera,
di pulau Sumatera? Bandit-bandit Jawa: Suharto, Murdani, Sutrisno, Sudomo,
Pramono, Wiranto, dan lain sebgainya sudah merangkak masuk ke Tanah Pusaka kita
Sumatera, dengan meloncat ke 7 pagar Hukum Internasional itu, dengan pistol
ditangan, mereka mengancam kita untuk menukar nama bangsa kita, untuk menukar
nama Tanah kita, dari bangsa Sumatera menjadi satu bangsa lain yang diada-adakan
oleh mereka, yaitu dari bangsa Sumatera menjadi "bangsa pulau Hindu"
(itulah makna kata-kata "indonesia" dari bahasa Yunani), dan siapa
yang tidak mahu maka mereka menembak mati bangsa kita seketika itu juga! Yang
mereka lakukan atas kita ini adalah perampokan ditengah hari! Kalau kita mau
menurut ‘perintah’ dari penyamun-penyamun Jawa ini, yakni menukar nama kita
dari bangsa Sumatera menjadi bangsa pura-pura ‘indonesia’, maka berarti pada
detik itu juga kita sudah menghapuskan diri kita sebagai bangsa Sumatera
(sebagai Tuhan telah menciptakan kita!); sudah melenyapkan Hak kita atas pulau
Sumatera; sudah melemparkan ke dasar laut Hak milik kita atas pulau Emas; sudah
membatalkan sendiri ke 7 Ketentuan Hukum Internasioanal yang menjamin Hak
Bangsa Sumatera itu. Dalam dunia ini tidak ada satu hakpun dapat berdiri atau
selamat, kalau bangsa yang mempunyai Hak itu tidak mau mempertahankan Haknya.
Seluruh
kehidupan manusia dan kehidupan bangsa-bangsa adalah perselisihan mengenai
‘ukuran’ dan ‘timbangan’ dan ‘siapa yang patut memegang timbangan’ itu, didalam
setiap negeri, dikalangan setiap bangsa. Bangsa-bangsa yang membiarkan
‘neraca’-nya dipegang oleh bangsa asing yang datang dari seberang lautan,
bangsa itu akan mampus sebagai satu bangsa. Bangsa-bangsa yang mahu hidup,
tetapi tidak mahu berselisih, tidak mau bertengkar, tidak mahu berkelahi, tidak
mahu berperang dalam perkara ‘ukuran’ dan ‘timbangan’nya dan dalam perkara
menentukan ‘siapa yang berhak memegang neraca’ di negerinya, maka bangsa itu
akan hilang lenyap dari permukaan bumi. Sebab itu setiap bangsa merdeka
haruslah bersedia berperang dalam menentukan perkara-perkara ‘ukuran’
‘timbangan’ dan ‘penimbang’ ini.
Apa
sebenarnya yang wajib kita lakukan di Sumatera atas bandit-bandit Jawa penjajah
ini? Kita wajib mengusir mereka dari bumi Sumatera dalam detik ini juga!
Bandit-bandit Jawa ini adalah orang-orang bodoh, tidak berpendidikan, tidak
berperadaban; mereka tidak pandai memerintah: mereka hanya tahu merampok dan
membunuh. Mereka tidak berhak memegang ‘ukuran’, ‘timbangan’ dan ‘neraca’ kita
di Sumatera. Mereka tidak mempunyai kesanggupan dalam hal-hal semacam ini,
sebab ‘korupsi’ adalah bahagian yang tidak dapat dipisah-pisahkan dari
kebudayaan dan peradaban mereka. Ahli falsafah Jerman, Friedrich Nietzsche,
selalu memperingatkan kita bahwa: "sangatlah berbahaya apabila sesuatu
golongan memperoleh kekuasaan politik, padahal mereka ini tidak mempunyai nilai
peradaban yang benar-benar lebih tinggi dari golongan lain yang diperintahnya
... maka kekuasaan politik di tangan mereka ini akan menjadi penindasan yang
paling kejam dan diluar peri-kemanusiaan." (Political superiority
without any real human superiority is most harmful...any slackening of cultural
tasks would turn this power into the most revolting tyranny.")
Inilah
yang sedang terjadi di Tanah Ibu kita Sumatera dibawah penjajah bandit-bandit
Jawa yang tidak mempunyai peradaban ini. Kita wajib mengusir mereka dari
persada Tanah Ibu kita sekarang juga! Orang Sumatera yang tidak berani berbuat
begitu berarti hilang Haknya atas pulau Emas ini! Karena banyak sekali
orang-orang Sumatera yang sudah menjadi beginilah maka sekarang Emas kita sudah
menjadi borg atau modal Bank-Bank Jawa sebagai rekening atau account
dari bandit-bandit Jawa: Suharto, Murdani, Sudomo, Sutowo, Sutrisno, dan lain
sebagainya.
Selama
ini bandit-bandit Jawa bergantung hampir 100% pada kita bangsa Sumatera untuk
melakukan penjajahannya. Inilah penjajahan yang kita biayai sendiri dengan uang
Sumatera, dan dengan bantuan tenaga boneka-boneka Sumatera-nya. Bandit-bandit
Jawa tidak akan pernah berhasil mendirikan penjajahan mereka di Sumatera dengan
tidak ada kerja sama dari kaki-tangan mereka yang terdiri dari bangsa Sumatera.
Sebab itu sebegitu lekas kita dapat memberi kesadaran kepada bangsa Sumatera
perkara Kepentingan Nasioanal Sumatera-nya sendiri, sebegitu lekas kita dapat
menghancurkan penjajahan bandit-bandit Jawa di pulau kita. Sebenarnya
imperialisme Jawa ini adalah satu imperialisme yang paling lemah di dunia. Ia
adalah imperialisme orang-orang bodoh dan miskin yang mustahil dapat
dipertahankan oleh mereka apabila bangsa Sumatera sudah terbuka kembali
matanya, sudah bangun dari tidurnya, dan sudah sadar kembali kepada Kepentingan
Nasional Sumatera-nya. Imperialisme Jawa sudah didirikan atas dasar penipuan
umum didalam negeri dan di luar negeri dengan meniadakan bangsa Acheh-Sumatera
dan lain-lain, dan dengan meniadakan ke 7 buah Ketentuan Hukum Internasional
mengenai Hak bangsa-bangsa untuk merdeka atas tanah pusaka mereka masing-masing.
Bila rahasia penipuan ini terbuka, di dalam dan di luar negeri, sebagaimana
sudah mulai terjadi sekarang, maka imperialisme simiskin dan sipembual ini akan
harus gulung tikar! Sebab itulah mereka takut sekali kepada apa yang ditulis
dalam surat-surat kabar luar negeri mengenai kekejaman dan korupsi mereka,
sebab isi surat-surat kabar luar negeri itu lambat-laun akan sampai juga
ketelinga bangsa Sumatera dan bangsa-bangsa seberang lautan yang lain yang
mereka jajah atas nama bangsa pura-pura ‘indonesia-Jawa.’
Sebenarnya
imperialisme bandit-bandit Jawa ini begitu lemahnya, sehingga kita bisa
mengusirnya dari Sumatera dengan ‘gesture’ saja, nyakni dengan memberi
‘isyarah’ saja. Camkan ini: seluruh dunia tahu bahwa di pulau Jawa tidak ada
apa-apa. Apa yang dimahui oleh bangsa-bangsa dunia adalah kekayaan Sumatera.
Orang-orang luar negeri datang ke Jawa adalah sebab Sumatera: sebab
Saudara-saudara di Sumatera sudah memberi kesan kepada dunia luar bahwa
Saudara-saudara benar-benar memandang bandit-bandit Jawa di Jakarta itu sebagai
‘pemerintah-pusat’-mu, sebagai ‘yang dipertuan’-mu, yang kamu ta’ati! Sebegitu
lekas Saudara-saudara bagi tahu kepada dunia luar, bahwa Saudara-saudara tidak
mau lagi menerima ‘perintah’ dari bandit-bandit itu, orang luar negeri tidak
akan datang lagi ke Jawa, tetapi akan datang langsung ke Sumatera membuat
urusan dengan kita! Dan hal ini bisa kita beritahukan kepada dunia luar dengan
dua cara: baik dengan dentuman peluru, atau dengan berbisik saja ke telinga
Diplomat-diplomat luar negeri. Saudara boleh memilih antara kedua jalan ini
untuk mengusir bandit-bandit Jawa dari Tanah Ibu kita: kapan saja dan begitulah
mudahnya!
Kedudukan
bandit-bandit Jawa adalah dalam keadaan yang sukar sekali sekarang. Dimasa yang
lampau mereka berhasil memegang menopoli hubungan luar negeri kita. Dimasa yang
sudah hanya mereka saja yang pandai bergerak dalam lapangan yang menetukan
segala-galanya ini: sebab di bagian dunia kita, politik luar negerilah yang
menentukan politik dalam negeri! Sekarang monopoli mereka dalam urusan hubungan
luar negeri sudah kita hancur-leburkan. Seperti mereka mempunyai
perwakilan-perwakilan di luar negeri, kitapun, yakni Angkatan Acheh-Sumatera
Merdeka juga mempunyai perwakilan luar negeri. Sekarang bandit-bandit Jawa
tidak dapat lagi berbicara ‘atas nama’ kita di luar negeri, atau bertinak
sebagai ‘juru bicara’ kita. Sebab kita tidak izinkan lagi mereka berbuat
demikian: sebab kita sudah dapat berbicara dan berhubungan sendiri dengan dunia
luar - kembali seperti di masa Acheh dan Sumatera masih merdeka. Sekarang
bandit-bandit Jawa tidak dapat lagi menjual harta kekayaan Sumatera ke luar
negeri dengan tidak kita ketahui, dan akan kita ambil kembali sesewaktu.
Bandit-bandit
Jawa penjajah mengatakan bahwa masalah kemerdekaan Acheh-Sumatera adalah soal
‘dalam negeri’ mereka. Bagaimana bodohnya mereka ini. Pulau Sumatera tiga kali
lebih besar dari pulau Jawa: bagaimana ada jalan untuk memasukkan pulau
Sumatera yang tiga kali lebih besar itu ke dalam pulau Jawa? Dan apakah mereka
tidak tahu ke 7 Ketentuan Hukum Internasional, yang menyatakan mereka tidak
berhak campur tangan dalam soal kemerdekaan Sumatera? Kalau mereka tidak tahu,
maka kitalah yang wajib mengajar mereka yang kurang ajar ini.
Selama 46
tahun belakangan ini, yakni sejak tahun 1945, bandit-bandit Jawa sudah
melakukan penipuan-penipuan politik yang luar biasa terhadap bangsa Sumatera
yang belum mempunyai kesadaran politik itu sampai sekarang. Antara lain,
pemalsuan sejarah: nama ‘indonesia’ yang baru berumur 46 tahun,
sekarang dipropagandakan seakan-akan sudah berumur beribu-ribu tahun, bahkan
ada ‘prehistory’-nya. Bagaimana satu bangsa pura-pura, yang ‘history’-nyapun
tidak ada, bisa ada ‘prehistory’nya? Propaganda ini dibuat oleh bandit-bandit
Jawa untuk mempengaruhi orang-orangn Sumatera yang tidak tahu sejarah. Kedua, pemalsuan
kenyataan: sudah kita tahu bahwa Tuhan-lah yang membuat pulau dan
bangsa sebagaimana sudah dicipta-Nya pulau Sumatera dan bangsa Sumatera; pulau
Jawa dan bangsa Jawa. Tetapi Tuhan tidak membuat pulau ‘indonesia’ dan tidak
mencipta ‘bangsa indonesia’ di dunia ini. Ini hanya propaganda bandit-bandit
Jawa belaka supaya mereka boleh datang ke Sumatera untuk merampok (menjajah)
kita. Tetapi orang-orang Sumatera yang bodoh-bodoh, yang tidak tahu kepentingan
ekonomi dan kepentingan politiknya sendiri menerima propaganda bandit-bandit
Jawa ini. Ketiga, dengan propaganda lain yang bukan-bukan, yang
kalau kita kupas dengan akal sehat akan ternyata kepalsuannya dengan
terang-benderang. Misalnya propaganda mereka tentang ‘sumpah pemuda’ yang konon
telah ‘membuat’ bangsa indonesia mereka. Pikirlah: ‘sumpah pemuda’ tidak bisa
membuat pulau dan tidak bisa membuat bangsa, sebab yang membuat pulau dan
bangsa itu adalah Allah semata-mata. Sumpah itu hanyalah satu istilah hukum,
yang mempunyai makna dan akibat yang pasti-pasti dan ada batas-batasnya. Sumpah
hanya mengikat mereka yang bersumpah saja dan bukan orang lain, apalagi seluruh
bangsa. Sumpah itu ada yang legal dan ada yang tidak legal, ada yang boleh dan
ada yang tidak boleh. Semua bergantung pada apa isi sumpah itu: apa yang
disumpahkan. Kalau ada pemuda-pemuda yang bersumpah untuk membuat pulau
Sumatera (yang mana adalah harta pusaka bangsa Sumatera) untuk menjadi milik
bangsa Jawa dari seberang lautan, maka sumpah pemuda itu adalah hukumnya
illegal, haram, bersifat kejahatan (criminal). Itu artinya sumpah untuk
merampok harta orang lain. Pikirlah. Itulah hakikat dan akibat dari ‘sumpah
pemuda’ yang diagung-agungkan tersebut. Kalau ada pemuda-pemuda Sumatera yang
turut membuat sumpah itu, maka ia sudah menjadi pengkhianat kepada bangsanya
sendiri: sebab telah menjual Tanah Ibunya kepada bangsa asing dari seberang
lautan. Disamping itu wajib kita bertanya pula: apakah pemuda-pemuda tersebut
mendapat mandat (surat kuasa) dari kita bangsa Sumatera untuk membuat sumpah
bodoh dan haram itu atas nama kita? Siapakah yang sudah memilih mereka? Kita
tahu: tidak ada yang memilih mereka. Sebab itu, ‘sumpah pemuda’ itu tidak dapat
dijadikan sebagai dasar politik negara sebagaimana dipropagandakan oleh
bandit-bandit Jawa. sebenarnya dalam apa yang disebut ‘sumpah pemuda’ itu
terlibat satu komplot Jawa untuk menghancurkan Hak Tanah(Jus Soli) dari bangsa
Sumatera atas pulau Sumatera; untuk menghancurkan Hak Darah (Jus Sanguinis)
dari bangsa Sumatera atas pulau Sumatera; untuk menghilangkan Hak Daulat
(Sovereignty) bangsa Sumatera atas pulau Sumatera; dan untuk memberikan pulau
Sumatera kepada bangsa Jawa.
Maka dari
sudut Hukum ‘sumpah pemuda’ ini adalah illegal, haram, sebab dalam sumpah ini
terlibat pencurian tanah dan perampasan kekayaan bangsa Sumatera oleh
pemuda-pemuda Jawa. Pemuda-pemuda Sumatera yang turut serta dalam sumpah yang
terang-terangan merugikan kepentingan nasional mereka itu, sadar atau tidak
mereka sudah berkhianat. Patutkah satu sumpah haram, illegal, dan bodoh ini
diterima sebagai dasar ‘kebangsaan indonesia’? Sudah terang tidak patut! Selain
dari pada itu, ‘sumpah pemuda’ ini juga melanggar ketujuh Ketentuan Hukum
Internasional yang melindungi Hak bangsa Sumatera atas tanah yang telah
dikurniai Allah kepada mereka.
Disamping
melanggar Hukum Internasional, dan Kepentingan Nasional Sumatera, ‘sumpah
pemuda’ itu juga melanggar Hukum Pusaka dan Hukum Harta Benda dalam Islam,
sebab membenarkan perampasan harta pusaka dari berjuta-juta bangsa Sumatera dan
memindahkannya secara tidak sah ke tangan bangsa Jawa, Firman Allah dalam
Quran:
"Wala
takkulu amwalakum bainakum bilbathili watudlu biha ilalHukkami litak kulu
fariqam min amwalinnasi bil-ithmi wa-antum ta’lamun."(Al-Baqarah: 188.)
"Janganlah
kamu memakan harta sesamamu diantara kamu dengan tidak adil, dan memakai
pemerintah untuk merampas harta manusia secara haram dan kamu tahu." (surat Al-Baqarah: 188.)
Sebab itu
‘sumpah pemuda’ yang dimaksud itu adalah illegal, haram, dan satu kejahatan
sebab ia merampas hak milik dan hak pusaka bangsa Sumatera dengan tidak adil,
untuk memberikannya kepada bangsa Jawa dari seberang lautan.
Apakah
yang sudah dilakukan oleh bandit-bandit Jawa atas Tanah Ibu kita Sumatera dari
tahun 1945 sampai sekarang ini (1991): sudah masuk 46 tahun? Sudahlah
terang-benderang bahwa bangsa Jawa sudah mengambil pulau Sumatera secara haram,
illegal. Dan sejak itu mereka sudah mendirikan pemerintahan dengan pembunuhan
sampai hari ini. Kita tidak boleh lupa bahwa yang pertama sekali dilakukan oleh
bandit-bandit Jawa ini, sebegitu lekas mereka berhasil merebut Sumatera di
tahun 1945, ialah membunuh semua Sultan-Sultan kita di Sumatera: seperti Sultan
Langkat, Sultan Asahan, Sultan Deli, Sultan Siak, Sultan Serdang, Sultan Panai,
Sultan Kutei, dan lain-lain. Dengan membunuh semua Sultan-Sultan kita, mereka
sudah memenggal Kepala Sumatera! Sebab Sultan-Sultan kita adalah lambang
kemuliaan bangsa Sumatera! Kita punya prestige symbols! Selama
Sultan-Sultan kita masih ada di Sumatera, maka bandit-bandit Jawa tidak dapat
membuat bangsa Sumatera menyembah kepada mereka. Itulah sebabnya mengapa
bandit-bandit Jawa telah membunuh Sultan-Sultan Sumatera. Oleh bandit-bandit
Jawa telah dipropagandakan bahwa Sultan-Sultan kita di Sumatera sudah terbunuh
sebab adanya ‘revolusi sosial’ di indonesia. Tetapi Sultan-Sultan kita tidaklah
dibunuh oleh rakyat Sumatera melainkan oleh bandit-bandit Jawa transmigrants
yang keluar dari kebun-kebun karet di sekitar Medan atau Sumatera, atas
perintah dari pemimpin-pemimpin mereka dari Jawa. Jika benar ada ‘revolusi
sosial’ di indonesia, mengapa Sultan-Sultan Jawa tidak dibunuh juga? Memang
Sultan Jogya, Sultan Solo, dan lain tidak dibunuh? Hanya Sultan-Sultan kita di
Sumatera yang dibunuh. Bukan Sultan-Sultan saja, tetapi juga semua kaum
keluarga: ini berarti semua orang-orang terpelajar dan yang paling terkemuka di
kalangan bangsa Sumatera!
Pemerintahan
dengan pembunuhan ini masih terus dijalankan oleh bandit-bandit Jawa sampai
hari ini: Saudara-saudara tahu apa yang sedang mereka lakukan di Acheh sekarang
ini. Tetapi kita tidak takut kepada bandit-bandit Jawa ini: kita akan berikan
hukuman yang setimpal kepada mereka atas segala pembunuhan yang telah mereka
lakukan di Sumatera sejak tahun 1945: dari pembunuhan atas Sultan-Sultan sampai
kepada pembunuhan atas Pemimpin-pemimpin Acheh Merdeka!
Saya
memanggil semua patriot-patriot Sumatera, semua Ninik-Mamak di Minangkabau,
Ketua-ketua Marga di Tapanuli, Tengku-Tengaku di Sumatera Timur,
Pangeran-Pangeran di Sumatera Selatan, dan pemuda-pemuda di seluruh Sumatera
supaya bangun serentak, sekarang, susun pemerintahan sendiri di wilayah
masing-masing. Pemerintah yang Saudara-saudara dirikan itulah Pemerintahan yang
sah, sebab ‘pemerintah’ bandit-bandit Jawa dan kaki-tangan mereka tidak sah di
bumi kita Sumatera. Saudara-saudaralah yang berdaulat disini bukan bandit-bandit
Jawa Suharto, Murdani, Sudomo, Sutrisno, Wiranto, maupun Jawa lainnya. Jangan
lagi menerima ‘perintah’ dari seberang lautan: sebab itulah yang bernama
penjajahan! Kalau pemerintahan setempat oleh bangsa Sumatera, untuk bangsa
Sumatera sudah berdiri, maka kita akan mempersatukan diri dalam satu Gabungan
Negara-negara Sumatera atau Confederation of Sumatran States
(Konfederasi Sumatera Merdeka) dengan memakai sistem negara Swiss. Lakukan di
wilayah Saudara-saudara apa yang sudah dilakukan oleh saudara-saudaramu di
Acheh. Jika Saudara-saudara sudah bergerak dan memerlukan bantuan, saya akan
mengirim Tentara kita dari Acheh untuk membantu Saudara-saudara. Pada akhir
tahun ini kita akan adakan satu konferensi Sumatera di Switzerland untuk
menulis dan mengesahkan Undang-Undang Dasar Confederasi Sumatera Merdeka.
Sekarang waktunya sudah tiba untuk bertindak. Waktu untuk pidato-pidato saja
sudah habis. Hanya mereka yang berani bertindak - men of action - yang akan
mendapat undangan hadir ke Conferensi Confederasi Sumatera Merdeka di Geneva
akhir tahun ini.
Kalau
Saudara-saudara perlukan ‘kertas kerja’ (working papers) sebagai pedoman
bagaimana kita akan atur Konfederasi Sumatera Merdeka nanti, maka saya anjurkan
Saudara-saudara mempelajari buku saya yang berjudul: "Demokrasi Untuk
Indonesia", yang sudah saya tulis di tahun 1956, 35 tahun yang silam.
Apa yang saya katakan kepada Saudara-saudara sekarang sudah saya katakan dan
sudah saya tulis sejak 35 tahun yang lalu dengan terang. Ini semua adalah
kebenaran yang disembunyi-sembunyikan oleh bandit-bandit Jawa selama 46 tahun
ini, untuk memungkinkan penjajahan mereka. Tetapi kebenaran yang disembunyikan
akan menjadi racun, yang akhirnya akan mematikan pihak-pihak yang
menyembunyikan kebenaran-kebenaran itu sendiri. Satu lagi buku saya, yang saya
anjurkan Saudara-saudara baca ialah: "Masa-depan Politik Dunia
Melayu", yang saya tulis di tahun 1965, 20 tahun yang lalu. Ucapan
Hang Tuah, "Tak Melayu Hilang di Dunia," - berlaku di kedua belah
pantai Selat Melaka. Hak pertuanan bangsa-bangsa Melayu juga berlaku di
Sumatera. Bangsa Jawa bukanlah bangsa Melayu sebab adat, budaya, dan culture
mereka bukanlah adat, budaya dan culture Melayu. Demikian juga bahasa
Jawa bukanlah bahasa Melayu: ingat bahasa tanda bangsa!
Saya panggil
semua Pemuda-pemuda Sumatera supaya berpegang tangan dengan Pemuda-pemuda Acheh
Merdeka untuk memerdekakan Tanah Pusaka kita bersama dari cengkraman
bandit-bandit Jawa dan kaki tangan mereka. Jangan hormati mereka itu lagi,
sebab menghormati mereka berarti menunjang mereka! Menghormati mereka berarti
menghina diri-sendiri!
Jangan
lagi terima ‘perintah’ dari seberang lautan! Pemerintah Pusat Sumatera tidak
bisa di seberang lautan dan tidak bisa di pulau Jawa. Pemerintah Pusat Sumatera
mesti terletak atas bumi Sumatera dan di bawah pimpinan bangsa Sumatera sendiri
yang tidak menerima ‘perintah’ dari seberang lautan!
Camkan,
Saudara-saudaralah yang di-Pertuan di Sumatera, bukan bandit-bandit Jawa.
Berikan Solidariteit kepada Saudara-saudaramu di Acheh yang sudah masuk dalam
medan perang: segala bantuan yang Saudara-saudara perlukan akan datang dari
Acheh.
Jangan
lagi ada bangsa Sumatera yang membuat dirinya sebagai anjing Jawa!
Memerdekakan
Sumatera dari penjajahan bandit-bandit Jawa sangat mudah, kalau kita bangsa
Sumatera bersatu dan membantu satu sama lain. Kalau bersatu. kita dapat
memerdekakan Sumatera tahun ini juga! Jangan dengar lagi orang-orang Sumatera
yang telah pindah ke Jawa; yang masih menerima ‘perintah’ dari bandit-bandit
Jawa; yang masih membenarkan pulau Jawa sebagai ‘pusat’ Sumatera!
Dengan
menamakan dirinya ‘bangsa indonesia’, orang Jawa menjadi kaya dengan dapat merampas
kekayaan bangsa Sumatera; tetapi bagi bangsa Sumatera, dengan menerima nama
‘indonesia’, Saudara-saudara menjadi miskin, hina, dan hilang dalam dunia!
Sadarlah kepada apa yang sudah terjadi. Kitalah yang dapat selamatkan pusaka
kaya keturunan Sumatera yang akan datang dari cengkraman bandit-bandit Jawa.
Inilah
tanggung-jawab kita yang masih hidup sekarang kepada nenek-moyang yang sudah
berpulang!
Wassalamu’alaikum W.W.
Kiban Cara Teuma nyo,ek Merdeka lom ACEH ?
BalasHapusemangnya sumatra itu cuman punya orang aceh doank
BalasHapusmalah yg asli pribumi aceh itu gayo
kalo aceh turunan orang2 blasteran yang beternak jadi gpk