Breaking News

Blogger Template

Sabtu, 15 Juni 2013

Kode Plat di Seluruh wilayah Aceh



BL = Aceh
1. Kota Banda Aceh (A, J),
2. Kabupaten Aceh Besar (L, B),
3. Kabupaten Pidie (P),
4. Kabupaten Pidie Jaya (O),
5. Kabupaten Aceh Barat (E),
6. Kabupaten Aceh Jaya (C),
7. Kabupaten Nagan Raya (V),
8. Kabupaten Aceh Barat Daya (W),
9. Kabupaten Aceh Tengah (G),
10. Kabupaten Bener Meriah (Y),
11. Kabupaten Bireuen (Z),
12. Kabupaten Aceh Utara (K, Q),
13  Kota Lhokseumawe (N),
14. Kota Sabang (M),
15. Kabupaten Aceh Selatan (T),
16. Kota Subulussalam (I),
17  Kota Langsa (D),
18. Kabupaten Aceh Timur (F),
19. Kabupaten Gayo Lues (H),
20. Kabupaten Aceh Singkil (R),
21. Kabupaten Aceh Tamiang (U),
22. Kabupaten Aceh Tenggara (X),
23. Kabupaten Simeulue (S)
Read more ...

Subtansi Lambang dan Bendera Aceh

  
 


Komisi A DPRA Paparkan Subtansi Lambang dan Bendera Aceh
BANDA ACEH -  Komisi  A  Dewan  Perwakilan  Rakyat  Aceh  (DPRA),  Selasa (  19/3),  memaparkan substansi dan makna  dari  Lambang  Buraq  dan  Bendera  Bulan  Bintang,  yang  akan  disahkan   menjadi Lambang dan Bendera Aceh.

"Dalam  Rancangan Qanun Bendera  dan  Lambang  Aceh   hasil  pembahasan  bersama  antara  Komisi  A DPR  Aceh   dengan   Tim  E ksekutif  sebelumnya  berjumlah  enam  BAB  dan  29  pasal,  namun  setelah pelaksanaan RDPU di Banda Aceh, Jakarta dan dengan Komisi A DPRK se-Aceh, terdapat  pengurangan pasal menjadi 28, sedangkan BAB tetap enam," kata Juru Bicara Komisi A DPRA Nurzahri, Selasa (19/3), dalam Sidang Paripurna di Gedung DPR Aceh.

Bentuk bendera dan Lambang Aceh hasil kesepakatan bersama DPR Aceh dan Tim  Eksekutif  Pemerintah Aceh, Nuzarhri menjelasakan adalah Bendera Aceh berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran  lebar 2/3 (dua pertiga) dari panjang, dua buah garis lurus putih di bagian atas, dua buah garis lurus putih di bagian bawah, satu garis hitam di bagian atas, satu garis hitam di bagianbawah,  dan  di  bagian  tengah  bergambar bulan bintang dengan warna dasar merah, putih dan hitam. "Makna Bendera  Aceh  sebagaimana  dimaksud pada adalah, dasar warna merah, melambangkan jiwa keberanian  dan  kepahlawanan.  Garis  warna  putih, melambangkan perjuangan suci. aris warna hitam, melambangkan duka cita perjuangan rakyat Aceh.  Bulan sabit berwana putih, melambangkan lindungan  cahaya  iman,  dan  Bintang  bersudut  lima  berwarna  putih, melambangkan rukun Islam," imbuh Nurzahri.

Sementara itu mengenaui Lambang Aceh, Nurzahri  menjelaskan, Lambang  Aceh  berbentuk  gambar yang terdiri dari Singa, bintang lima, bulan, perisai, rencong, buraq, rangkaian bunga, daun padi, semboyan Hudep Beu Sare Mate Beu Sajan dalam tulisan Jawi, huruf ta dalam tulisan arab, dan jangkar.

Makna lambang Aceh, kata Nurzahri, adalah Singa, melambangkan  adat  bak  Poteu  Meureuhom.  Bintang lima,  melambangkan   Rukun   Islam  Bulan,  melambangkan   tjahaya  iman.  Perisai,  melambangkan  Aceh menguasai   laut,   darat   dan  udara.   Rencong,   melambangkan   Reusam   Aceh.   Burak,  melambangkan hukum-hukum bak Syiah Kuala. Rangkaian bunga, melambangkan  Qanun  bak  Putroe  Phang.  Daun  padi, melambangkan kemakmuran. Semboyan hudep beusare mate beu sajan, bermakna kerukunan  hidup  rakyat Aceh. Kemudi,  melambangkan  kepemimpinan  Aceh  berasaskan  musyawarah dan  mufakat  oleh  Majelis Tuha Peuet dan Majelis Tuha Lapan.

Serta  Huruf ta, dalam tulisan aksara arab  bermakna  pemimpin  Aceh  adalah  umara   dan      ulama    yang diber i  gelar   Tuanku,   Teuku,   Tengku  dan  Teungku.  sementara  Jangkar,  melambangkan  Aceh  daerah kepulauan.

"Lambang Aceh menggunakan warna dasar yang terdiri dari kuning, kuning keemasan, hitam, dan biru," ujar Nurzahri.sumber:www.acehonline.info
Read more ...

Pelanggaran HAM oleh Serdadu Indonesia terhadap Rakyat MALUKU


Read more ...

Mengapa Zaini-Zakir Menang?




          Menangnya pasangan Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf (Zaini-Zakir) pada pilkada gubernur karena berbagai sebab. Walau jika ditilik dari segi hakikat, semuanya takdir Allah. Sepanjang sejarah manusia, baik disukai atau tidak, orang-orang perang mutlak menguasai wilayah selama 10 tahun setelah damai.
Setelahnya, ingatan masyarakat pada perang sudah pudar dan berkembang kembali sehingga jika sesuai dengan rakyat, orang-orang tersebut memimpin kembali. Partai Aceh (PA) yang dibentuk oleh mantan GAM tidaklah seperti partai kebanyakan. Kalau bisa disebut, PA bukan partai, ianya dibentuk oleh Komite Peralihan Aceh (KPA) produk mantan GAM karena tuntutan keadaan setelah MoU Helsinki 15 Agustus 2005.
PA militan, menguasai sistem pemerintahan sampai seluruh kampung di Aceh. Mereka jago mempengaruhi penduduk, baik dengan cara halus maupun dengan cara kurang halus. Ini tidak mungkin dilakukan oleh partai manapun yang bukan lahir dari perubahan gerakan perjuangan. Pengalaman pahit ditemukan PA selama lima tahun masa Irwandi-Nazar menjadi gubernur yang diusung orang-orang yang kemudian membentuk PA.
Sebelum ini, semua daerah di Aceh, baik yang kepemimpinannya dipegang oleh orang usungan PA atau bukan, keadaan tetap membingungkan PA sendiri. Masalahnya, sebelumnya orang-orang ini dididik untuk melawan, tapi tiba-tiba setelah MoU Helsinki, mereka diperintahkan untuk memimpin, sementara ilmu kepemimpinan belum diberikan.
Masalah lain, mereka harus bersinergi dengan sistem pemerintah yang tadinya ‘musuh besar.’ Maka, kedua sistem tersebut kacau sehingga menjadi sistem baru yang lahir secara prematur dan berakibat pada kemarahan rakyat yang tidak diuntungkan oleh sistem barus tersebut.
Saat itu, Irwandi-Nazar sini hanyalah boneka yang lahir dari kacaunya sistem secara tiba-tiba. Keduanya terpilih karena dukungan mantan GAM. Namun ketika mendapat posisi yang tak pernah diimpikan sebelumnya, kedua orang ini terlena sehingga menganggap mereka terpilih karena didukung oleh rakyat. Inilah yang membuat keduanya mencalonkan dirinya menjadi gubernur tanpa bergabung dengan PA.
Kenyataan ini membuat PA sadar bahwa ‘jika  bukan anggota mereka sendiri, tidak bisa dipercaya. Walau sepintar atau sepopuler apapun, jika bukan anggota sendiri tetap tidak bisa dipercaya. Harus anggota sendiri yang diusung.’ Intinya, selama 10 tahun setelah damai, siapapun yang didukung PA pasti menang, kecuali di satu atau dua tempat tertentu yang dari sebelum damai PA tak berkuasa.
PA menganggap pemilukada adalah lanjutan perjuangan sehingga seluruh anggota dari sistemnya bekerja mati-matian sebagai pertaruhan harga diri mereka dan harga perjuangan. Semua usaha harus dilakukan, apapun itu. Dari sinilah muncul cara lembut dan kurang lembut. Jikalau sebelum pemilihan ditemukan intimidasi dan paska pemilihan ditemukan kecurangan dari PA, maka mungkin saja muncul gugatan, tapi gugatan pihak manapun tidak akan berpengaruh pada hasil kemenangan PA. Walau dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) sekalipun, tetap PA yang menang dan laporan-laporan akan dilupakan begitu saja.
Bagi rakyat Aceh sendiri, walau banyak yang tidak lagi simpati kepada sebagian anggota PA, mereka masih sangat mencintai perjuangan untuk kehormatan Aceh dan menjaga perdamaian. Rakyat di Aceh ingin perdamaian terpelihara sehingga mereka memilih calon gebernur/wakil gubernur usungan PA, karena sistem PA yang memegang kendali perdamaian.
Selain itu, rakyat masih menghargai orang-orang yang telah meninggal dunia saat perang Aceh. Dan, bagi sebagian besar rakyat Aceh, Muzakir Manaf masih menjadi orang yang sangat diidolakan. Mereka ingin melihat bagaimana Aceh jika Muallem, begitulah sapaan akrab untuk Muzakir Manaf, sang panglima menjadi pemimpin Aceh secara sah dan total.
Masalah lain, sebelum ini PA tidak mudah melobi Jakarta karena belum paham sistem politik partai nasional yang berkuasa di Jakarta. PA pun sadar, sikap emosional saat membangunkan idelologi di Aceh dulu tidak bisa dipakai lagi, tapi kini sikap perjuangan harus diimbangi dengan rasio dalam menghadapi lawan politik yang bermain aturan tertulis.
Inilah yang membuat mereka membuka diri dengan partai dari luar Aceh. Jadi, ikutnya komponen masyarakat sipil, partai politik seperti PAN dan Golkar yang mendukung calon gubernur usungan PA, lebih kepada tujuan politis urusan hubungan dengan Jakarta.
Artinya, di Aceh, PA tidak butuh dukungan parta-partai nasional. PA tetap menang tanpa dukungan partai-partai tersebut sebab selama tahun-tahun terakhir perang Aceh era ini (2000-2005), pengaruh partai nasional telah ‘dibersihkan’ di Aceh. Bagi partai nasional, walau pemilih di Aceh kurang dari empat juta jiwa, tapi Aceh sangat penting untuk ukuran gengsi dan keberhasilan partainya di Istana Negara dan parlemen Jakarta.
Aceh, bagi Indonesia, seperti gadis manis yang seksi, siapa yang dapat perhatiannya akan populer dan dianggap hebat. Dalam hal ini, PA satu-satunya organisasi yang memiliki sejarah panjang untuk mengubah nasib Aceh sehingga bagi Jakarta, Aceh adalah PA. Intinya, Aceh mempengaruhi politik di Indonesia. Siapa yang bisa berbaik-baik dengan Aceh adalah partai nasional pemenang.
Dan, parahnya, di Indonesia ke depan, kemungkinan besar partai pemenang adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Golongan Karya (Golkar). Keduanya dalah ‘mantan musuh besar’ PA. Maka ajaiblah arah sejarah politik di Aceh dan Indonesia. Siapa yang memerlukan siapa?
Satu lagi untuk Zaini-Zakir, munculnya dukungan dari kalangan para mantan jenderal adalah cerita lain. Ini adalah risiko besar, baik bagi RI atau mantan GAM sendiri. Risiko bagi RI adalah mereka tidak bisa lagi membendung arus Aceh jika jaringan PA masuk ke Istana Negara dan parlemen di Jakarta. Risiko bagi PA, mereka membuka ruang untuk ‘ditelanjangi’ oleh Jakarta sehingga maksud-maksud yang lebih besar dari otonomi khusus tidak mudah lagi diperjuangkan.
Semua pihak lebih cenderung menyelamatkan perdamaian. Lelah dan lukanya berperang masih terasa. Seperti kata orang, ‘dalam politik, tidak ada kawan atau musuh abadi.’ Ini persis strategi Sun Tzu yang mengharamkan kompromi dan menyerah, tapi jika keadaaan tidak lagi menguntungkan, diharuskan melarikan diri untuk menyerang di lain waktu. Deklatator GAM (Yang Mulia, Almarhum) Hasan Tiro, memilih strategi menutup semua pintu untuk disusupi dan menjauhi pintu-pintu ‘musuhnya.’
MoU Helsinki dan UUPA mungkin bukan barang tawar lagi, tapi harus diperjuangkan dengan usaha keras. Keadaan membuat sejarah politik di Aceh berubah dan fleksibel. Selamat menghadapi perubahan dan berkembanglah di atasnya untuk bisa melestarikan budaya dan memajukan peradaban Aceh. Kepada Zaini-Zakir, jadilah pemimpin Aceh yang dapat kami banggakan seperti Sang Pembaharu Aceh (Yang Mulia, Almarhum) Hasan Tiro.
 Oleh Thayeb Sulaiman, Redaktur Budaya Harian Aceh, Direktur Lembaga Budaya Saman, Ketua Laskar Peradaban Aceh.
Dimuat: Halaman Muka Harian Aceh, Rabu 11 April 2012

Read more ...

Janjimu itu ??




 

"JANJI MANIS....?????"
     Rakyat selama ini hidup selalu dalam keadaan berbagai masalah yang mereka hadapi khususnya di bidang Ekonomi, mereka belum merasakan apa arti hidup ini yang sebenarnya di dalam negeri yang Demokrasi ini, mereka belum merasakan yang namanya Kemerdekaan, Puluhan tahun negeri ini sudah merdeka tapi rakyat belum semuanya merdeka, Kehidupan mereka salalu sering diiringi dengan kata-kata, Kesedihan, Kemiskinan dan keterancaman. 

    Negeri yang Subur, tapi Rakyat sedikit sekali yang merasakan yang namanya kedamaian dalam negeri yang kaya ini. Ini menjadi tanggung bagi mereka yang disana (Istana pemerintaha). yang mereka yang dipilih sebelumnya hanyanlah dengan tujuan membawa amanah dan perasaan Rakyat ke meja pemerintahan, tapi mereka lupa terhadap yang membuat mereka sampai ke kursi empuk. sebagian dari mereka selalu membawa janji manis ketika mereka ingin merebut Hati Rakyat pada saat itu hanya cukup dengan kata-kata "Demi Rakyat". tapi mereka jarang sekali melaksanakan kewajibannya sebagai wakil rakyat. yang seharusnya selalu mengayomi rakyat. tapi apa yang mereka bawa untuk rakyat saat ini......?  
     
    Wahai Para wakil rakyat ..... Perahatikanlah NASIB KAMI ini ...
 
Read more ...

"NASIONALISME INDONESIA"

SATU NASIONALISME PURAPURA,
BIKINAN IMPERIALISME
BARAT UNTUK MELAWAN ISLAM DAN MENGHINDARKAN
PEMBUBARAN HINDIA BELANDA ALIAS INDONESIA)
Oleh:
Dr. Tengku Hasan M.di Tiro

Presiden, Angkatan AchehSumatera
Merdeka (Ini adalah terjemahan dari bahasa Inggeris:
"Indonesian Nationalism: a Western invention to subvert Islam and to prevent decolonization of
the Dutch East Indies," yang diucapkan oleh beliau dihadapan Majelis Seminar Dunia Islam di
London, pada 31 Juli, 1985. Seminar International itu ialah: "Pengaruh Nasionalisme atas Ummat
Islam.")
Diterbitkan oleh:
ACHEHSUMATRA
NATIONAL LIBERATION FRONT

1989
 Pengantar
Persoalan atau masaalah "nasionalisme indonesia" tidak dapat dipahami dengan tidak lebih dahulu memahami letak, kedudukan, dan lingkungan ilmubuminya (geography) yang menentukan hampir segalagalanya. Kerajaan penjajahan Hindia Belanda yang amat luas wilayahnya itu, yang "kesatuan" haram wilayah penjajahannya masih juga tetap dipelihara sampai hari ini, yakni dengan tidak dibebaskan dan tidak dimerdekakan. Kerajaan penjajahan ini telah dapat dipelihara, disambung, dan diteruskan dengan hanya menukar namanya saja, dari Hindia Belanda menjadi "indonesia".

 Perlu diketahui bahwa kerajaan penjajahan ini bukanlah satu kesatuan yang seharusnya, bukanlah satu kesatuan yang patut menurut ilmubumi politik (geopolitics). Seluruh wilayah dan pelosok Kepulauan Melayu atau Dunia Melayu ini sudah diletakkan di bawah satu kerajaan penjajahan sematamata dengan pedang Belanda yang berlumur darah kita, yang dimulai dari abad ke16 (1599) dan yang masih diteruskan sampai sekarang, walaupun sejak 27 desember, 1949, pelaksanaan pemerintahan seharihari telah diserahkan oleh Belanda kepada orangorang Jawa yang bekerja untuk kepentingan politik, ekonomi, strategi negaranegara imperialis Barat, atas nama satu bangsa purapura yang dibuatbuat oleh mereka sendiri, itulah "indonesia". Henry Kissinger, bekas Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, adalah benar sekali ketika ia menulis bahwa: "indonesia itu tidaklah berarti apaapa selain sebagai satu sebutan arah diatas peta bumi saja, sampai pada waktu Belanda menyadari bahwa lebih besar untung (laba) baginya kalau seluruh Kepulauan Melayu disatukan di bawah sebuah pemerintahan penjajahan". ("Indonesia was nothing but a geographic expression until the Dutch found out it more efficient to unite the islands of the Indies under a single administration") (1). Sesungguhnya inilah asalusul, biang keladi, dari yang dinamakan "bangsa indonesia" dan "nasionalisme indonesia" yang dibikinbikin dan dibuatbuat sematamata untuk membenarkan "kesatuan" pemerintahan penjajahan, untuk membenarkan "kesatuan" perkiraan labarugi, kreditdebit, dari satu keradjaan penjajahan yang maha luas di dunia sekarang ini.

 Selama wilayah sesuatu kerajaan atau negara tetap dipelihara, maka kerajaan atau negara itu tetap berdiri dan tetap hidup sebagai sediakala, tidak bubar! walaupun namanya ditukar dengan nama baru, seperti nama Hindia Belanda sudah diganti dengan nama "indonesia": atau nama sipenjajahnya ditukar dari "Van Mook" dengan "Sukarno, Suharto" atau lainlain lagi.Sebagai satu sebutan nama arah di peta bumi, nama "indonesia" menunjukkan kepada satu wilayah permukaan bumi yang sama panjangnya antara Moskow dengan Lissabon, dan sama lebarnya antara Rome dengan Oslo, dengan penduduk lebih dari 170 juta jiwa, yang terdir idari berbagai bangsa, berbagai bahasa, berbagai budaya, yang sama banyaknya seperti yang terdapat di benua Eropa, juga sama luasnya dengan wilayah yang disebut secara umum sebagai "indonesia" itu. Maka dengan demikian, adalah bodoh sekali untuk berbicara tentang adanya satu "nasionalisme Eropa" pada hari ini, demikian juga adalah sangat bodoh sekali untuk berbicara tentang adanya satu "nasionalisme indonesia", walaupun hal ini sudah dipropagandakan oleh surat surat kabar Barat, dan oleh mereka yang menganggap dirinya "pandai", padahal mereka sama sekali tidak memahami sejarah, budaya, sociology dan geopolitics dari Dunia Melayu.

 Islam dan Hindia Belanda
Hanya satu perkara saja yang ada persamaan, yang dapat mempersatukan berbagai bangsa yang menjadi penduduk Hindia Belanda, yaitu Islam: yang menjadi agama 95% dari mereka itu. Tetapi sudah terang, mustahil bagi Belanda untuk mendasarkan persatuan penduduk jajahannya itu atas dasar Islam, yang sejak masa kedatangannya yang pertama kali sudah menjadi musuhnya yang nomor satu! (2). Bukankah sebenarnya Belanda sudah merampas wilayahwilayah ini dari tangan Kerajaankerajaan Islam, dalam perang penjajahan yang berlumur darah? Hindia Belanda alias "indonesia" telah didirikan atas perampasan wilayah Kerajaan kerajaan Islam: Banten, Demak, dan Mataram di pulau Jawa; Banjar di Kalimantan; Bone dan Makassar di Sulawesi; Ternate di Maluku; dan akhirnya Kerajaan Islam Acheh di Sumatera, dimana Belanda mangalami peperangan yang paling besar dalam sejarahnya! Sebagaimana sudah ditulis oleh ahli sejarah Belanda sendiri, Paul Van’t Veer:

 "Bangsa Belanda dan negeri Belanda tidak pernah menghadapi satu peperangan yang lebih besar dari pada peperangan dengan Acheh. Menurut panjang waktunya, Perang Acheh dapat dinamakan Perang delapanpuluh tahun. Menurut jumlah korbannya lebih seratus ribu orang yang mati Perang Acheh ini adalah satu kejadian militer yang tidak ada bandingannya dalam sejarah bangsa Belanda. Untuk negeri dan bangsa Belanda, Perang Acheh ini lebih dari hanya pertikaian militer: selama satu abad inilah masalah dan persoalan pokok politik internasional, politik nasional, dan politik kolonial Kerajaan Belanda. "Sebenarnya sudahlah menjadi terangbenderang bahwa dalam bagian dunia yang secara umum dan tidak berketentuan disebut sebagai Hindia Belanda ("indonesia") tidak ada satu kerajaanpun yang dapat disamakan atau yang dapat dibandingkan dengan KerajaanAcheh. Ini sudah kita tahu sekarang. Satu peperangan yang lamanya lebih setengah abad, seratus ribu orang mati, dan setengah milyar Rupiah Belanda abad ke19 yang mahal itu sudah habis untuk biaya, sudahlah menjadi bukti dari perkara ini. Kita sudah tahu ini sekarang. Tetapikita tidak tahu itu di tahun 1873. Biarlah kenyataan kenyataan ini tegak berdiri jangan disembunyikan! supaya orang orang di negeri Belanda, atau lebihlebih lagi di pulau Jawa, dapat mengetahui dan dapat memahami, manusia yang bagaimana bangsa Acheh itu!"(3)

 Tetapi bangsa Acheh adalah Ummat Islam yang sungguhsungguh dan sebenarnya. Mereka adalah bukti yang hidup dari kekuatan Islam di Dunia Melayu. Panglima besar tentera Belanda, General Van Swieten, yang memimpin serangan Belanda yang kedua ke Acheh, tahun 18731874 (General Kohlër yang memimpin serangan Belanda yang pertama dihukum mati oleh Negara Acheh!) dan dialah yang sudah dialualukan di negeri Belanda sebagai "Penakluk Acheh" ("Conqueror of Acheh") ternyata agak tergesagesa akhirnya Van Swieten telah membuat kesimpulannya sebagai berikut, yang mana telah diumumkannya dengan terangterangan: "Tidak ada jalan untuk mengalahkan bangsa Acheh dalam perang!" Sebab itu ia mengusulkan
kepada pemerintah Belanda untuk menarik mundur tentera Belanda dari Tanah Acheh dan supaya menyelesaikan permusuhan dengan Kerajaan Acheh ditempuh secara diplomasi  dengan perundingan".(4) Usul Van Swieten tersebut tidak diterima oleh pemerintah Belanda. Danpeperangan telah berjalan terus menerus berbilang keturunan.

 Kekalahan Belanda yang terusmenerus di Acheh akhirnya membawa Christian Snouck Hurgronje ke depan. Ia adalah seorang orientalist (ahli dalam ihwal negerinegeri Timur) dan ahli ilmu agama Islam menurut ukuran mereka. Pemerintah Belanda meminta nasihatnya bagaimana akal, tipumuslihat, untuk dapat menaklukkan bangsa Acheh, kalau dia benarbenar tahu Ilmuilmu agama Islam. Hurgronje dianggap sebagai seorang "genius" oleh bangsa Belanda, hingga oleh Multatuli, seorang penulis Belanda yang terkenal mengatakan, bahwa Hurgronje adalah orang nomor dua pentingnya dalam sejarah penjajahan Belanda, dalam abad ke19.Ini menunjukkan pula betapa pentingnya kedudukan Islam di Hindia Belanda bahkan dalam pandangan Belanda sendiri. Kunci kekuasaan di Dunia Melayu adalah bagaimana mengendalikan Politik Islam. Dikalangan kaum orientalist dunia memang Hurgronje dianggap sebagai satu diantara dua orientalist Eropa yang paling terkemuka di abad ke19. Yang satu lagi ialah Ignac Goldziher, dari Hongaria. Oleh pemerintah Belanda diminta supaya Hurgronje memakai ilmu Islamnya untuk menaklukkan Ummat Islam bangsa Acheh, yang sudah ternyata tidak dapat ditaklukkan dengan kekuasaan militer itu. Suratperintah dari Kerajaan Belanda kepada Horgronje berbunyi sebagai berikut: "Untuk mempelajari dan menyelidiki halihwal atau keadaan partaipartai agama di Acheh, sesudah sjahid Tengku Tjhik di Tiro (Muhammad Saman), dan untuk mengatahui kedudukan mereka yang baru serta rencanarencana mereka, dan membuat usul usul, anjuran anjurannya kepada Kerajaan Belanda".(5)

 Oleh pemerintah Belanda sudah diharapharapkan bahwa dengan syahidnya Wali Negara Acheh, Tengku Tjhik di Tiro Mohammad Saman, pada tanggal 25 January, 1891, perlawanan bangsa Acheh akan berakhir. Tetapi ternyata hal itu tidak terjadi. Perlawanan terhadap Belanda berjalan terus. Itulah sebabnya maka Hurgronje telah dikirim ke Acheh.bAkhirnya Hurgronje gagal juga di Acheh, tidak berhasil mencapai maksud dan tujuannya sebab Ummat Islam Acheh tidak bersedia bekerja sama dengan dia. Tetapi walaupun kegagalannya di Acheh, Hurgronje juga muncul sebagai pembuat "Politik Islam" Kerajaan Belanda di "indonesia". Usul usulnya diterima dan menjadi politik rasmi dari Kerajaan Belanda sampai saat yang terakhir, waktu Belanda menyerahkan "kedaulatan"nya kepada bonekaboneka Jawanya pada 27 Desember, 1949.

 "Politik Islam" Belanda
Oleh Christian Snouck Hurgronje sudah digariskan satu "Politik Islam" yang tegastegas sekali memusuhi Islam, untuk dijalankan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda ata "indonesia"Jawa, yang garis besarnya sebagai berikut: Islam sebagai agama politik harus dihancurkan sama sekali, dengan cara perlahan lahan dan   tidak terangterangan, tegasnya dengan cara "bijaksana": segala sesuatu di Hindia Belanda atau "indonesia" harus dipisahkan dari agama, untuk menghilangkan pengaruh Islam, dan memasukkan "indonesia" akan sama dengan kebudayaan bangsa Belanda. Atas dasar persamaan kebudayaan itu nanti maka akan diadakan satu "kesatuan" atau "uni" satu pemerintahan bersama yang tetap dan kekal antara negeri Belanda dan Hindia Belanda atau "indonesia" dibawah mahkota Belanda. Dengan demikian Hindia Belanda atau "indonesia" akan menjadi jajahan Belanda sampai akhir zaman.

 Untuk berhasilnya politik ini, maka ummat Islam di Hindia Belanda atau "indonesia" harus dipisahkan dari ummat Islam di bagian dunia yang lain; Jema’ah Haji "indonesia" ke Makkah harus dikendalikan; pelajar pelajar yang pergi ke Mesir, dan negara negara Islam yang lain, harus dipersukar dan semua dicatat dan diamatamati bila mereka kembali ke wilayah mereka masing masing di Hindia Belanda atau "indonesia". Hurgronje mengizinkan pemakaian kekerasan atau kekuasaan untuk memisahkan agama dari politik, dan sebagai musuh yang paling berbahaya bagi Belanda dibidang agama dan politik, yang tidak dapat dipengaruhinya, supaya dipukul, dianianya sesakitsakitnya, dihina semalumalunya, supaya kepercayaan kepada diri sendiri yang besar bagi bangsa Acheh dapat dihancurkan, demikian kehormatan kepada diri sendiri yang begitu besar pada bangsa Acheh dapat dikikis, ditiadakan. Kata Snouck Hurgronje: "De Achehers gevoelig te slaan en zon hun superioriteitswaan te ontnemen." ("Orangorang Acheh mesti dipukul sesakitsakitnya dan sepedih pedihnya hingga melukai badan dan perasaannya untuk menghancurkan perasaan hargadiri mereka yang tinggi itu") (6) Ini adalah satu nasihat yang ganjil sekali, yang datang dari seorang ahli ilmu ketuhanan, dari seorang ahli agama, dari seorang orientalist, seorang Professor, seorang cerdik: semua ini adalah topeng belaka yang dipakai oleh Hurgronje, yang sebenarnya, tidak lain dari pada seorang algojo, seorang "intellectual mercenary", polisi dan matamata rahsia kolonialisme Barat yang menyamar dibalik gelargelar "academics". Dari apa yang sudah ditulis oleh Hurgronje kita ketahui bahwa ia membenarkan terrorisme negara (state terrorism) yang dirancang oleh Hurgronje masih dijalankan sampai sekarang oleh negara penjajahan "indonesia"Jawa.

Sebagaimana Hurgronje sendiri sudah gagal di Acheh, taktik terrornya terhadap Ummat Islam Acheh juga gagal sama sekali, sebab hal itu makin memperkuat tekad bangsa Acheh untuk mati syahid, dan memperhebat perlawanan mereka terhadap Belanda. Hurgronje, sesudah beberapa tahun hidup di Acheh, di asrama asrama serdadu Belanda, dan ia kembali ke Jawa dengan tidak mendapat hasil apaapa. Di Jawa ia menyambung pekerjaannya sebagai penyusun "Politik Islam"nya yang gagal di Acheh, ternyata dapat dijalankan di wilayah wilayah  Hindia Belanda atau "indonesia" lain, di luar Acheh.

Kesimpulannya, dengan pendek, Islam yang diizinkan di Hindia Belanda atau "indonesia"Jawa menurut penetapan Hurgronje ialah yang bersifat ibadat saja. Pendidikan anak anak dipisahkan dari Islam. Pelaksanaan politik antiIslam ini, dengan pengurus yang dipilih sendiri oleh Hurgronje, dipercayakan kepada golongan "bangsawan" Jawa, satu golongan yang menurut Hurgronje, bersedia dan sanggup membuat ummat Islam untuk menjadi tidakIslam lagi, dan membuat mereka menjadi kebaratbaratan sebagaimana dikehendaki oleh rencana "Politik Islam" Belanda. (7)

Tetapi ketika Hurgronje mengizinkan hanya apa yang disebutnya "Islam Ibadat" atau "Islam Upacara" saja, ia sebagaimana sudah mengizinkan segalagalanya juga, sebab ibadat dalam Islam tidak sama dengan ibadat dalam agama agama lain, yang hanya bersifat upacara belaka. Ibadat bagi ummat Islam adalah sumber, laksana mata air, yang hidup, bergerak dan mengalir, menyiram akarakar Iman, dan menghidupkannya kembali, dalam segala keadaan, dimana saja. Ibadat dalam Islam adalah satu pembaharuan tahunan, bulanan, mingguan, harian, sampai kepada jam dan detik, bagi seorang Muslim yang menjalankannya, akan memperbaharu iiktikad dan semangatnya untuk hidup dan mati dalam Islam! Hal ini yang tidak dipahami oleh
Hurgronje sebab ia bukan seorang Muslim!

Bagaimanapun juga, rencana Hurgronje sudah dijalankan dengan paksaan sebagai "Politik Islam" Belanda atas ummat Islam di Hindia Belanda atau "indonesia" sampai pecah Perang Dunia keII, dan kembali dijalankan ketika Belanda datang lagi dari tahun 1945 sampai tahun 1949. Dan dari tahun 1949 sampai sekarang, "Politik Islam" Belanda ini sudah diteruskan sebagai "Politik Islam" ‘indonesia’Jawa" atas ummat Islam.

Sudah tentu Belanda ingin tetap memelihara setiap jengkal tanah jajahannya, yang sudah dirampasnya agar kekal dalam kekuasaannya dibawah satu pemerintahan yang berpusat di Jakarta, karena itulah cara yang paling murah dan paling banyak mendatangkan wang masuk kepadanya. Tetapi hal ini tidak dapat dikekalkan kalau bukan dengan satu ikatan batin, ikatan kepercayaan, persamaan ideologi, yang dapat mempersatukan penduduk yang terdiri dari berbagai bangsa itu. Sedangkan persatuan atas dasar Islam sama sekali tidak dapat diterima oleh Belanda, sebab akhirnya akan membahayakan penjajahannya sendiri. Sebab itu Belanda harus memajukan satu budaya dan ideologi baru yang berakiblat ke Barat dan jauh dari Islam. Ideologi yang diperlukan ini tidak lain dari pada mengadakan satu "nasionalisme indonesia" kalau bisa diadakan.

Tetapi satu pertanyaan yang besar masih belum dapat dijawab: bagaimana mungkin dapat diadakan satu "nasionalisme" dalam sebuah kerajaan penjajahan, yang penduduknya terdiri dari berbagai bangsa dan mempunyai berbagai budaya, serta dalam wilayah yang begitu luas, sama luasnya dengan benua Eropa? Jika satu "nasionalisme Eropa" masih belum dapat diwujudkan hingga sekarang, walaupun adanya latarbelakang
kebudayaan Eropa yang dianut dan diterima oleh semua, dengan sistem perhubungannya yang lancar, dan wilayahnya yang bersambungsambung, bagaimana dapat dianganangankan wujudnya satu "nasionalisme indonesia" atas permukaan bumi yang tidak bersambungsambung ini, 93% dari padanya terletak diseberang lautan, lepas dari pulau Jawa, sampai duatiga ribu kilometer jauhnya, yang terdiri dari pulaupulau, hampir tidak mempunyai alat perhubungan antara satu dengan yang lainnya, berbahasa berbedabeda, berbudaya berlainan, berekonomi lain, dan bersejarah lainlain pula? Persatuan dibawah naungan bendera Islam adalah yang sepatutpatutnya dan memang dikehendaki oleh golongan yang terbanyak dari segala bangsa, tetapi itu bertentangan 100% dengan tujuan Belanda dan akan dilawannya habishabisan! Suatu "persatuan" yang semata mata berdasarkan atas pedang Belanda yang berlumur darah itu, tidak akan kekal: hal ini diakui oleh semua orang Belanda. Sebab itulah maka pembikinan satu "nasionalisme indonesia" yang sudah dibersihkan dari semua pengaruh Islam mendapat tunjangan dari semua pihak Belanda, kiri, kanan, dan tengah, kecuali yang sangat keras kepala.

"Nasionalisme Indonesia"
Meskipun segala pertentangan diatas tidak dapat diatasi sama sekali, namun satu "nasionalisme indonesia" purapura, yang tidak berketentuan asal, tanah, akar, dan batangnya, apakah di Sabang, atau Marauke, maupun Menado, dan Kupang, keempat penjuru dunia ini jauhnya ribuan kilometer dari satu dengan yang lain, dan terdiri dari bukan saja, bangsabangsa yang berlainlainan, tetapi juga dari jenis manusia (race) yang berbeda pula, sehingga kalau ini dinamakan "nasionalisme indonesia", maka seluruh bulatan bumi ini dapat dimasukkan "indonesia": tegasnya dapat di" indonesia"kan. Dari pandangan geografy, ini satu kemustahilan; dari pandangan sociology ini satu perbuatan purapura; dari pandangan ilmu ekonomi hal ini mengetawakan. Ini namanya bukan "nasionalisme" tetapi imperialisme: untuk membenarkan penjajahan belaka, yaitu penjajahan oleh bangsa yang menguasai pusat pemerintahan di pulau Jawa. Nasionalisme yang sebenarnya berarti pembatasan wilayah atau daerah, dan pembatasan siapa siapa yang dapat ikut setia. Tetapi "nasionalisme indonesia" bermakna penguasaan wilayah atau daerah, dan penghancuran bangsa bangsa yang memiliki wilayah atau daerah itu. Teranglah sudah bahwa "nasionalisme indonesia" bermakna perluasan wilayah atau daerah, dan penghancuran bangsa bangsa yang memiliki wilayah atau daerah itu. Teranglah sudah bahwa "nasionalisme indonesia" itu mulamula diadakan untuk memelihara kesatuan Hindia Belanda, dan sekarang untuk membenarkan penjajahan Jawa. Sekarang ini "nasionalisme indonesia" sudah dijadikan dasar ideologi negara untuk menjamin atau membenarkan penguasaan bangsa Jawa atas tanah tanah bangsa bangsa lain di luar pulau Jawa!

Apa yang sudah terjadi ialah bahwa "nasionalisme indonesia" yang mustahil dan tidak mungkin diwujudkan itu, sudah dijadikan topeng untuk menutupnutupi nasionalisme Jawa, dari golongan yang sekarang menguasai negara "indonesia", yang maksud, tujuan, dan kepentingan mereka dikemukakan sebagai tujuan dari "nasionalisme indonesia" tersebut, supaya mudah diterima oleh bangsabangsa lain yang bukan Jawa, yang sudah dijajah. Semua simbol dari apa yang dinamakan "nasionalisme indonesia" sebenarnya adalah simbol kejawen, simbol dari pada nasionalisme Jawa dan mencerminkan kepentingan politik, ekonomi, dan budaya bangsa Jawa semata mata. Nama "nasionalisme indonesia" hanya dipakai sebagai topeng, sematamata untuk menipu bangsabangsa di seberang lautan, yang kesadaran politik merekamasih dalam angka Nol, Zero, Kosong! Apa yang sudah terjadi ialah kepentingan dari hanya satu bangsa (bangsa Jawa!), kepentingan dari hanya satu daerah (pulau Jawa!), kepentingan dari hanya dua provinsi (Jawa Tengah dan Jawa Timur!), kepentingan dari hanya 3,5% dari wilayah apa yang disebut "indonesia" sudah dikemukakan, sudah ditonjolkan sebagai kepentingan "nasional indonesia"! Sedang kepentingan dari 96,5% dari wilayahwilayah "indonesia" yang bukan Jawa, dan kepentingan dari bangsabangsa yang bukan Jawa sudah dipersetan sama sekali! Tegasnya kalau perkara ini bisa lebih ditegaskan lagi kepentingan khusus bangsa Jawa sudah dibiarkan memperkosa kepentingan umum bangsabangsa Dunia Melayu di luar pulau Jawa!

Perhatikanlah: semua simbol dari "nasionalisme indonesia" itu dinyatakan dengan lidah Jawa: ideologi negara disebut "pancasila"; semboyan "nasional indonesia" disebut dalam bahasa Jawa "Bhinneka Tunggal Ika"; nama bintangbintang kehormatan negara "indonesia" semua dalam bahasa Jawa; kedudukan pahlawan "nasional indonesia" kelas satu diberikan hanya kepada orangorang Jawa, walaupun mereka itu, menurut sejarahnya, lebih patut diberi nama satu budakbelian, dari pada satu bangsa pahlawan; semua jabatanjabatan penting dalam negara "indonesia" hanya dipegang oleh orangorang Jawa, dari Presiden sampai ke Menteri Menteri dan bawahannya; orang orang yang bukan Jawa hanya diberikan jabatanjabatan yang tidak penting dan bersifat sebagai patung saja; sistem dan namanama simbolis dalam administrasi negara disebut dalam bahasa Jawa, seakan akan ini adalah satu negara Jawa,bukan satu negara "indonesia". Umpamanya: "desa", "lurah", "kecamatan", "camat", "kabupaten", "bupati", dan lainlain sebagainya. Bahasa rasmi dari negara "indoensia" masih belum bahasa Jawa, tetapi ini karena dipaksa oleh keadaan sematamata: tak ada orang yang mengerti bahasa Jawa dalam 96,5% dari wilayah "indonesia". Karena itu mereka masih terpaksa memakai bahasa Melayu! Itupun sudah ditukar namanya menjadi "bahasa indonesia" seakanakan untuk menjamin kepalsuan 100% dari segala apa yang disebut dengan nama "indonesia" itu!

Bangsa Jawa adalah dalam kedudukan yang paling baik untuk memperalatkan "nasionalisme indonesia" untuk kepentingan mereka sendiri oleh karena beberapa sebab: pertama, mereka adalah golongan yang sengaja dipilih oleh Belanda untuk mengekalkan dan menyambung penjajahannya dan menjalankan "Politik Islam"nya. Ingat kepada apa yang telah dikatakan oleh Snouck Hurgronje. Tetapi bukan Hurgronje saja yang berkata demikian. Edward D. Dekker, seorang pengarang Belanda yang kenamaan telah menulis pula: "Melayani Tuannya, itulah Agama bangsa Jawa!" Kedua, mereka adalah termasuk golongan yang lebih ramai, walaupun bukan yang terbanyak, bukan majority, tetapi hanya plurality, dalam istilah democracy. Ketiga, sebab negeri mereka di pulau Jawa yang telah dipilih oleh Belanda menjadi "pusat" pemerintah penjajahannya, karena pulau Jawalah yang lebih dahulu dapat dijajahnya, karena bangsa Jawa tidak memberi perlawanan kepada Belanda, dan sebab Belanda percaya kepada kesetiaan orangorang Jawa kepadanya. Semua ini memberi kemudahan kepada bangsa Jawa untuk merebut pemerintah "pusat" dari kerajaan kolonial yang diberi nama "indonesia". Dan keempat, memang kepada bangsa Jawalah Belanda telah menyerahkan "kedaulatan" yang dimilikinya atas seluruh Hindia Belanda ("indonesia") pada tanggal 27 Desember, 1949, dengan tidak mengindahkan hak bangsabangsa lain yang sudah dijajahnya, dan dengan tidak mengindahkan kedudukan hukum yang terpisah dari pulau Jawa dengan Kepulauan Melayu yang lainnya.

Sampai sampai Negeri Acheh yang tidak pernah ditaklukkan oleh Belanda, dan Belanda tidak pernah menginjakkan kakinya disana sejak tahun 1942, juga dimasukkan diatas kertas sebagai satu dari wilayah tanah jajahannya yang pada tahun 1949 diserahkan kepada regime Jawa yang sama sekali tidak berhak menerimanya, dan Belanda tidak berhak memberinya. Dengan terusirnya Belanda dari Acheh pada tahun 1942, maka Negeri Acheh dengan sendirinya, automatic, sudah merdeka kembali, sebagaimana sebelum Belanda datang. Inilah status Acheh dalam Hukum Internasional! Dengan perbuatannya itu, Kerajaan Belanda sudah melanggar segala Aturan Hukum Internasional yang berlaku dan juga melanggar Hukum Decolonization (Hukum Wajib Memerdekakan Segala Jajahan) PBB, yang melarang pemindahan kedaulatan atas tanah jajahan dari satu penjajah kepada penjajah yang lain, dan yang menyatakan bahwa kedaulatan atas setiap tanah jajahan ada pada bangsa asli tanah itu sendiri, dan tidak ada pada tangan sipenjajah yang wajib memerdekakan tanah jajahan itu dengan tidak bersyarat apaapa. (8)


Tetapi alasan alasan ideologi Belanda mungkin berjalan lebih jauh dari pada perhitungan ekonomi dan politiknya sematamata: sebab jika Belanda menyerahkan Negeri Acheh kembali kepada bangsa Acheh pada waktu itu, maka Acheh akan menjadi Negara Islam yang pertama didirikan kembali di Asia Tenggara dan Dunia Melayu!

Semua yang sudah terjadi itu tidak mengubah kenyataan bahwa tanah bangsa Jawa (Jawa Tengah dan Jawa Timur) hanya merupakan 3,5% dari wilayah "indonesia"; dan kalau dihitung termasuk tanah Sunda (Jawa Barat) maka menjadi 7% dari wilayah "indonesia". Jadi 93% dari wilayah "indonesia" adalah di seberang laut lepas, ribuan kilometer jauhnya dari pulau Jawa, dengan penduduknya terdiri dari berbagai bangsa yang tidak mempunyai hubungan bahasa, budaya, dan sejarah dengan bangsa Jawa. Kenyataankenyataan ini bermakna bahwa 93% dari wilayah "indonesia" adalah wilayahwilayah seberang lautan. "Makna yang paling singkat dari pada istilah kolonialisme (penjajahan) ialah pemerintahan yang dilakukan atas bangsabangsa yang berlainan, yang mendiam wilayahwilayah yang dipisahkan oleh air masin (lautan) dari pemerintah pusat kaum imperialis (penjajah)." ("Colonialism is rule over peoples of different race inhabiting lands separated by salt water from the Imperial center.") (9)

Demikianlah, untuk membuat satu "nasionalisme" palsu kelihatan dan kedengaran seakanakan benar, maka sebuah nama sebutanarah dipeta bumi sudah dipanggil sebagai satu "negara" dan sebagai satu nama "bangsa" seolah benua Eropa bisa dinamakan satu "bangsa" dan "Timur Tengah" bisa dipanggil satu "negara". Bahasa Melayu, satu bahasa Sumatera, sudah dirampas dan disandra, sesudah itu ditukar namanya menjadi "bahasa indonesia" walaupun bangsa Jawa tidak pandai memakainya, apalagi menulis dan memahaminya, maka akibatnya sekarang mereka sudah merusakbinasakan bahasa dan sastera Melayu hingga tidak dapat kita kenal lagi: mereka sudah membuat bahasa Melayu kita sebagai bahasa "Pidgin English" bahasa Inggeris Pulau Pidgin, yang menertawakan orangorang yang mendengarnya. Apa yang sekarang mereka sebutkan sebagai bahasa "bahasa indonesia" alias bahasa MelayuJawa adalah semacam "Pidgin Malay" yang tatabahasa, saraf dan adabnya satu bahasa yang bersejarah dan berperadaban Islam sudah dilanggar, susunan dan tata tertibnya sudah dikacau balaukan. Sekarang bahasa kita ini sudah dicampuradukkan dengan bahasa asing yang tidak dapat dikunyah dan tidak dapat dicernakan, laksana beras yang sudah dicampuradukkan dengan kerikil dan kotoran sampah asing hingga tak dapat dipahami lagi oleh orangorang kita di kampungkampung
ataupun di kotakota.  Apa yang dinamakan sebagai "bahasa indonesia" sekarang sudah menjadi satu bahasa yang kasar, yang tidak sesuai lagi untuk menulis syair, sastera, atau pertukaran fikiran yang mendalam untuk bangsabangsa Melayu. Untuk maksudmaksud ini kita harus kembali kepada bahasa Melayu yang asli sebagaimana yang terdapat di Sumatera.

Sekarang marilah kita lanjutkan penjelasan dari alatalat yang dipakai untuk memajukan propaganda "nasionalisme indonesia" purapura itu: sebuah bendera Polandia yang dibalikkan dari atas ke bawah dinaikkan sebagai "bendera indonesia". Inilah satu bendera dengan tidak ada sejarah dan dengan tidak ada kemegahan. Tetapi sampai sekarang sudah begitu banyak pembunuhan dan penyembelihan atas bangsabangsa yang bukan Jawa sudah dilakukan dibawah naungan "bendera indonesia" ini, seperti di Acheh, Sulawesi, Maluku, Papua Barat dan Timor Timur, sehingga bendera "indonesia" Jawa ini sudah melambangkan simbol perampok dan simbol pembunuh di seluruh Kepulauan Melayu.

Disamping itu ada pula lagu kebangsaan "indonesia raya" yang dicuri dari lagu berbaris anakanak sekolah di Amerika Serikat, yang dikenal sebagai "Yale Boolaboola", di Amerika sering dimainkan waktu pertandingan sepak bola. Dan simbolisme kelas tiga ini ditutup dengan satu pernyataan kemerdekaan (proklamasi!) yang terdiri dari dua kalimat, kosong dari segala citacita politik dan filosofi. Dikalangan bangsa bangsa yang beradab dan bertamaddun,pernyataan kemerdekaan adalah satu simbol, disamping benderanya, disana dinyatakan dan dibuktikan ketinggian moralnya dan kebenaran perjuangannya. Tetapi "proklamasi" kemerdekaan "indonesia"Jawa hanya berupa satu warta berita pendek, satu news bulletin! Keseluruhannya,
hampir bisa dianggap sebagai satu lelucon yang berhasil kalau tidak karena darah bangsabangsa yang tidak bersalah, yang telah ditumpahkan oleh regime penjajah "indonesia"Jawa itu sejak hari pernyataan penjajahan baru kepada bangsabangsa yang bukan "Jawa" di Kepulauan Melayu!

Kejadiankejadian diatas telah membawa kepada pertumpahan darah yang berkepenjangan selama 40 tahun (dua keturunan), terrorisme negara, perlawanan dan penindasan, yang akhirnya membawa gerombolan gerombolan serdadu Jawa ke pucuk pemerintahan "indonesia"Jawa. Kini pedang Belanda yang berlumur darah sudah diganti dengan ujung senapang serdaduserdadu Jawa dengan propaganda untuk menjaga kesatuan "bangsa indonesia" untuk menjamin "indonesia" tetap terbuka untuk diperas oleh Belanda dan kaum imperialis Barat yang lain sebagai sumber bahan mentah yang murah untuk industri mereka. Wartawan wartawan Barat memuji muji keadaan ini sebagai satu "kemajuan ekonomi" dan "pembangunan"! (10)

"Nasionalisme indonesia" dan Negara Serdadu Jawa"

Bahwa telah berdirinya negara serdadu Jawa kolonialis adalah satu bukti tentang tidak adanya "nasionalisme indonesia" tersebut, dari dahulu sampai sekarang. "Indonesia" tidak termasuk Acheh adalah dari abad ke16 sudah menjadi kerajaan penjajahan, sampai sekarang, walaupun dibawah nama yang berlainan. Dan tiaptiap kerajaan penjajahan hanya bisa diperintah dengan kekuatan senjata sematamata. Maka kolonialisme dan negara serdadu tidaklah dapat dipisahpisahkan. Yang satu tidak dapat hidup dengan tidak ada yang lain. Belanda telah mendirikan dan mempertahankan kerajaan penjajahan ini dengan kekerasan untuk 350 tahun lamanya, dari tahun 1599 sampai tahun 1949, ketika Belanda menyerahkannya kepada bangsa Jawa. Mulai tahun 1949, serdaduserdadu kolonialis Jawa sudah meneruskan perbuatan durjana bangsa kulit putih itu, dengan akibat yang menghancurkan bangsabangsa yang bukan Jawa yang dijajah oleh "indonesia"Jawa, dari Acheh sampai ke Papua Barat, dan dari Maluku sampai ke Timor. Mulai dari waktu Belanda menyerahkan kedaulatan secara illegal kepada bangsa Jawa sampai hari ini, tidak ada satu pulau yang penting yang tidak menjadi medan perang, dan tidak ada satu bangsa yang bukan Jawa, yang darah mereka tidak ditumpahkan oleh serdaduserdadu Jawa penjajah. Di setiap pulau sudah terjadi perlawanan atau ’pemberontakan’ melawan sipenjajah Jawa sama sebagaimana sudah terjadi perlawanan atau ’pemberontakan’ terhadap Belanda dahulu.

 Sebagaimana sudah kita sebutkan, Hindia Belanda atau "indonesia"Jawa tidaklah dimerdekakan menurut Hukum Decolonization PBB sebagaimana yang sudah dilakukan atas semua tanahtanah jajahan lain di seluruh dunia. Apa yang dibuat oleh Belanda hanya diberikannya seluruh Hindia Belanda kepada bangsa Jawa, dengan tidak mengembalikannya, walaupun satu jengkal tanah jajahan kepada bangsa asli dari siapa tanahtanah itu sudah dirampasnya dahulu. Dalam hal ini Belanda telah melanggar Aturan PBB 100%. Kebalikan dan bertentangan dengan segala Aturan PBB, Belanda telah membuat bangsa Jawa sebagai ahli warisnya yang menerima pusaka dari padanya, dengan janjijanji yang tertentu dari pihak Jawa, dan oleh Belanda sama sekali tidak diperdulikannya, tentang hak menentukan nasib dirisendiri dari bangsabangsa yang bukan Jawa. Tegasnya Belanda dan Jawa sudah berkomplot untuk melawan Hukum Internasional, dan melawan Hukum Decolonization dari PBB, dengan propaganda sebab sudah adanya "bangsa indonesia" dan adanya "nasionalisme indonesia" yang dibuatbuat oleh Belanda dan Jawa untuk kepentingan jahat dari kedua bangsa penjajah ini. Dan perlawanan keras yang diberikan oleh setiap bangsa, di setiap pulau melawan penjajahan Jawa tidak pernah diberitakan dengan benar oleh suratsurat kabar dunia Barat. Perjuangan kemerdekaan bangsabangsa bukan Jawa mereka sifatkan sebagai gerakan "separatist", atau gerakan orang orang "fanatik". Sampai ada seorang penulis Barat yang mengarang buku bernama Rebels Without A Cause (Pemberontak Tak Bersebab). Seakan akan ada orang yang mau mati dengan tidak ada sebab dan alasan yang kuat dan benar! Semua perlawanan ini menunjukkan bahwa semua bangsabangsa bukan Jawa mengetahui bahwa "nasionalisme indonesia" itu, hanya propaganda Jawa belaka untuk dapat menjajah mereka.

Banyak sekali kejadiankejadian lain didalam negara kolonialis "indonesia" yang menunjukkan bahwa "nasionalisme indonesia" yang digembargemborkan oleh regime itu sama sekali tidak ada pengaruhnya dalam politik. Dengan tidak ada kecualinya, segala persoalan dan persengketaan politik telah diselesaikan dengan kekerasan sematamata yang diambil oleh negara serdadu Jawa ini terhadap tuntutan Ummat Islam., yang merupakan 95% dari rakyat negara ini, untuk mendirikan negara Islam. Persoalan politik ini tidak pernah diselesaikan secara politik, tetapi dari permulaan sampai ke akhirnya diselesaikan dengan kekuatan senjata.
Kemenangan negara serdadu Jawa telah dicapai dengan kekuatan senjata sematamata, bukan karena adanya "nasionalisme indonesia".

Demikian juga gerakan untuk mendirikan Negara Islam di Pasundan, yang dipimpin oleh Kartosuwirjo di tahun 1947, gerakan untuk mendirikan Negara Islam di Sulawesi yang dipimpin oleh Abdul Kahar Muzakkar di tahun 1952, gerakan yang serupa di Kalimantan yang dipimpin oleh Ibnu Hadjar, dalam waktu yang sama, dan di Acheh di tahun 1953, dibawah pimpinan Tengku Muhammad Daud Beureuéh, semuanya telah dihadapi oleh negara serdadu Jawa dengan kekerasan senjata, yang mengakibatkan ratusan ribu orang syahid, termasuk Kartosuwirjo, Abdul Kahar Muzakkar, dan Ibnu Hadjar.

Perlawanan yang merata terhadap negara "indonesia"Jawa ini, yang sudah terjadi dalam 93% dari wilayahnya atau jajahannya, sudah cukup menjadi bukti, bagi mereka yang dapat berfikir, tentang tidak adanya "nasionalisme indonesia" itu. Oleh regime penjajah "indonesia" pejuangpejuang kemerdekaan ini dinamakan "pengacau" dan "pengkhianat", tetapi oleh bangsabangsa mereka sendiri, di negara mereka sendiri, mereka dinamakan pemimpin dan pahlawan bangsa bagi mereka masingmasing. Dapatkah ini terjadi kalau benarbenar ada satu "nasionalisme indonesia" yang mempersatukan semua bangsabangsa seberang lautan yang bukan Jawa itu. Perasaanperasan ini, menurut John Stuart Mill, ahli falsafah Inggeris, adalah,tanda adanya sesuatu nasionalisme yang sungguhsungguh. Selama berdirinya negara penjajah republik "indonesia"Jawa siapa yang dianggap pahlawan di Acheh, Sulawesi, Maluku atau Papua Barat sudah di anggap "pengacau" dan "pengkhianat" di pulau Jawa. Ini menunjukkan bahwa apa yang dipropagandakan sebagai "nasionalisme indonesia" sebenarnya tidak ada: yang ada dan yang berkuasa ialah nasionalismeJawa
yang memperalat negara "indonesia" untuk kepentigannya.

 Disamping itu masih ada lagi kenyataankenyataan yang membuktikan kepalsuan "nasionalisme indonesia" itu. Dan ini ialah kekejaman atau kebiadaban yang dilakukan oleh Tentera "Nasional" indonesia (TNI) terhadap sesama "bangsa indonesia". Pembunuhan terhadap umum baik dengan terang  terangan maupun dengan cara diam diam sudah menjadi kebiasaan sehari harisejak keluarnya "warta berita" alias "proklamasi" kemerdekaan "indonesia" pada 17 Agustus, 1945, sampai hari ini: kirakira lima juta orang sudah menemui ajalnya, dan lukaluka yang disebabkan oleh alatalat negara "indonesia"Jawa di seluruh Kepulauan Melayu. Dua juta diantaranya tercatat dalam waktu enam bulan pada akhir tahun 1964 dan permulaan tahun 1965, ketika serdaduserdadu Jawa merebut kekuasaan dengan rasmi. Sebelum dan sesudahnya korban korban tidak begitu dicatat dan tidak begitu dihiraukan lagi. Misalnya, pada tahun 1965, di Pulôt Tjot Djeumpa, Acheh, "Tentera Nasional Indonesia" mengumpulkan 200 orang penduduk yang terdiri dari: kanakkanak, orang tua, laki laki maupun perempuan, yang tidak bersalah apa apa dan tidak melakukan perlawanan terhadap mereka, tetapi semuanya ditembak mati senapang mesin. Ini bukan satu kejadian yang jarang di "indonesia"Jawa. Banyak lagi pembunuhan atau penyembelihan semacam ini dilakukan di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua Barat dan Timor Timur. Penganiayaan yang tidak berprikemanusiaan tersebut dilakukan setiap hari dalam penjarapenjara yang oleh "Tentera Nasional Indonesia" atas sesama "bangsa indonesia" yang mereka tangkap sesuka hati mereka. Seorang manusia yang mempunyai perasaan kebangsaan, tidak akan sampai hatinya menyakiti sesama bangsanya, sebagaimana yang dilakukan oleh "Tentera Nasional Indonesia" tersebut. Ini semua membuktikan bahwa perasaan "nasionalisme indonesia" yang sesungguhnya tidak ada. Ahli ilmu sociology Jerman, Franz Oppenheimer, sudah berhasil merumuskan penjelasan atau kaidah yang tepat, katanya: "Kita tidak boleh mengambil kesimpulan adanya kesadaran nasional, dari pada adanya satu bangsa, tetapi kebalikan dari itu: adanya satu bangsa dari pada adanya kesadaran nasional". ("Wir mussen nicht aus der Nation das Nationalbewusstsein, sondern umgekehrt aus dem Natioonalbewusstsein die Nation ableiten". (11)

Walaupun tentera "indonesia" dinamakan TNI (Tentera "Nasional" Indonesia), bagian yang terbesar sekali dari anggotanya adalah terdiri dari algojoalgojo Jawa, yang memandang rendah bangsabangsa yang bukan Jawa, yang mereka anggap sebagai bangsa asing dari seberang lautan, alias "orang seberang" yang wajib tunduk kepada bangsa Jawa sebagai "herrenvolk" ("bangsa Tuantuan") di "indonesia". Pada hakikatnya tentera "indonesia" disusun atas dasar penguasaan oleh bangsa Jawa untuk menindas perlawanan atau pemberontakan dari bangsa bangsa lain: inilah yang menjadi tugas TNI yang nomor satu, bukan untuk melawan serangan dari luar negeri, atau dari negara asing. Kalau menghadapi serangan asing, mereka akan menyerah saja., sebagaimana adat (tradisi) bangsa Jawa dalam sejarahnya! Pasukan pasukan yang terdiri dari serdadu serdadu yang bukan Jawa dipakai sebagai pembantu saja untuk menjalankan politik memecah dan menjajah: kalau bangsa Acheh yang melawan ("berontak"), maka pasukanpasukan Batak yang dikirim untuk menghadapinya; kalau Maluku Selatan yang "berontak", maka pasukan Acheh yang dipakai untuk menundukkannya; demikianlah seterusnya untuk menghidupkan permusuhan antara bangsa bangsa yang bukan Jawa, supaya mereka saling benci membenci dan tidak akan dapat bersatu membuat satu front melawan penjajahan Jawa dimasa depan. Taktik penjajah Jawa ini mengigatkan kita kepada politik pecah dan jajah Kerajaan AustriaHongaria dimasa Rajaraja Hasburg, dimana bila bangsa Chek yang berontak, maka pasukanpasukan Slovak yang dikirim untuk menundukkannya; apabila bangsa Croats yang berontak maka pasukan Hongaria yang dikirim untuk menindasnya. Dalam jangka pendek, politik ini menjamin berhasilnya penindasan Jawa; dalam jangka panjang menjamin kekalnya permusuhan antara bangsabangsa terjajah, tegasnya antara bangsa bangsa yang bukan Jawa. Politik ini akan menjamin tetapnya kekuasaan pada pemerintah "pusat" di pulau Jawa. Politik ini akan menjamin kekuasaan negara atau serdadu Jawa di Jakarta atas jajahannya "tanah seberang" yang disebut sebagai "provinsi". Dalam keadaan yang seperti ini maka adalah satu kebodohan berbicara tentang adanya satu "nasionalisme indonesia".

Satu bukti yang lain tentang tidak adanya "nasionalisme indonesia" yang sebenarbenarnya, sudah nyata dimasa masih ada partaipartai politik yang sesungguhnya, sebelum munculnya negara serdadu Jawa, sebagaimana sekarang ini. Pemilihan umum yang agak bebas, terakhir pernah dilakukan di "indonesia" pada tahun tahun 1955 dan 1957. Hasil dari pada kedua pemilihan umum tersebur, walaupun ada dua tahun berselang, menunjukkan bahwa PNI (Partai "Nasionalis" Indonesia) memperoleh suara yang terbanyak sekali, tetapi hanya di Jawa Tengah dan Jawa Timur, yakni di tanah air bangsa Jawa sendiri. Partai ini mendapat suara yang sedikit sekali di luar pulau pulau Jawa, suara yang sedikit itupun, berasal dari bangsa Jawa yang sudah berpindah ke sana sebagai immigrant (tetapi disebut "transmigrants" untuk menunjukkan ada "hak" bangsa Jawa atas tanah bangsa bangsa lain di luar Jawa). Kebalikan dari PNI, Masjumi (partai umat Islam), yang dipimpin oleh orangorang uar Jawa, hanya mendapat suara sedikit di Jawa Tengah dan Jawa Timur, tetapi sebaliknya mendapat suara yang banyak sekali di luar Jawa dan di seluruh "indonesia". Hal ini menunjukkan bahwa Masyumilah satu partai yang bersifat nasional, njakni diterima oleh seluruh negara, sedang PNI masih bersifat partai setempat, lokal dan hanya diterima di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ini menunjukkan adanya pengaruh Islam dikalangan segala bangsa yang ada di Kepulauan Melayu, dan tidak adanya pengaruh "nasionalisme indonesia" di luar wilayah bangsa Jawa.

Nasionalisme Jawa dan Imperialisme Jawa
Tersembunyi dibelakang layar, "nasionalisme indonesia" yang mustahil tersebut, telah diambil kesempatan untuk menghidupkan nasionalisme Jawa yang sesungguhnya. Walaupun "nasionalisme indonesia" hanya nama dan propaganda saja, tetapi telah dipakai sebagai tabir atau topeng untuk menyembunyikan kegiatan bangsa Jawa, untuk merebut kekuasaan negara dan memajukan kepentingan setempat (lokal) mereka, sebagai kepentingan nasional, menempatkan kepentingan daerah mereka di atas kepentingan semua daerah lain di seluruh "indonesia". Dan karena mereka yang memegang monopoli hubungan luarnegeri di Kepulauan Melayu ini, karena kemunduran bangsabangsa lain, maka mereka sudah dapat mengadakan hubungan dengan negaranegara asing dan mengatur kepentingan negaranegara asing itu di pulau pulau luar Jawa (dengan menjual murah sumbersumber kekayaan alam kepada kaum kapitalis Barat), asal bangsabangsa Barat mengakui pertuanan Jawa atas pulaupulau "seberang". Sesudah 20 tahun bergerak dibalik tabir "nasionalisme indonesia" tersebut, akhirnya pada tahun 1965, nasionalisme Jawa yang sudah memegang semua tampuk kekuasaan "indonesia", dengan tidak malu malu dan tidak sembunyisembunyi lagi mereka menggunakan kekuasaannya mendirikan Negara Serdadu Jawa, yang sekarang hanya tinggal namanya saja "indonesia", tetapi segala kekuasaan sudah berada ditangan bangsa Jawa. Sebagai biasa dalam sejarah, tiaptiap nasionalisme yang sudah merasa dirinya kuat dengan sendirinya maju setapak demi setapak menjadi imperialisme!

Tetapi kedudukan imperialisme Jawa ini tidak mungkin dapat dipertahankan, apalagi dilanjutkan, dengan tidak ada persetujuan dari negaranegara tetangga, baik besar ataupun kecil, seperti: Singapura, Brunei, Malaysia, Filipina, Papua New Guinea, Australia, Thailand, Vietnam dan India. Ini adalah disebabkan oleh kelemahan kedudukan strategis "indonesia"Jawa, yang diterimanya sebagai pusaka dari Hindia Belanda. Sebab walaupun Hindia Belanda tidaklah dapat hidup satu hari kalau tidak ada perlindungan politik, diplomatik, dan militer dari Kerajaan Inggeris, Perancis, dan Amerika. Ini disebabkan karena Hindia Belanda dahulu, dan "indonesia"Jawa sekarang bukanlah bersifat kesatuan geopolitic (ilmu bumi politik) dan karena itu tidak dapat dipertahankan, sebagaimana sudah kita sebutkan dalam kata pengantar buku ini. Satu akibat lain dari keadaan ini, ialah "indonesia"Jawa tidak tidak akan mampu mempunyai politik luar negeri yang sesungguhnya, yang boleh bertentangan dengan politik luar negeri negara negara lain, lebih lebih negara negara tetangga, walau bagaimanapun kecil negaranya. Sebab, "indonesia"Jawa tidak akan dapat mempertahankan dirinya dari serangan luar. "ABRI" hanya ada artinya untuk menghadapi pemberontakan dalam negeri, tetapi tidak ada artinya dalam mengahadapi serangan dari luar, atau dalam menghadapi pemberontakan yang mempunyai hubungan luar negeri!

Dahulu, Hindia Belanda telah dapat berdiri dengan belaskasihan dari Inggeris. Ketika Inggeris marah kepada Belanda, seperti waktu peperangan Napoleon di Eropa, Stamford Raffles terus berlayar ke Jakarta dari Singapura dan menduduki Jawa dalam beberapa hari saja dan menawan segala tentera Belanda. Kenyataan bahwa Inggeris memutuskan untuk menghadiahkan kembali Hindia Belanda alias "indonesia" kepada Belanda atau "indonesia" itu telah dan masih berdiri sematamata atas belaskasihan negara tetangga. Jika masih diperlukan bukti yang lain, maka inilah dia: dalam Perang Dunia II, Hindia Belanda aatau "indonesia" tidak pernah dapat dipertahankan oleh Belanda dari serangan Jepang. Sebenarnya Jepang tidak pernah menyerang "indonesia" sebab pemerintah Belanda di "indonesia" dan serdadu KNIL "Jawa"nya hilang laksana asap ketika tentera Jepang sudah mendarat di Singapura! Hari ini kelanjutan berdirinya negara negara tetangga: Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina, Papua New Guinea, Australia dan India. Walaupun kekuasaan besar seperti Amerika Serikat dan Uni Sovyet tidak dapat melindungi "indonesia" Jawa dari negara tetangganya walaupun yang kecil. Inilah sebabnya mengapa "indonesia" Jawa yang lebih memerlukan ASEAN dari siapapun juga.
 
"Indonesia"Jawa adalah satu negara kolonialis atau imperialis yang tidak dapat memusuhi siapapun juga, walaupun hanya sebuah negara yang kecil. Ia tidak bisa berhadap hadapan melawan atau memusuhi negara manapun juga, sebab "konfrontasi" begitu bermakna, akan menamatkan riwayat "indonesia"Jawa, sebagai kita kenal sekarang. Pada masa yang lalu, mereka beruntung karena telah dapat menyelesaikan "konfrontasi" dengan Malaysia tepat pada waktunya. Kalau tidak, maka hari ini tidak ada lagi "indonesia". Akibat dari keadaan terseebut: "indonesia"Jawa  tidak boleh bebas menjalankan politik luarnegerinya: ia waji berbaik dengan siapapun juga.

Jawa, sebagai Belanda sebelumnya, terlalu loba dan tamak, mencoba merampas wilayah wilayah yang demikian luas dan besar itu, dan sama sekali tidak mungkin, mustahil, untuk dipertahankannya. Tidak ada negeri sekecil Belanda, atau sekecil pulau Jawa, apalagi Jawa dengan tidak memiliki industri dan termasuk negeri yang paling miskin dan termundur di dunia! dapat mempertahankan satu kerajaan kolonial, yang panjang pantai lautnya lebih setengah juta kilometer, dimana penduduk selalu memusuhinya, siap sedia mengambil senjata melawan bangsa Jawa, sebagai penjajah, kapan saja, sebagaimana sebelumnya, mereka dahulu siap sedia melawan Belanda! Rencana "perang wilayah" yang digembargemborkan oleh Jawa sebagai taktik mereka untuk melawan serangan luar, adalah omongkosong belaka. "Sebab kamu tidak bisa melakukan perang gerilya apabila rakyat setempat juga melawan kamu!" Tidak akan pernah ada serdadu kolonialis Jawa mengadakan perang gerilya terhadap siapapun, baik di Acheh, Maluku, Papua, Timor, atau dimanapun di luar Jawa, dimana rakyat negerinegeri itu melawan penjajahan "indonesia"Jawa. Keadaan ini rupanya tidak diketahui oleh pihakpihak Barat yang sekarang sibuk mempersenjatai serdadu Jawa, atau mereka sebenarnya hanya ingin mengambil duit curian, yang masih ada ditangan Negara Serdadu Jawa, sebelum habis samasekali!

James Loudon, Menteri Urusan Jajahan Belanda, menulis katakata berikut pada waktu sedang memuncaknya pertikaian antara Kerajaan Belanda dengan Kerajaan Acheh, sebelum penyerangan Belanda yang pertama, yang menunjukkan kecemasannya akan akibat perluasan wilayah. Ia tidak setuju dengan serangan Belanda terhadap Acheh. James Loudon menulis: "Saya memandang tiap perluasan wilayah kekuasaan kita di Kepulauan Melayu sebagai mengambil satu langkah lagi menuju kepada kejatuhan kita, lebih lebih lagi sebab sekarang, kita sudah menguasai wilayah yang luasnya lebih dari kekuatan kita untuk mempertahankannya."(12) Ketika beberapa tahun kemudian, Belanda menyerang Acheh, pada 26 Mart, 1873, dan tentera Belanda dihancurleburkan oleh tentera Kerajaan Acheh dalam Medan Perang Bandar Acheh, 23 April, 1873, seorang anggota Parlemen Belanda mengatakan dalam pidatonya: "Kekalahan Belanda di Acheh, dan peperangan yang sedang diteruskan dengan Acheh akan meruntuhkan kekuasaan Belanda di Dunia Timur." (13)

"Kerajaan kerajaan besar mati karena sakit perut: tidak dapat mencerna apa yang sudah dimakannya." kata Napoleon. Begitulah nasib Kerajaan Rome. Begitulah nasib Hindia Belanda. Dan begitu juga bakal nasib "indonesia"Jawa walaupun masih berdiri sebentar lagi, karena adanya belaskasihan atau perlindungan negara negara tetangganya, besarkecil. "Indonesia"Jawa yang digambarkan dalam suratsurat kabar sebagai "negara teladan" sebenarnya adalah orang sakit dari Asia Tenggara!

Catatan:
1. Henry Kissinger, Nuclear Weapons and Foreign Policy, halaman 256.
2. Tengku Hasan M. di Tiro, 385 Years of Confrontation Between Islam and Kufr in "indonesia": 1599 1984. London, 1984
3. Paul Van’t Veer, De AchehOorlog, Amsterdam, 1969, halaman 10, 76.
4. J. Van Swieten, De Waarheid over Onze Vestiging in Acheh, Amsterdam, 1879.
5. Paul Van’t Veer, De AchehOorlog, halaman, 187; C.Snouck Hurgronje, DeAcheher, Amsterdam, 1906
6. C. Snouck Hurgronje, De Acheher, 1906.
7. C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften, jilid IV, halaman 111248; Bonn & Leipzig, 1927; Amtelijke; Ambtelijke Adviezen: 18891936, den Haag, Nijhof, 1965; Nederland en Islam, Leiden, E.J.Brill, 1915.
8. United Nation, General Assembly Resolution 1514XV, Declaration on the Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples, December 14, 1960.
9. Rupert Emerson, "Colonialism: Political Aspects", Encyclopedia of Social Sciences.
10. Tengku Hasan M.di Tiro, "Indonesia as a Model Neocolony, London, 1984.
11. Franz Oppenheimer, System der Soziologie, jilid1, halaman 6.
12. Paul Van’t Veer, De AchehOorlog, halaman 15.
13. The New York Times, 6 Mei, 1873.

Read more ...
Designed By