Breaking News
Blogger Template
Jumat, 20 Maret 2015
Bisnis
Dalam ilmu ekonomi, bisnis adalah suatu organisasi yang menjual barang atau jasa kepada konsumen atau bisnis lainnya, untuk mendapatkan laba. Secara historis kata bisnis dari bahasa Inggris business, dari kata dasar busy yang berarti "sibuk" dalam konteks individu, komunitas, ataupun masyarakat. Dalam artian, sibuk mengerjakan aktivitas dan pekerjaan yang mendatangkan keuntungan.
Dalam ekonomi kapitalis, dimana kebanyakan bisnis dimiliki oleh pihak swasta, bisnis dibentuk untuk mendapatkan profit dan meningkatkan kemakmuran para pemiliknya. Pemilik dan operator dari sebuah bisnis mendapatkan imbalan sesuai dengan waktu, usaha, atau kapital yang mereka berikan. Namun tidak semua bisnis mengejar keuntungan seperti ini, misalnya bisnis koperatif yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan semua anggotanya atau institusi pemerintah yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Model bisnis seperti ini kontras dengan sistem sosialistik, dimana bisnis besar kebanyakan dimiliki oleh pemerintah, masyarakat umum, atau serikat pekerja.
Secara etimologi, bisnis berarti keadaan dimana seseorang atau sekelompok orang sibuk melakukan pekerjaan yang menghasilkan keuntungan. Kata "bisnis" sendiri memiliki tiga penggunaan, tergantung skupnya — penggunaan singular kata bisnis dapat merujuk pada badan usaha, yaitu kesatuan yuridis (hukum), teknis, dan ekonomis yang bertujuan mencari laba atau keuntungan. Penggunaan yang lebih luas dapat merujuk pada sektor pasar tertentu, misalnya "bisnis pertelevisian." Penggunaan yang paling luas merujuk pada seluruh aktivitas yang dilakukan oleh komunitas penyedia barang dan jasa. Meskipun demikian, definisi "bisnis" yang tepat masih menjadi bahan perdebatan hingga saat ini.
BISNIS PERTAMBANGAN
BISNIS PERTAMBANGAN
Sejarah
Sejarah (bahasa Yunani: ἱστορία, historia, yang berarti
"penyelidikan, pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian")[2][3] adalah studi tentang masa lalu, khususnya
bagaimana kaitannya dengan manusia.[4][5] Dalam bahasa Indonesia sejarah babad, hikayat, riwayat,
atau tambo dapat
diartikan sebagai kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa
lampau atau asal usul (keturunan) silsilah, terutama bagi raja-raja yang
memerintah.[6] Ini adalah istilah umum yang
berhubungan dengan peristiwa masa lalu serta penemuan, koleksi, organisasi, dan
penyajian informasi mengenai peristiwa ini.
Istilah ini mencakup kosmik, geologi, dan sejarah makhluk hidup, tetapi seringkali
secara umum diartikan sebagai sejarah manusia. Para sarjana yang menulis tentang sejarah
disebut ahli sejarah atau sejarawan. Peristiwa yang terjadi sebelum
catatan tertulis disebut Prasejarah.
Sejarah
juga dapat mengacu pada bidang akademis yang menggunakan narasi untuk
memeriksa dan menganalisis urutan peristiwa masa lalu, dan secara objektif
menentukan pola sebab dan akibat yang menentukan mereka.[7][8] Ahli sejarah terkadang memperdebatkan sifat sejarah dan kegunaannya dengan membahas studi
tentang ilmu sejarah sebagai tujuan itu sendiri dan sebagai cara untuk
memberikan "pandangan" pada permasalahan masa kini.[7][9][10][11]
Cerita
umum untuk suatu budaya tertentu, tetapi tidak didukung oleh pihak luar
(seperti cerita seputar Raja Arthur) biasanya diklasifikasikan
sebagai warisan budaya atau legenda, karena mereka tidak mendukung "penyelidikan
tertarik" yang diperlukan dari disiplin sejarah.[12][13] Herodotus, abad ke-5 SM ahli sejarah
Yunani dalam masyarakat Barat dianggap sebagai "bapak
sejarah", dan, bersama dengan kontemporer Thucydides, membantu membentuk dasar bagi studi modern sejarah
manusia. Kiprah mereka terus dibaca hari ini dan kesenjangan antara budaya
Herodotus dan Thucydides militer yang berfokus tetap menjadi titik pertikaian
atau pendekatan dalam penulisan sejarah moderen. Dalam tradisi Timur, sebuah
riwayat negara Chun Qiu dikenal untuk dikompilasi
mulai sejak 722 SM meski teks-teks abad ke-2 SM selamat.
Pengaruh
kuno telah membantu penafsiran varian bibit sifat sejarah yang telah berkembang
selama berabad-abad dan terus berubah hari ini. Studi modern sejarah mulai
meluas, dan termasuk studi tentang daerah tertentu dan studi topikal tertentu
atau unsur tematik dalam penyelidikan sejarah. Seringkali sejarah diajarkan
sebagai bagian dari pendidikan dasar dan menengah, dan studi akademis sejarah
adalah ilmu utama dalam
penelitian di Universitas.
SEJARAH DUNIA
SEJARAH NUSANTARA
SEJARAH DUNIA
SEJARAH NUSANTARA
SEJARAH ACEH
Kamis, 19 Maret 2015
Menguak sejarah kerajaan Islam Peurlak
Penulis oleh Nab Bahany As
PERLAK, di Aceh Timur disebut sebagai kerajaan Islam pertama
(tertua) di Nusantara, bahkan di Asia Tenggara. Kesimpulan dari Seminar
Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara tahun 1980,
di Rantau Kualasimpang itu didasarkan pada satu dokumen tertua bernama
kitab Idharul Haq Fi Mamlakatil Peureulak, karangan Abu Ishak
Al-Makarani Sulaiman Al-Pasy. Itu yang menyisahkan pertanyaan bagi
sebagian sejarawan mengenai kebenaran sejarah itu.
Kitab Idharul Haq yang dijadikan sumber satu-satunya. Sebagian sejarawan
meragukannya. Apalagi kitab Idharul Haq yang diperlihatkan dalam
seminar itu katanya bukan dalam bentuk asli, tidak utuh lagi melainkan
hanya lembaran lepas. Kitab itu sendiri masih misteri, karena sampai
sekarang belum ditemukan dalam bentuk aslinya. Sehingga ada yang
mengatakan kita Idharul Haq ini hanya satu rekayasa sejarah untuk
menguatkan pendapat bahwa berdasarkan kitab itu benar kerajaan Islam
pertama di Aceh dan Nusantara adalah kerajaan Islam Perlak.
Banyak peneliti sejarah kritis, meragukan Perlak itu sebagai tempat
pertama berdirinya kerajaan Islam besar di Aceh. Diperkuat dengan belum
adanya ditemukan artevak-artevak atau situs-situs tertua peninggalan
sejarah. Sehingga para peneliti lebih cenderung menyimpulkan kerajaan
Islam pertama di Aceh dan Nusantara adalah kerajaan Islam Samudra Pasai
yang terdapat di Aceh Utara. Banyak bukti yang meyakinkan, baik dalam
bentuk teks maupun benda-benda arkeologis lainnya. Seperti mata uang
dirham pasai dan batu-batu nisan yang bertuliskan tahun wafatnya para
Sultan kerajaan Islam Samudra Pasai.
Keraguan para sejarawan tentang Perlak sebagai bekas kerajaan Islam pertama yang hanya mengambil dari sumber kitab Idharul Haq Fi Mamlakatil Peureulak,
perlu ditelaah lebih jauh. Ada pengalaman ketika saya melakukan
kegiatan sosial di Kabupaten Aceh Tengah, tepatnya di Desa Sukajadi,
Kecamatan Bukit, tahun 1989. Ketika itu saya ditampung di rumah seorang
warga bernama Mitra. Ia pegawai negeri di Kantor Camat Kecamatan Bukit.
Rumahnya di Desa Suka Jadi lumayan besar untuk ukuran rumah desa yang
terletak di puncak bukit Suka Jadi yang mencirikan rumah khas penduduk
tanah gayo.
Naskah Idharul Haq |
Selama berada di desa itu, saya bertemu dengan seseorang yang berusia
lanjut. Tamu itu diantar kedua anaknya, dan pak Mitra selaku pemilik
rumah memperkenalkan tamu tersebut kepada saya bahwa itu adalah kakeknya
sekaligus gurunya dalam menuntun ilmu makrifat. “Namanya Tgk. Abdul
Samad, tapi kami sekeluarga dan orang-orang di Aceh tengah ini memanggil
beliau dengan nama Kek Adu”, jelas Mitra yang menambahkan bahwa
kakeknya itu adalah tokoh adat di tanah Gayo, tapi beliau sudah lama
tidak tinggal lagi di Aceh Tengah. “Beliau sekarang tinggal di Pesanten
Matang Rubek Panton Labu Aceh Utara. Hanya sesekali pulang ke Aceh
Tengah untuk menjenguk cucu dan saudara-saudaranya yang lain,” tutur
Mitra saat itu.
Tgk. Abdul Samad alias Kek Adu yang saat itu duduk agak di sudut
ruangan, hanya sesekali mengiyakan apa yang dijelaskan cucunya kepada
saya. Kami mengobrol mulai seputar agama terutama soal makrifat hingga
masalah sejarah kerajaan Linge dan hubungannya dengan kerajaan Islam
Perlak di Aceh. Kek Adu menjelaskan panjang lebar tentang pertalian
Kerajaan Islam Perlak dengan kerajaan Linge Aceh Tengah.
Ternyata ia juga ikut dalam seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara tahun 1980 di Rantau Kualasimpang Aceh Timur itu. Maka ia pun mengeluarkan satu kitab dari tasnya. “Kitab ini namanya Idharul Haq, kemana saya pergi sekarang saya bawa, karena sedang saya alihbahasakan dari bahasa Melayu Jawi ke dalam bahasa Indonesia,” katanya sambil memperlihatkan sebagian hasil translit isi kitab itu dari huruf Jawi ke dalam huruf latin.
Ternyata ia juga ikut dalam seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara tahun 1980 di Rantau Kualasimpang Aceh Timur itu. Maka ia pun mengeluarkan satu kitab dari tasnya. “Kitab ini namanya Idharul Haq, kemana saya pergi sekarang saya bawa, karena sedang saya alihbahasakan dari bahasa Melayu Jawi ke dalam bahasa Indonesia,” katanya sambil memperlihatkan sebagian hasil translit isi kitab itu dari huruf Jawi ke dalam huruf latin.
Saya kaget ketika ia menyebut kitab itu bernama Idharul Haq. Kitab
berukuran 30 x 25 cm yang tebalnya kira sama-sama dengan Alquran, saya
periksa. Tampak dari kertasnya sudah usang, dan saya menduga kitan itu
adalah hasil foto kopy dari kitab yang aslinya. Karena kertasnya persis
sama dengan kertas yang dipakai sekarang ini. Tgk. Abul Samad pun
mengaku kalau kitab itu adalah kopian dari yang aslinya. Alasannya
karena ia sedang melakukan penerjemahan, sehingga dikopi agar mudah
dibawa kemana pun.
Lepas asli atau tidak, bahwa kitab Idharul Haq yang pernah diragukan
keberadaannya itu sebagai dokumen yang mengungkapkan sejarah kerajaan
Islam Perlak, sedikitnya sudah memberikan titik terang. Hanya saja saya
tak diizinkan mengkopi kitab itu oleh Tgk. Abdul Samad, karena kitab
Idharul Haq itu belum selesai diterjemahkan dari huruf Arab Jawi ke
dalam huruf latin.
Menginat kitab Idharul Haq ini begitu penting dalam menyingkap sejarah
Islam di Aceh, saya pernah menemui Kepala Museum Negeri Aceh (saat itu
Drs Nasruddin Sulaiman), menyarankan agar kitab Idharul Haq yang berada
di tangan seorang tokoh adat di Aceh Tengah, dapat dicopy sekaligus
menjadi koleksi dan dokumen sejarah di Meseum Aceh. Namun saran itu tak
direspon pejabat Meseum dengan dalih, bahwa Meseum Negeri Aceh tidak
punya dana untuk mengirim Timnya menyelidiki kitab tersebut.
Menggali ulang
Kitab Tua |
Upaya Yayasan Monisa yang (saat itu) dipimpin Drs. Badlisyah yang
didukung Pemkab Aceh Timur pernah akan menggali kembali keabsahan
sejarah kerajaan Islam Perlak sebagai kelanjutan seminar tahuan 80-an.
Salah satu situs sejarah yang diteliti adalah batu nisan pada makam Sultan Ala ad Din Said Maulana Abdul Aziz Syah yang terdapat di komplek Bandar Khalifah, yang disebut-sebut sebagai Sulthan pertama kerajaan Islam Perlak Penggalian nisan yang dipimpin Deddy Satria, alumnus Arkeologi UGM, tidak membuahkan hasil sebagaimana diduga.
Bahwa batu nisan makam Sultan Maulana Said Abdul Azis Syah diyakini ada tulisan yang menerangkan nama yang punya makan serta tahun meninggalnya. Di nisan itu hanya berupa pahatan-pahatan yang memang agak mirip dengan bentuk tulisan-tulisan berhuruf Arab.
Salah satu situs sejarah yang diteliti adalah batu nisan pada makam Sultan Ala ad Din Said Maulana Abdul Aziz Syah yang terdapat di komplek Bandar Khalifah, yang disebut-sebut sebagai Sulthan pertama kerajaan Islam Perlak Penggalian nisan yang dipimpin Deddy Satria, alumnus Arkeologi UGM, tidak membuahkan hasil sebagaimana diduga.
Bahwa batu nisan makam Sultan Maulana Said Abdul Azis Syah diyakini ada tulisan yang menerangkan nama yang punya makan serta tahun meninggalnya. Di nisan itu hanya berupa pahatan-pahatan yang memang agak mirip dengan bentuk tulisan-tulisan berhuruf Arab.
Menurut Deddy Satria bentuk batu nisan pada makam Sultan Maulana Abdul
Aziz Syah yang kami gali itu ada kemiripannya dengan nisan-nisan yang
terdapat di komplek makam raja-raja Samudera Pasai, dimana bentuk nisan
seperti itu diperkirakan hasil produksi antara abad ke 14 dan 15 Masehi.
Artinya, bahwa batu nisan pada makam Sultan Ala ad Din Said Maulana
Abdul Aziz Syah di Komplek Bandar Khlalifah Perlak, bukanlah bentuk batu
nisan tertua di Aceh, karena menurut Arkeolog Deddy Satria bentuk batu
nisan seperti itu juga ditemukan di komplek makam raja-raja di Samudera
Pasai Aceh Utara.
Temuan Arkeologis ini tentu sedikit mengewakan dari apa yang telah
menjadi kesimpulan seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di
Nusantara tahun 1980, yang menyatakan Perlak adalah pusat kerajaan Islam
tertua di Nusantara dengan Sultan pertamanya Sultan Ala ad Din Said
Maulana Abdul Aziz Syah. Karena adanya kesamaan batu nisan Sultan
Maulana Abdul Aziz Syah dengan batu nisan yang terdapat di komplek makam
raja-raja Samudera Pasai. Maka jelas Perlak sebagai kerajaan Islam
tertua diragukan.
Sekarang tinggal memburu kitab Idharul Haq, yang sebelumnya dijadikan
sumber sejarah. Kitab ini akan membuka tabir kebenaran. Maka pihak
yayasan Monisa pun memandu kami menuju Matang Rubek (sekitar 28
kilometer arah Selatan Kota Panton Labu) untuk menenui Tgk. Abdul Samad
(Kek Adu) yang pernah memperlihatkan kitab Idharul Haq kepada saya 20
tahun yang lalu di rumah cucunya Desa Sukajadi Aceh Tengah. Selama 30
menit kami berhasil sampai di Pesanten, tempak Kek Adu berhidmat.
Kami langsung menemui salah seorang santri menyampaikan hasrat kami
untuk menemui pimpinan Pesantren tersebut. Karena dalam pekiran kami
yang memimpin pesantren itu adalah Tgk. Abdul Samad alias Kek Adu yang
pernah memperlihatkan kitab Idharul Haq pada saya 20 tahun yang lalu di
Desa Suka Jadi Aceh Tengah.
Namun setelah bertemu pimpinan Pesantren, mengatakan kepada kami bahwa beliau (Kek Adu), sudah lama meninggal dunia. Informasi meninggalnya Tgk Abdul Samad ini sekaligus memupuskan harapan kami dalam mencari kembali jejak kitab Idharul Haq yang pernah diperlihatkan Tgk Abdul Samad ketika beliau masih hidup dan bertemu saya 20 tahun lalu di Desa Suka Jadi Aceh Tengah.
Namun setelah bertemu pimpinan Pesantren, mengatakan kepada kami bahwa beliau (Kek Adu), sudah lama meninggal dunia. Informasi meninggalnya Tgk Abdul Samad ini sekaligus memupuskan harapan kami dalam mencari kembali jejak kitab Idharul Haq yang pernah diperlihatkan Tgk Abdul Samad ketika beliau masih hidup dan bertemu saya 20 tahun lalu di Desa Suka Jadi Aceh Tengah.
Membongkar dokumen keluarga
Kitab Idharul Haq adalah kunci sejarah kebenaran Kerajaan Islam Perlak.
Maka awal April 2009 lalu, saya kembali menemui cucu almarhum Kek Adu
atau Tgk Abdul Samad yang tinggal di Desa Suka Jadi Aceh Tengah.
Singkat cerita saya kembali kecewa karena begitu sampai di rumah yang saya tuju di Desa Suka Jadi, ternyata cucu almarhun dari Kek Adu bernama Mitra tidak lagi tinggal di rumah yang pernah saya tinggal 20 tahun yang lalu. Rumah tersebut sudah diberikan kepada anaknya. Sedangkan Mitra sendiri (cucu dari Kek Adu) sudah lama pindah ke kota Takengen.
Singkat cerita saya kembali kecewa karena begitu sampai di rumah yang saya tuju di Desa Suka Jadi, ternyata cucu almarhun dari Kek Adu bernama Mitra tidak lagi tinggal di rumah yang pernah saya tinggal 20 tahun yang lalu. Rumah tersebut sudah diberikan kepada anaknya. Sedangkan Mitra sendiri (cucu dari Kek Adu) sudah lama pindah ke kota Takengen.
Alhamdulillah, alamatnya saya dapatkan dan kami bertemu kembali dengan
cucu Kek Adu. Namun setelah menyampaikan maksud untuk mendapatkan kitab
Idharul Haq, ternyata menurut Mitra, bahwa kitab kakeknya banyak diambil
sahabatnya di Lhokseumawe, dan kitab yang dimaksud tidak dititipkan
pada keluarga.
“Seperti kitab sejarah kerajaan Lingge, dulu ada sama kakek. Dan khusus kitab Idharul Haq ini ia tidak tahu apakah ada dalam dokumen yang telah disimpan keluarga di Isak Aceh Tengah, atau kitab itu sudah diberikan kepada sahabatnya di Lhokseumawe semasa beliau hidup,” ujar Mitra.
Dimana kitab Idharul Haq berada?
Sumber : Aceh Cyber“Seperti kitab sejarah kerajaan Lingge, dulu ada sama kakek. Dan khusus kitab Idharul Haq ini ia tidak tahu apakah ada dalam dokumen yang telah disimpan keluarga di Isak Aceh Tengah, atau kitab itu sudah diberikan kepada sahabatnya di Lhokseumawe semasa beliau hidup,” ujar Mitra.
Dimana kitab Idharul Haq berada?
Rabu, 04 Februari 2015
Aceh Dipimpin Ratu
Taj’al-Alam, janda
Sultan Iskandar Tsani dan puteri Sultan Iskandar Muda, memerintah selama 34
tahun, masa yangcukup lama, terutama bagi seorang wanita pemimpin. Dalam masa
penuh politik intrik asing dan ancaman pengkhianatan dari tokoh-tokoh yang
ingin merebut tahta, maka masa 34 tahun itu tidak akan dapat dilampaui dengan
selamat oleh Taj’al-Alam tanpa ada kelebihandalam kepribadiannya. Aceh dapat
membanggakan kebesaran dari tokoh wanita ini dalam sejarahnya mungkin tidak ada
duanya dalam lesmbaran seajarah nasional pada masanya.
Menuurt catatan
Bustanul’s-Salatin, Taj’al-Alam ditabalkan pada hari yang sama pada saat
suaminya meninggal dunia. Maka gelarnya lengkap yaitu : Paduka Sri Sultan
Taj’Alam tsafiatu’ddin Syah Berdaulat Zillu’lahi Fi’l’Alam binti’s Sultan Raja
Sultan Iskandar Muda Johan Berdaulat.
Menurut
Bustanu’s-Salatin, Taj’al-Alam mengutamakan pendidikan agama dan perekonomian,
utamanya dengan meningkatkan penggalian emas. Dia adalah seorang negarawan
bukan seorang militer. Sayang, belum banyak penelitian mengenani masa
pemerintahannya. Mungkin karena dia seorang wanita dan kebesaran masa Sultan
Iskandar Muda tidak berhasil dicapainya kembali. Sungguhpun demikian,
prestasinya sebagai cukup besar. Kecuali Ratu Elizabeth dari Inggris, pada masa
itu tidak tedengar peranan seoaang raja perempuan yang demikian mengagumkan
seperti Taj’al-Alam.
Kelebihan Taj’al-Alam
dalam memerintah terlihat dari dukungan para menteri, orang besar, dan ulama.
Menurut catatan, lembaga kenegaraan Tiga Segi diterapkan pada masa Taj’al-Alam.
Turut mendukungnya adalah dua orang cerdik pandai dan berpengaruh, yaitu Syekh
Nuru’ddin Ar-Raniri dan Syekh Abdu’rr-Ra’uf. Dengan dukungan tersebut berarti tidak
ada hambatan keagamaan terhadap seorang wanita menjadi Raja.
Cukup menarik
membicarakan perseoalan kedudukan wanita di Aceh yang dianggap tidak janggal
memegang jabatan tinggi bahkan menjadi raja. 375 tahun dahulu, Aceh telah
pernah mempunyai seorang laksamana wanita. John Davis telah menceritakan apa
yang dilihatnnya sendiri. Dua abad lalu tampil kedepan untuk memerintah seorang
wanita yang kesanggupan dan ketangkasannya tidak beda dengan apa yang dimiliki
oleh seorang raja laki-laki.
Taj’al-Alam bukan saja
telah mengatasi ujian berat untuk membuktikan kecakapannya memerintah, tapi
juga berhasil mengadakan pembaharuan dalam pemerintahan, memperluas pengertian
demokrasi yang selamaini kurang disadari oleh kaum laki-laki sendiri. Jika
catatan tuanku ahmad dapat dijadikan pegangan, pada zaman sebelum Taj’al-Alam
sudah berlangsung suatu demokratisasi pemerintahan, yaitu adanya suatu badan
mahkamah atau badan resmi yang merupakan badan musyawarah. Taj’al-Alam telah
memperluas jumlah anggota tersebut dengan menyertakan wanita dan menambahkan
jumlah wanita sebanyak 18 orang lagi, mewakili mukim-mukim tiga segi 22, 25,
dan 26 mukim) di Aceh Besar.
Pada masa Sultan
Iskandar Muda “hak berserikat” sudah mendapat perhatian dalam mana hak wanita
atasa harta pencarian serupa suaminya. Dengan perkataan lain wanita sebagai
isteri turut sebagai pemegang saham atas harta pencarian, bukan sebagai
“jujuran”. Juga pada masa itu telah dibentuk suatu divisi wanita yang diberi
nama divisi “keumala cahaya.” kemudian, Taj’al-Alam adalah penggemar olahraga.
Dr. J. Jakobs yang mengupas
persoalan wanita Aceh, mengmukakan bahwa wanita memimpin bukanlah perseolan
aneh. Katanya : “Tijdens onze expeditie naam samalanga had aldaar eene vrouw
met naam pocut maligai als regentens de teugels van het bewind in handen en
wist haar gezag met kracht te handhaven zij dreigde toentertijds iedereen
werrbaren man met straf van ontmanning, wanneer hij in den oorlog zijne plicht
als landverdediger mocht verzaken”. (bahasa Belanda)
Jacobs meneceritakan
bahwa keurutu sudah pernah seorang wanita menjadi hulu balang, yakni Cut Nya’
Kerti. Demikian pula, Cut Nyak Fatimah di salah satu mukim di Aceh Barat.
Jacobs mengatakan bahwa keberhasilan pemerintahan yang dipimpin oleh wanita di
Aceh selama lebih setengah abad telah mendorong penulis bernama ploss menyatakan
dalam risalahnya, “Das Weiss in des Natuur-und Volkenkunde, II,” halaman 444,
untuk mengatakan, bahwa “Aceh telah menjadi contoh bagaimana di kepulauan
Indonesia pun wanita sewaktu-waktu bisa menjadi pengaruh dibidang politi.” “Das
markwiirdigste Beispiel von Frauenregierung biete des reich Atjeh auf Sumatra.
Tenntu saja pengaruh
terkemukan yang dapt diperebut oleh wanita di masyarakat bergantung sekali
hasil peranan yang dijalankannnya, terutaama yang sudah jelas tentunya adalah
kesanggupan dan keberanian berkelahi atau berperang. Jika kesanggupan dan
keberanian itu ada,apalagi mengagumkan, maka wanita akan mendapat tempat tidak
kalah bahkan bisa lebih dari laki-laki. Sedikit banyak agaknya terasa jug
didalam masyarakat Aceh bahwa wanita merupakan faktor yang kadang-kadang tidak
bolehdiabaikan. Itulah pula sebab banyak daerak dikenal apa yang disebut Ada
“ganti tikar” atau diAceh dikenal “metukar bantai, ” yaitu adik atau abang dari
seorang suami yang meninggal menggantikan adik atau abangnya mengawini sang
janda. Bukan saja maksudnya supaya harta peninggalan tidakjatuh ke tangan orang
lain, tapi juga untuk mepertahankan pengaruh yang sudah tertanam didalam
mesyarakat berkat peranan wanita tersebut.
“Pada suatu kali
Galdorp bersamatiga buah brigadenya pernah menyergap tempat persembnyian lawan
yang terdiri dari empat orang pria bersama isteri-isteri mereka. Laki-laki itu segera dapat ditewaskan. Dan
pada waktu orang menyangka, bahwa perseolannya sudah selesai. Akan tetapi,
wanita-wanita itu mengambil senjata-senjata suami mereka lalu menyerang
pasukan; merek bertembur selama nyawa ada di badan.
Dalam banyak tulisan
yang dibuat olen penulis asing dan Indonesia sendiri, rencong merupakan senjata
andalam masyarakat Aceh dalam menghadapi musuh. Banyak para pejuang Aceh yang
hanya bermodalkan senjata rencong untuk menerobos benteng musuh.
Selain untuk menyerang,
rencong juga biasa digunakan untuk membela diri, untuk kepentingan berperang,
untuk berburu hewan/binatang. Asal usul rencong kapan mula dibuat oleh orang
Aceh itu tidak begitu jelas.
Sumber : Berbagai refernsi
Selasa, 03 Februari 2015
SIFAT ORANG ACEH
Ureung
Aceh meunyoe hate’ hana teupe’h
Aneuk
Kre’h jeuet taraba
Meunyeu
hate’ ka taupe’h
Bu
leube’h han dipeutaba
#
Ureung Aceh meunyoe hate’ hana teupe’h (Orang Aceh bila hati tidak tersinggung)
Maksudnya
sebagai peringatan, bahwa orang Aceh bersifat baik, tidak mau menyinggung orang
lain. Orang Aceh ingin berbaik-baik di dalam kehidupan masyarakat secara
bersama.
#
Aneuk Kre’h jeuet taraba (Alat vitalnya boleh diraba atau dipegang)
Maksudnya
adalah bahawa orang Aceh dalam bergaul sangat sederhana dan tidak tertutup.
Apabila hati atau perasaannya tidak tersinggung, maka sampai alat vitalnyapun
dapat dipegang atau dirama dia tidak akan marah.
#
Meunyeu hate’ ka taupe’h (apabila hati atau perasaan sudah tersinggung/luka)
Bahwa
orang Aceh apabila hatinya tersinggung atau perasaan luka akibat oleh hal
tertentu maka akan ada akibatnya. Oleh karena itu jangan sekali-kali singgung
atau lukai hati masyarakat Aceh. Karena itu sangat sensitif bagi Bangsa Aceh.
#
Bu leube’h han di peutaba (Nasi lebih tidak ditawarkan)
Orang
Aceh itu apabila hati dan perasaanya disinggung dan dilukai, nasi yang sisapun
tidak akan ditawarkan pada orang yang melukai hatinya itu.
Jadi sifatnya orang Aceh sangat
mudah dan terbuka dalam pergaulan sehari-hari dengan siapa saja, asal jangan
dilukai hatinya dan jangan singgung perasaannya, jangan mempermalukan mereka.
Sumber
: Umar. Muhammad, Darah dan Jiwa Aceh, CV. Boebon Jaya, Banda Aceh, 2008.
Siapa Snouck Hurgronje ?
Nama
samarannya adalah Abdul al-Ghaffar seorang ahli ilmu pengetahuan, tetapi
hanyalah seorang mata-mata.
Abdul
Ghaffar, nama samaran sarjana BelandaProf. DR. C. Snouck Hurgronje, ketika ia
menyamar sebagai seorang muslim mengadakan penelitian di Jeddah dan Mekkah
(1884-1885), pengetahuan Snouck Hurgronje itu kemudian digunakan untuk dan
sebagai landasan untuk politik pemerintaahan belanda menindas pergerakan
kebangsaan Indonesia khususnya dalam penyerangan Aceh yang berdasarkan ajaran
Islam seperti Perang Aceh dan Serekat Islam.
Penyelidikan
di Mekkah ternyata nanti akan sangat membantu dalam penyusunan laporannya
tentang Aceh, suatu karangan yang kemudian diperluas yang menjadi buku “De
Atjehers” terbit dalam dua jilid. Walaupun dipersoalkan oleh VK (Van
Koningsveld), dalam jilid kedua S.H. tidak menyebutkan sumber dari datanya.
Dalam
laporan Aceh ini S.H. menyanjurkan suatu cara politik kepada Pemerintah
Kolonial Belanda untuk menghajar tanpa ampun terhadap Bangsa Aceh.
Hal
ini sesuai dengan pendiriannya yang cukup terkenal Snouck Horgrunje adalah
selama para pemuka agama tidak berpolitik, maka perlu dibiarkan artinya tidak
perlu dibinasakan atau dihancurkan . akan tetapi kalau melancarkan gerakan
politik oleh pemuka agama, maka harus dihancurkan secara tanpa ampun, maka
tidak mengherankan apabila Snouck Hurgroje di Timur Tengah dikenal sebagai
beststrijdervan de Islam (yang memerangi).
Dr.
Snouck hurgroje, seorang orientalis besar pada zamannya, oleh kebanyakan orang
Indonesia, Snouck Hurgroje dianggap sebagai kaki tangan Pemerintah Kolonial
Belanda atau kaum Imperialis; alat kaum penjajah; sehingga segala ulah dan
sikapnya dianggap sangat menguntungkan Kolonialis Belanda semata. Dan S.H
seorang sarjana yang besar, namun juga dipenuhi oleh keanehan-keaneha tertentu.
Sumber
: Snouck Hurgroje, Aceh Di Mata Kolonialis, Yayasan Soko Guru, Jakarta,1985.
Langganan:
Postingan (Atom)