Breaking News

Blogger Template

Jumat, 20 Maret 2015

Bisnis Pertambangan

Sebuah analisis sektor pertambangan batubara di Indonesia. ... Cina dan India diperkirakan mengembalikan bisnis batubara menjadi sangat menguntungkan
Read more ...

Bisnis


Dalam ilmu ekonomibisnis adalah suatu organisasi yang menjual barang atau jasa kepada konsumen atau bisnis lainnya, untuk mendapatkan laba. Secara historis kata bisnis dari bahasa Inggris business, dari kata dasar busy yang berarti "sibuk" dalam konteks individu, komunitas, ataupun masyarakat. Dalam artian, sibuk mengerjakan aktivitas dan pekerjaan yang mendatangkan keuntungan.
Dalam ekonomi kapitalis, dimana kebanyakan bisnis dimiliki oleh pihak swasta, bisnis dibentuk untuk mendapatkan profit dan meningkatkan kemakmuran para pemiliknya. Pemilik dan operator dari sebuah bisnis mendapatkan imbalan sesuai dengan waktu, usaha, atau kapital yang mereka berikan. Namun tidak semua bisnis mengejar keuntungan seperti ini, misalnya bisnis koperatif yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan semua anggotanya atau institusi pemerintah yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Model bisnis seperti ini kontras dengan sistem sosialistik, dimana bisnis besar kebanyakan dimiliki oleh pemerintah, masyarakat umum, atau serikat pekerja.
Secara etimologi, bisnis berarti keadaan dimana seseorang atau sekelompok orang sibuk melakukan pekerjaan yang menghasilkan keuntungan. Kata "bisnis" sendiri memiliki tiga penggunaan, tergantung skupnya — penggunaan singular kata bisnis dapat merujuk pada badan usaha, yaitu kesatuan yuridis (hukum), teknis, dan ekonomis yang bertujuan mencari laba atau keuntungan. Penggunaan yang lebih luas dapat merujuk pada sektor pasar tertentu, misalnya "bisnis pertelevisian." Penggunaan yang paling luas merujuk pada seluruh aktivitas yang dilakukan oleh komunitas penyedia barang dan jasa. Meskipun demikian, definisi "bisnis" yang tepat masih menjadi bahan perdebatan hingga saat ini.

BISNIS PERTAMBANGAN
Read more ...

Sejarah


Sejarah (bahasa Yunaniἱστορία, historia, yang berarti "penyelidikan, pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian")[2][3] adalah studi tentang masa lalu, khususnya bagaimana kaitannya dengan manusia.[4][5] Dalam bahasa Indonesia sejarah babad, hikayat, riwayat, atau tambo dapat diartikan sebagai kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau atau asal usul (keturunan) silsilah, terutama bagi raja-raja yang memerintah.[6] Ini adalah istilah umum yang berhubungan dengan peristiwa masa lalu serta penemuan, koleksi, organisasi, dan penyajian informasi mengenai peristiwa ini. Istilah ini mencakup kosmikgeologi, dan sejarah makhluk hidup, tetapi seringkali secara umum diartikan sebagai sejarah manusia. Para sarjana yang menulis tentang sejarah disebut ahli sejarah atau sejarawan. Peristiwa yang terjadi sebelum catatan tertulis disebut Prasejarah.
Sejarah juga dapat mengacu pada bidang akademis yang menggunakan narasi untuk memeriksa dan menganalisis urutan peristiwa masa lalu, dan secara objektif menentukan pola sebab dan akibat yang menentukan mereka.[7][8] Ahli sejarah terkadang memperdebatkan sifat sejarah dan kegunaannya dengan membahas studi tentang ilmu sejarah sebagai tujuan itu sendiri dan sebagai cara untuk memberikan "pandangan" pada permasalahan masa kini.[7][9][10][11]
Cerita umum untuk suatu budaya tertentu, tetapi tidak didukung oleh pihak luar (seperti cerita seputar Raja Arthur) biasanya diklasifikasikan sebagai warisan budaya atau legenda, karena mereka tidak mendukung "penyelidikan tertarik" yang diperlukan dari disiplin sejarah.[12][13] Herodotus, abad ke-5 SM ahli sejarah Yunani dalam masyarakat Barat dianggap sebagai "bapak sejarah", dan, bersama dengan kontemporer Thucydides, membantu membentuk dasar bagi studi modern sejarah manusia. Kiprah mereka terus dibaca hari ini dan kesenjangan antara budaya Herodotus dan Thucydides militer yang berfokus tetap menjadi titik pertikaian atau pendekatan dalam penulisan sejarah moderen. Dalam tradisi Timur, sebuah riwayat negara Chun Qiu dikenal untuk dikompilasi mulai sejak 722 SM meski teks-teks abad ke-2 SM selamat.
Pengaruh kuno telah membantu penafsiran varian bibit sifat sejarah yang telah berkembang selama berabad-abad dan terus berubah hari ini. Studi modern sejarah mulai meluas, dan termasuk studi tentang daerah tertentu dan studi topikal tertentu atau unsur tematik dalam penyelidikan sejarah. Seringkali sejarah diajarkan sebagai bagian dari pendidikan dasar dan menengah, dan studi akademis sejarah adalah ilmu utama dalam penelitian di Universitas.


SEJARAH DUNIA

SEJARAH NUSANTARA

SEJARAH ACEH

Read more ...

Kamis, 19 Maret 2015

Menguak sejarah kerajaan Islam Peurlak


http://4.bp.blogspot.com/-Ljp2dky_tS0/VQirVtXjCKI/AAAAAAAAcmE/tS06kXVBUBo/s1600/sdcsc.jpg


Penulis oleh Nab Bahany As



PERLAK, di Aceh Timur disebut sebagai kerajaan Islam pertama (tertua) di Nusantara, bahkan di Asia Tenggara. Kesimpulan dari Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara tahun 1980, di Rantau Kualasimpang itu didasarkan pada satu dokumen tertua bernama kitab Idharul Haq Fi Mamlakatil Peureulak, karangan Abu Ishak Al-Makarani Sulaiman Al-Pasy. Itu yang menyisahkan pertanyaan bagi sebagian sejarawan mengenai kebenaran sejarah itu.
Kitab Idharul Haq yang dijadikan sumber satu-satunya. Sebagian sejarawan meragukannya. Apalagi kitab Idharul Haq yang diperlihatkan dalam seminar itu katanya bukan dalam bentuk asli, tidak utuh lagi melainkan hanya lembaran lepas. Kitab itu sendiri masih misteri, karena sampai sekarang belum ditemukan dalam bentuk aslinya. Sehingga ada yang mengatakan kita Idharul Haq ini hanya satu rekayasa sejarah untuk menguatkan pendapat bahwa berdasarkan kitab itu benar kerajaan Islam pertama di Aceh dan Nusantara adalah kerajaan Islam Perlak.
Banyak peneliti sejarah kritis, meragukan Perlak itu sebagai tempat pertama berdirinya kerajaan Islam besar di Aceh. Diperkuat dengan belum adanya ditemukan artevak-artevak atau situs-situs tertua peninggalan sejarah. Sehingga para peneliti lebih cenderung menyimpulkan kerajaan Islam pertama di Aceh dan Nusantara adalah kerajaan Islam Samudra Pasai yang terdapat di Aceh Utara. Banyak bukti yang meyakinkan, baik dalam bentuk teks maupun benda-benda arkeologis lainnya. Seperti mata uang dirham pasai dan batu-batu nisan yang bertuliskan tahun wafatnya para Sultan kerajaan Islam Samudra Pasai.
Keraguan para sejarawan tentang Perlak sebagai bekas kerajaan Islam pertama yang hanya mengambil dari sumber kitab Idharul Haq Fi Mamlakatil Peureulak, perlu ditelaah lebih jauh. Ada pengalaman ketika saya melakukan kegiatan sosial di Kabupaten Aceh Tengah, tepatnya di Desa Sukajadi, Kecamatan Bukit, tahun 1989. Ketika itu saya ditampung di rumah seorang warga bernama Mitra. Ia pegawai negeri di Kantor Camat Kecamatan Bukit. Rumahnya di Desa Suka Jadi lumayan besar untuk ukuran rumah desa yang terletak di puncak bukit Suka Jadi yang mencirikan rumah khas penduduk tanah gayo.

Naskah Idharul Haq
Selama berada di desa itu, saya bertemu dengan seseorang yang berusia lanjut. Tamu itu diantar kedua anaknya, dan pak Mitra selaku pemilik rumah memperkenalkan tamu tersebut kepada saya bahwa itu adalah kakeknya sekaligus gurunya dalam menuntun ilmu makrifat. “Namanya Tgk. Abdul Samad, tapi kami sekeluarga dan orang-orang di Aceh tengah ini memanggil beliau dengan nama Kek Adu”, jelas Mitra yang menambahkan bahwa kakeknya itu adalah tokoh adat di tanah Gayo, tapi beliau sudah lama tidak tinggal lagi di Aceh Tengah. “Beliau sekarang tinggal di Pesanten Matang Rubek Panton Labu Aceh Utara. Hanya sesekali pulang ke Aceh Tengah untuk menjenguk cucu dan saudara-saudaranya yang lain,” tutur Mitra saat itu.
Tgk. Abdul Samad alias Kek Adu yang saat itu duduk agak di sudut ruangan, hanya sesekali mengiyakan apa yang dijelaskan cucunya kepada saya. Kami mengobrol mulai seputar agama terutama soal makrifat hingga masalah sejarah kerajaan Linge dan hubungannya dengan kerajaan Islam Perlak di Aceh. Kek Adu menjelaskan panjang lebar tentang pertalian Kerajaan Islam Perlak dengan kerajaan Linge Aceh Tengah.

Ternyata ia juga ikut dalam seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara tahun 1980 di Rantau Kualasimpang Aceh Timur itu. Maka ia pun mengeluarkan satu kitab dari tasnya. “Kitab ini namanya Idharul Haq, kemana saya pergi sekarang saya bawa, karena sedang saya alihbahasakan dari bahasa Melayu Jawi ke dalam bahasa Indonesia,” katanya sambil memperlihatkan sebagian hasil translit isi kitab itu dari huruf Jawi ke dalam huruf latin.
Saya kaget ketika ia menyebut kitab itu bernama Idharul Haq. Kitab berukuran 30 x 25 cm yang tebalnya kira sama-sama dengan Alquran, saya periksa. Tampak dari kertasnya sudah usang, dan saya menduga kitan itu adalah hasil foto kopy dari kitab yang aslinya. Karena kertasnya persis sama dengan kertas yang dipakai sekarang ini. Tgk. Abul Samad pun mengaku kalau kitab itu adalah kopian dari yang aslinya. Alasannya karena ia sedang melakukan penerjemahan, sehingga dikopi agar mudah dibawa kemana pun.
Lepas asli atau tidak, bahwa kitab Idharul Haq yang pernah diragukan keberadaannya itu sebagai dokumen yang mengungkapkan sejarah kerajaan Islam Perlak, sedikitnya sudah memberikan titik terang. Hanya saja saya tak diizinkan mengkopi kitab itu oleh Tgk. Abdul Samad, karena kitab Idharul Haq itu belum selesai diterjemahkan dari huruf Arab Jawi ke dalam huruf latin.
Menginat kitab Idharul Haq ini begitu penting dalam menyingkap sejarah Islam di Aceh, saya pernah menemui Kepala Museum Negeri Aceh (saat itu Drs Nasruddin Sulaiman), menyarankan agar kitab Idharul Haq yang berada di tangan seorang tokoh adat di Aceh Tengah, dapat dicopy sekaligus menjadi koleksi dan dokumen sejarah di Meseum Aceh. Namun saran itu tak direspon pejabat Meseum dengan dalih, bahwa Meseum Negeri Aceh tidak punya dana untuk mengirim Timnya menyelidiki kitab tersebut.
Menggali ulang
Kitab Tua
Upaya Yayasan Monisa yang (saat itu) dipimpin Drs. Badlisyah yang didukung Pemkab Aceh Timur pernah akan menggali kembali keabsahan sejarah kerajaan Islam Perlak sebagai kelanjutan seminar tahuan 80-an.

Salah satu situs sejarah yang diteliti adalah batu nisan pada makam Sultan Ala ad Din Said Maulana Abdul Aziz Syah yang terdapat di komplek Bandar Khalifah, yang disebut-sebut sebagai Sulthan pertama kerajaan Islam Perlak Penggalian nisan yang dipimpin Deddy Satria, alumnus Arkeologi UGM, tidak membuahkan hasil sebagaimana diduga.

Bahwa batu nisan makam Sultan Maulana Said Abdul Azis Syah diyakini ada tulisan yang menerangkan nama yang punya makan serta tahun meninggalnya. Di nisan itu hanya berupa pahatan-pahatan yang memang agak mirip dengan bentuk tulisan-tulisan berhuruf Arab. 
Menurut Deddy Satria bentuk batu nisan pada makam Sultan Maulana Abdul Aziz Syah yang kami gali itu ada kemiripannya dengan nisan-nisan yang terdapat di komplek makam raja-raja Samudera Pasai, dimana bentuk nisan seperti itu diperkirakan hasil produksi antara abad ke 14 dan 15 Masehi. Artinya, bahwa batu nisan pada makam Sultan Ala ad Din Said Maulana Abdul Aziz Syah di Komplek Bandar Khlalifah Perlak, bukanlah bentuk batu nisan tertua di Aceh, karena menurut Arkeolog Deddy Satria bentuk batu nisan seperti itu juga ditemukan di komplek makam raja-raja di Samudera Pasai Aceh Utara.
Temuan Arkeologis ini tentu sedikit mengewakan dari apa yang telah menjadi kesimpulan seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Nusantara tahun 1980, yang menyatakan Perlak adalah pusat kerajaan Islam tertua di Nusantara dengan Sultan pertamanya Sultan Ala ad Din Said Maulana Abdul Aziz Syah. Karena adanya kesamaan batu nisan Sultan Maulana Abdul Aziz Syah dengan batu nisan yang terdapat di komplek makam raja-raja Samudera Pasai. Maka jelas Perlak sebagai kerajaan Islam tertua diragukan.

Sekarang tinggal memburu kitab Idharul Haq, yang sebelumnya dijadikan sumber sejarah. Kitab ini akan membuka tabir kebenaran. Maka pihak yayasan Monisa pun memandu kami menuju Matang Rubek (sekitar 28 kilometer arah Selatan Kota Panton Labu) untuk menenui Tgk. Abdul Samad (Kek Adu) yang pernah memperlihatkan kitab Idharul Haq kepada saya 20 tahun yang lalu di rumah cucunya Desa Sukajadi Aceh Tengah. Selama 30 menit kami berhasil sampai di Pesanten, tempak Kek Adu berhidmat.
Kami langsung menemui salah seorang santri menyampaikan hasrat kami untuk menemui pimpinan Pesantren tersebut. Karena dalam pekiran kami yang memimpin pesantren itu adalah Tgk. Abdul Samad alias Kek Adu yang pernah memperlihatkan kitab Idharul Haq pada saya 20 tahun yang lalu di Desa Suka Jadi Aceh Tengah.

Namun setelah bertemu pimpinan Pesantren, mengatakan kepada kami bahwa beliau (Kek Adu), sudah lama meninggal dunia. Informasi meninggalnya Tgk Abdul Samad ini sekaligus memupuskan harapan kami dalam mencari kembali jejak kitab Idharul Haq yang pernah diperlihatkan Tgk Abdul Samad ketika beliau masih hidup dan bertemu saya 20 tahun lalu di Desa Suka Jadi Aceh Tengah.
Membongkar dokumen keluarga
Kitab Idharul Haq adalah kunci sejarah kebenaran Kerajaan Islam Perlak. Maka awal April 2009 lalu, saya kembali menemui cucu almarhum Kek Adu atau Tgk Abdul Samad yang tinggal di Desa Suka Jadi Aceh Tengah.

Singkat cerita saya kembali kecewa karena begitu sampai di rumah yang saya tuju di Desa Suka Jadi, ternyata cucu almarhun dari Kek Adu bernama Mitra tidak lagi tinggal di rumah yang pernah saya tinggal 20 tahun yang lalu. Rumah tersebut sudah diberikan kepada anaknya. Sedangkan Mitra sendiri (cucu dari Kek Adu) sudah lama pindah ke kota Takengen.
Alhamdulillah, alamatnya saya dapatkan dan kami bertemu kembali dengan cucu Kek Adu. Namun setelah menyampaikan maksud untuk mendapatkan kitab Idharul Haq, ternyata menurut Mitra, bahwa kitab kakeknya banyak diambil sahabatnya di Lhokseumawe, dan kitab yang dimaksud tidak dititipkan pada keluarga.

“Seperti kitab sejarah kerajaan Lingge, dulu ada sama kakek. Dan khusus kitab Idharul Haq ini ia tidak tahu apakah ada dalam dokumen yang telah disimpan keluarga di Isak Aceh Tengah, atau kitab itu sudah diberikan kepada sahabatnya di Lhokseumawe semasa beliau hidup,” ujar Mitra.

Dimana kitab Idharul Haq berada?
Sumber : Aceh Cyber
Read more ...

SUE ACEH

SIDOM APUY

KAFE INDONESIA

IE MATA JANDA
Read more ...

Rabu, 04 Februari 2015

Aceh Dipimpin Ratu


             Taj’al-Alam, janda Sultan Iskandar Tsani dan puteri Sultan Iskandar Muda, memerintah selama 34 tahun, masa yangcukup lama, terutama bagi seorang wanita pemimpin. Dalam masa penuh politik intrik asing dan ancaman pengkhianatan dari tokoh-tokoh yang ingin merebut tahta, maka masa 34 tahun itu tidak akan dapat dilampaui dengan selamat oleh Taj’al-Alam tanpa ada kelebihandalam kepribadiannya. Aceh dapat membanggakan kebesaran dari tokoh wanita ini dalam sejarahnya mungkin tidak ada duanya dalam lesmbaran seajarah nasional pada masanya.

 Menuurt catatan Bustanul’s-Salatin, Taj’al-Alam ditabalkan pada hari yang sama pada saat suaminya meninggal dunia. Maka gelarnya lengkap yaitu : Paduka Sri Sultan Taj’Alam tsafiatu’ddin Syah Berdaulat Zillu’lahi Fi’l’Alam binti’s Sultan Raja Sultan Iskandar Muda Johan Berdaulat. 

Menurut Bustanu’s-Salatin, Taj’al-Alam mengutamakan pendidikan agama dan perekonomian, utamanya dengan meningkatkan penggalian emas. Dia adalah seorang negarawan bukan seorang militer. Sayang, belum banyak penelitian mengenani masa pemerintahannya. Mungkin karena dia seorang wanita dan kebesaran masa Sultan Iskandar Muda tidak berhasil dicapainya kembali. Sungguhpun demikian, prestasinya sebagai cukup besar. Kecuali Ratu Elizabeth dari Inggris, pada masa itu tidak tedengar peranan seoaang raja perempuan yang demikian mengagumkan seperti Taj’al-Alam.

Kelebihan Taj’al-Alam dalam memerintah terlihat dari dukungan para menteri, orang besar, dan ulama. Menurut catatan, lembaga kenegaraan Tiga Segi diterapkan pada masa Taj’al-Alam. Turut mendukungnya adalah dua orang cerdik pandai dan berpengaruh, yaitu Syekh Nuru’ddin Ar-Raniri dan Syekh Abdu’rr-Ra’uf. Dengan dukungan tersebut berarti tidak ada hambatan keagamaan terhadap seorang wanita menjadi Raja.

Cukup menarik membicarakan perseoalan kedudukan wanita di Aceh yang dianggap tidak janggal memegang jabatan tinggi bahkan menjadi raja. 375 tahun dahulu, Aceh telah pernah mempunyai seorang laksamana wanita. John Davis telah menceritakan apa yang dilihatnnya sendiri. Dua abad lalu tampil kedepan untuk memerintah seorang wanita yang kesanggupan dan ketangkasannya tidak beda dengan apa yang dimiliki oleh seorang raja laki-laki.
Taj’al-Alam bukan saja telah mengatasi ujian berat untuk membuktikan kecakapannya memerintah, tapi juga berhasil mengadakan pembaharuan dalam pemerintahan, memperluas pengertian demokrasi yang selamaini kurang disadari oleh kaum laki-laki sendiri. Jika catatan tuanku ahmad dapat dijadikan pegangan, pada zaman sebelum Taj’al-Alam sudah berlangsung suatu demokratisasi pemerintahan, yaitu adanya suatu badan mahkamah atau badan resmi yang merupakan badan musyawarah. Taj’al-Alam telah memperluas jumlah anggota tersebut dengan menyertakan wanita dan menambahkan jumlah wanita sebanyak 18 orang lagi, mewakili mukim-mukim tiga segi 22, 25, dan 26 mukim) di Aceh Besar. 

Pada masa Sultan Iskandar Muda “hak berserikat” sudah mendapat perhatian dalam mana hak wanita atasa harta pencarian serupa suaminya. Dengan perkataan lain wanita sebagai isteri turut sebagai pemegang saham atas harta pencarian, bukan sebagai “jujuran”. Juga pada masa itu telah dibentuk suatu divisi wanita yang diberi nama divisi “keumala cahaya.” kemudian, Taj’al-Alam adalah penggemar olahraga.

Dr. J. Jakobs yang mengupas persoalan wanita Aceh, mengmukakan bahwa wanita memimpin bukanlah perseolan aneh. Katanya : “Tijdens onze expeditie naam samalanga had aldaar eene vrouw met naam pocut maligai als regentens de teugels van het bewind in handen en wist haar gezag met kracht te handhaven zij dreigde toentertijds iedereen werrbaren man met straf van ontmanning, wanneer hij in den oorlog zijne plicht als landverdediger mocht verzaken”. (bahasa Belanda)

Jacobs meneceritakan bahwa keurutu sudah pernah seorang wanita menjadi hulu balang, yakni Cut Nya’ Kerti. Demikian pula, Cut Nyak Fatimah di salah satu mukim di Aceh Barat. Jacobs mengatakan bahwa keberhasilan pemerintahan yang dipimpin oleh wanita di Aceh selama lebih setengah abad telah mendorong penulis bernama ploss menyatakan dalam risalahnya, “Das Weiss in des Natuur-und Volkenkunde, II,” halaman 444, untuk mengatakan, bahwa “Aceh telah menjadi contoh bagaimana di kepulauan Indonesia pun wanita sewaktu-waktu bisa menjadi pengaruh dibidang politi.” “Das markwiirdigste Beispiel von Frauenregierung biete des reich Atjeh auf Sumatra.

Tenntu saja pengaruh terkemukan yang dapt diperebut oleh wanita di masyarakat bergantung sekali hasil peranan yang dijalankannnya, terutaama yang sudah jelas tentunya adalah kesanggupan dan keberanian berkelahi atau berperang. Jika kesanggupan dan keberanian itu ada,apalagi mengagumkan, maka wanita akan mendapat tempat tidak kalah bahkan bisa lebih dari laki-laki. Sedikit banyak agaknya terasa jug didalam masyarakat Aceh bahwa wanita merupakan faktor yang kadang-kadang tidak bolehdiabaikan. Itulah pula sebab banyak daerak dikenal apa yang disebut Ada “ganti tikar” atau diAceh dikenal “metukar bantai, ” yaitu adik atau abang dari seorang suami yang meninggal menggantikan adik atau abangnya mengawini sang janda. Bukan saja maksudnya supaya harta peninggalan tidakjatuh ke tangan orang lain, tapi juga untuk mepertahankan pengaruh yang sudah tertanam didalam mesyarakat berkat peranan wanita tersebut.

“Pada suatu kali Galdorp bersamatiga buah brigadenya pernah menyergap tempat persembnyian lawan yang terdiri dari empat orang pria bersama isteri-isteri mereka.  Laki-laki itu segera dapat ditewaskan. Dan pada waktu orang menyangka, bahwa perseolannya sudah selesai. Akan tetapi, wanita-wanita itu mengambil senjata-senjata suami mereka lalu menyerang pasukan; merek bertembur selama nyawa ada di badan.

Dalam banyak tulisan yang dibuat olen penulis asing dan Indonesia sendiri, rencong merupakan senjata andalam masyarakat Aceh dalam menghadapi musuh. Banyak para pejuang Aceh yang hanya bermodalkan senjata rencong untuk menerobos benteng musuh.

Selain untuk menyerang, rencong juga biasa digunakan untuk membela diri, untuk kepentingan berperang, untuk berburu hewan/binatang. Asal usul rencong kapan mula dibuat oleh orang Aceh itu tidak begitu jelas. 

Sumber : Berbagai refernsi
Read more ...

Selasa, 03 Februari 2015

SIFAT ORANG ACEH





Ureung Aceh meunyoe hate’ hana teupe’h
Aneuk Kre’h jeuet taraba
Meunyeu hate’ ka taupe’h
Bu leube’h han dipeutaba

# Ureung Aceh meunyoe hate’ hana teupe’h (Orang Aceh bila hati tidak tersinggung)
Maksudnya sebagai peringatan, bahwa orang Aceh bersifat baik, tidak mau menyinggung orang lain. Orang Aceh ingin berbaik-baik di dalam kehidupan masyarakat secara bersama.

# Aneuk Kre’h jeuet taraba (Alat vitalnya boleh diraba atau dipegang)
Maksudnya adalah bahawa orang Aceh dalam bergaul sangat sederhana dan tidak tertutup. Apabila hati atau perasaannya tidak tersinggung, maka sampai alat vitalnyapun dapat dipegang atau dirama dia tidak akan marah.

# Meunyeu hate’ ka taupe’h (apabila hati atau perasaan sudah tersinggung/luka)
Bahwa orang Aceh apabila hatinya tersinggung atau perasaan luka akibat oleh hal tertentu maka akan ada akibatnya. Oleh karena itu jangan sekali-kali singgung atau lukai hati masyarakat Aceh. Karena itu sangat sensitif bagi Bangsa Aceh.

# Bu leube’h han di peutaba (Nasi lebih tidak ditawarkan)
Orang Aceh itu apabila hati dan perasaanya disinggung dan dilukai, nasi yang sisapun tidak akan ditawarkan pada orang yang melukai hatinya itu.

            Jadi sifatnya orang Aceh sangat mudah dan terbuka dalam pergaulan sehari-hari dengan siapa saja, asal jangan dilukai hatinya dan jangan singgung perasaannya, jangan mempermalukan mereka.
Sumber : Umar. Muhammad, Darah dan Jiwa Aceh, CV. Boebon Jaya, Banda Aceh, 2008.



Read more ...

Siapa Snouck Hurgronje ?





Nama samarannya adalah Abdul al-Ghaffar seorang ahli ilmu pengetahuan, tetapi hanyalah seorang mata-mata.

Abdul Ghaffar, nama samaran sarjana BelandaProf. DR. C. Snouck Hurgronje, ketika ia menyamar sebagai seorang muslim mengadakan penelitian di Jeddah dan Mekkah (1884-1885), pengetahuan Snouck Hurgronje itu kemudian digunakan untuk dan sebagai landasan untuk politik pemerintaahan belanda menindas pergerakan kebangsaan Indonesia khususnya dalam penyerangan Aceh yang berdasarkan ajaran Islam seperti Perang Aceh dan Serekat Islam. 


Penyelidikan di Mekkah ternyata nanti akan sangat membantu dalam penyusunan laporannya tentang Aceh, suatu karangan yang kemudian diperluas yang menjadi buku “De Atjehers” terbit dalam dua jilid. Walaupun dipersoalkan oleh VK (Van Koningsveld), dalam jilid kedua S.H. tidak menyebutkan sumber dari datanya.
Dalam laporan Aceh ini S.H. menyanjurkan suatu cara politik kepada Pemerintah Kolonial Belanda untuk menghajar tanpa ampun terhadap Bangsa Aceh.
Hal ini sesuai dengan pendiriannya yang cukup terkenal Snouck Horgrunje adalah selama para pemuka agama tidak berpolitik, maka perlu dibiarkan artinya tidak perlu dibinasakan atau dihancurkan . akan tetapi kalau melancarkan gerakan politik oleh pemuka agama, maka harus dihancurkan secara tanpa ampun, maka tidak mengherankan apabila Snouck Hurgroje di Timur Tengah dikenal sebagai beststrijdervan de Islam (yang memerangi).


Dr. Snouck hurgroje, seorang orientalis besar pada zamannya, oleh kebanyakan orang Indonesia, Snouck Hurgroje dianggap sebagai kaki tangan Pemerintah Kolonial Belanda atau kaum Imperialis; alat kaum penjajah; sehingga segala ulah dan sikapnya dianggap sangat menguntungkan Kolonialis Belanda semata. Dan S.H seorang sarjana yang besar, namun juga dipenuhi oleh keanehan-keaneha tertentu.
Sumber : Snouck Hurgroje, Aceh Di Mata Kolonialis, Yayasan Soko Guru, Jakarta,1985.
Read more ...
Designed By