Breaking News

Blogger Template

Rabu, 29 Mei 2013

Pelanggaran HAM di Aceh Oleh pihak serdadu Indonesia

Tragedi Simpang KKA, Aceh Utara



Tragedi Simpang KKA, juga dikenal dengan nama Insiden Dewantara atau Tragedi Krueng Geukueh, adalah sebuah peristiwa yang berlangsung saat konflik Aceh pada tanggal 3 Mei 1999 di Kecamatan Dewantara, Aceh. Saat itu, pasukan militer Indonesia menembaki kerumunan warga yang sedang berunjuk rasa memprotes insiden penembakan sebelumnya tanggal 30 April di Cot Murong, Lhokseumawe. Simpang KKA adalah sebuah persimpangan jalan dekat pabrik PT Kertas Kraft Aceh di Kecamatan Dewantara, Aceh Utara. Insiden ini terus diperingati masyarakat setempat setiap tahunnya.

 Senin pagi, 3 mei 1999.

Tepat pada pukul 09.00 WIB, 4 truk pasukan TNI datang lagi memasuki Desa Lancang Barat, desa tentangga Cot Murong. Massa rakyat yang berkumpul merasa cemas dan mulai mempersenjatai diri dengan kayu dan parang (tanpa senjata api). Lalu datang Camat Dewantara, Drs. Marzuki Amin ke Simpang KKA dan mulai melakukan negosiasi dengan aparat TNI. Aparat berkeras dan negosiasi mentok. Camat tetap berpegang kepada perjanjian terdahulu yang telah disepakati oleh masyarakat dengan Koramil Dewantara yang intinya pihak TNI tidak lagi melakukan kegiatan operasi di daerah mereka. Negosiasi itu beralangsung cukup lama. Waktu sudaah menunjukkan hampir jam 12.00 WIB.

Untuk menunjukkan kesungguhan hati dan permohonan yang sangat besar agar pasukan segera ditarik dan pihak TNI menghormati perjanjian yang telah dibuat, Camat Marzuki Amin sempat mencopot tanda jabatan dari dadanya. Tetapi malah sang Camat kemudian dipukuli oleh tentara.

Pada saat itu tiba-tiba satu truk milik TNI bergerak dan sambil berlalu, dari atas truk para tentara melempari batu ke arah masyarakat, dan masyarakat yang terpancing balas melempari batu ke atas truk. Pada saat yang hampir bersamaan juga seorang anggota tentara berlari kearah semak-semak dan masyarakat yang terpancing mengejarnya. Tiba-tiba dari arah semak itu terdengar satu letusan senjata. Letusan senjata itulah yang seperti sebuah "komando" disusul oleh rentetan serangan. Pembantaian segera dimulai. Tepat jam 12.30 WIB.
Saat Kejadian.

Pukul 12.30 WIB, Suara gemuruh dan teriakan manusia memenuhi Simpang KKA. Ribuan orang berlarian menghindari serangan dari TNI. Dua wartawan RCTI (Umar HN dan Said Kaban) yang kebetulan sudah berada di tempat itu sempat merekam moment-moment penting yang terjadi baik dengan foto atau video. Dapat dikatakan, hasil rekamannya itu menjadi salah-satu bukti yang paling akurat dan tidak mungkin dapat dipungkiri tentang bagaimana peristiwa yang sebenarnya.
Tembakan yang dilakukan tanpa peringatan terlebih dahulu dan dengan posisi siap tempur. Tentara yang dibagian depan jongkok dan yang berada pada barisan belakang berdiri. Selain itu, tentara yang berada di atas truk juga terus melakukan tembakan sambil melakukan gerakan-gerakan tempur. Saat itu penduduk yang tidak lagi sempat lari melakukan tiarap tapi terus diberondong.

Selain melakukan tembakan kearah masa, TNI juga mengarahkan tembakan ke rumah-rumah penduduk, sehingga banyak warga yang sedang di dalam rumah juga menjadi korban. Bahkan mereka mengejar dan memasuki rumah-rumah penduduk dan melakukan pembantaian di sana.

Ketika melakukan tembakan para anggota tentara itu juga berteriak-teriak. Kalimat yang paling sering diucapkan adalah "Akan kubunuh semua orang Aceh". Dalam aksi pembantaian tersebut, 45 jiwa Tewas di tempat, 156 lainnya Luka-luka kebanyakan karena luka tembak, dan 10 diantaranya Hilang sampai saat ini tidak tahu keberadaannya. Banyak penduduk yang sudah tertembak dan tidak bisa lari lagi masih terus diberondong oleh tentara dari belakang. Mereka benar-benar melakukan pembantaian seperti sebuah pesta.

Sumber: Koalisi NGO HAM Aceh - Atjeh Cyber Warrior

Read more ...

Sabtu, 25 Mei 2013

KERAJAAN ACEH


Susunan pemerintah pusat kerajaan Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda terdiri atas 24 lembaga atau jabatan.
Nama Lembaga tersebut adalah:
 
1. Keurukun Khatibul Muluk ( Sektaris Raja)
2. Rais Wazirat addaulah (Perdana Menteri)
3. Wazirat addaulah (Menteri Negara)
4. Wazirat al akdham (Menteri Agung)
5. Wazirat al Harbiyyah (Menteri Peperangan)
6. Wazirat al Haqqamiyyah (Menteri Kehakiman)
7. Wazirat ad Daraham (Menteri Keuangan)
8. Wazirat al Mizan (Menteri keadilan)
9. Wazirat al Maarif (Menteri Luar Negeri)
10. Wazirat al kharijiyah ( menteri luar negeri)
11. Wazirat addakhiliyah (Menteri dalam Negeri)
12. Wazirat al auqaf ( Menteri urusan waqaf)
13. Wazirat azziaarah (Menteri Pertanian)
14. Wazirat al Maliyyah (Menteri Urusan Harta)
15. Wazirat al muwashalat (Menteri Perhubungan)
16. Wazirat al asighal (Menteri Urusan Kerja)
17. As Syaikh Al Islam Mufti (Empat Syaikh Ka’bah)
18. Qadli al Malik al adil ( Kadhi raja yang adil)
19. Wazir Tahakkum muharrijlailan (Ketua pengurus kesenian)
20. Qadhi mualdlam (Jaksa Agung)
21. Imam Bandar Darul Makmur Darussalam
22. Keuchik Muluk (Keuchik Raja)
23. Imam Muluk (Imam Raja)
24. Panglima khanduri Muluk ( ketua penyelenggaraan Khanduri raja)

****Naskah ‘’kanun Meukuta Alam sultan Iskandar Muda””hal,,75


Read more ...

Selasa, 21 Mei 2013

HIKAYAT PERANG SABI YANG DI TAKUTI DUNIA

Hikayat Prang Sabi adalah sebuah hikayat yang diciptakan atau dikarang oleh Tgk Chik Pante Kulu yang merupakan sebuah syair kepahlawanan yang membentuk suatu irama dan nada yang sangat heroik yang membangkitkan semangat para pejuang Aceh dari zaman penjajahan portugis sampai zaman penjajahan Belanda.


Hikayat Prang Sabi adalah salah satu inspirator besar dalam menentukan perjuangan rakyat Aceh. Memang sejak dulu bangsa Aceh sangat akrab dengan syair-syair perjuangan Islam, sajak-sajak akan sebuah hakikat keadilan. Hikayat ini selalu diperdengarkan ke setiap telinga anak-anak aceh, laki-laki, perempuan, tua muda, besar kecil dari zaman ke zaman dalam sejarah Aceh Sepanjang Abad.


Kalau kita belajar dari sejarah, maka Aceh lah negeri yang paling ditakuti oleh Portugis dan sulit untuk ditaklukkan oleh Belanda sejak tahun 1873 serta Jepang. Beribu macam taktik perang yang digunakan oleh para penjajah tetapi tidak dapat menguasai Aceh yang unggul dengan taktik perang gerilyanya. Sejarah mencatat bahwa perang kolonial di Aceh adalah yang paling alot, paling lama, dan paling banyak memakan biaya perang dan korban jiwa penjajah.


Pengaruh hikayat perang sabil hasil karangannya, telah mampu membangkitkan semangat jihad siapa saja yang membaca ataupun mendengarnya untuk terjun ke medan perang melawan penjajahan Belanda ketika itu. Sehingga Zentgraf dalam bukunya “Aceh” (1983) menulis banyak pemuda yang memantapkan langkahnya ke medan perang Aceh melawan Belanda karena pengaruh buku hikayat perang sabil yang sengaja ditulis seorang ulama besar Aceh bernama Tgk. Muhammad Pante Kulu.


Menurut Zentgraf, hikayat perang sabil karangan ulama Pante Kulu telah menjadi momok yang sangat ditakuti oleh Belanda, sehingga siapa saja yang diketahui menyimpan-apalagi membaca hikayat perang sabil itu mereka akan mendapatkan hukuman dari pemerintah Hindia Belanda dengan membuangnya ke Papua atau Nusa Kembangan. Sarjana Belanda ini menyimpulkan, bahwa belum pernah ada karya sastra di dunia yang mampu membakar emosional manusia untuk rela berperang dan siap mati, kecuali hikayat perang sabil karya Pante Kulu dari Aceh. Kalau pun ada karya sastrawan Perancis La Marseillaise dalam masa Revolusi Perancis, dan karya Common Sense dalam masa perang kemerdekaan Amerika, namun kedua karya sastra itu tidak sebesar pengaruh hikayat perang sabil yang dihasilkan Muhammad Pante Kulu.



Itu sebabnya, Ali Hasjmy menilai bahwa hikayat perang sabil yang ditulis Tgk. Chik Pante Kulu telah berhasil menjadi karya sastra puisi terbesar di dunia. Menurut Hasjmy, pengaruh syair hikayat perang sabil sama halnya dengan pengaruh syair-syair perang yang ditulis oleh Hasan bin Sabit dalam mengobarkan semangat jihad umat Islam di zaman Rasulullah. Atau paling tidak, hikayat perang sabil karya Chik Pante Kulu dapat disamakan dengan illias dan Odyssea dalam kesusastraan epos karya pujangga Homerus di zaman “Epic Era” Yunany sekitar tahun 700-900 sebelum Mesehi.


Mengapa hikayat perang sabil begitu berpengaruh dalam membangkitkan semangat jihat perang orang Aceh melawan Belanda. Menurut telaahan, hikayat perang sabil yang ditulis Chik Pente Kulu ini terdiri dari empat bagian (cerita). Pertama, mengisahkan tentang Ainul Mardhiah, sosok bidadari dari syurga yang menanti jodohnya orang-orang syahid yang berperang di jalan Allah. Kedua, mengisahkan pahala syahid bagi orang-orang yang tewas dalam perang sabil. Ketiga, mengisahkan tentang Said Salamy, seorang Habsi berkulit hitam dan buruk rupa. Keempat, menceritakan tentang kisah Muda Belia yang sangat mempengaruhi jiwa para pemuda untuk berjihat di medan perang melawan kezaliman penjajahan Belanda.


Ada dua Versi pendapat tentang Tgk. Chik Pente Kulu dalam mengarang hikayat perang sabil ini. Sebagian mengatakan, hikayat perang sabil ini dikarang Chik Pante Kulu ketika beliau dalam perjalanan pulang dari Mekkah ke Aceh. Berarti hikayat perang sabil ditulis Chik Pante Kulu di atas kapal selama dalam pelayarannya dari Arab ke Aceh. Pendapat lain mengatakan, hikayat perang sabil ini ditulis Chik Pante Kulu adalah atas suruhan Tgk. Chik Abdul Wahab Tanoh Abee yang lebih dikenal Tgk. Chik Tanoh Abee.


Karena, pada waktu Tgk. Muhammad Saman Ditiro meminta izin pada Tgk. Chik Tanoh Abee untuk berperang melawan Belanda. Maka saat itu Tgk. Chik Tanoh Abee menanyakan pada Tgk. Chik Ditiro: “Soe yang muprang dan soe yang taprang?”. Chik Ditiro menjawab: “Yang muprang Muhammad Saman, yang taprang kafe Belanda”. Menurut hikayat marga tanoh abee, sekiranya waktu itu Chik Ditiro menjawab, yang muprang ureung Islam, yang taprang Belanda. Kemungkinan Tgk. Chik Tanoh Abee tidak merestui Chik Ditiro untuk berperang, karena kalau orang Islam yang berperang, karena di kalangan orang Islam sendiri masih banyak yang harus diperangi, yaitu orang-orang yang bukan Islam sejati.


Tetapi karena jawaban Tgk. Chik Ditiro: yang muprang Muhammad Saman dan yang taprang kafe Belanda, maka Tgk. Chik Tanoh Abee merestui Tgk. Chik Ditiro menggerakkan peperangan untuk melawan Belanda. Dalam mendukung gerakan perang ini Tgk. Chik Tanoh Abee mengarang khusus hikayat perang sabil dalam bahasa Arab untuk pimpinan-pimpinan perang. Sedangkan untuk lasykar perang hikayat perang sabilnya dikarang oleh Tgk. Chik Pante Kulu dalam huruf Jawi berhasa Aceh, yang kemudian hikayat perang sabil karangan Tgk. Chik Pante Kulu ini membawa pengaruh luar biasa dalam membangkitkan semangat jihad lasykar Aceh berperang melawan Belanda.



Salah satu bagian paling penting dari Hikayat Prang Sabi adalah pendahuluan atau mukadimah. Bagian yang juga berbentuk syair ini menunjukkan secara jelas tujuan ditulisnya Hikayat Prang Sabi, dalam hubungannya dengan perang melawan Belanda. Setelah diawali dengan puji-pujian kepada Allah pencipta semesta alam, syair-syair pada mukadimah berlanjut pada seruan untuk perang Sabil. Juga disebutkan satu pahala yang dapat diperoleh bagi mereka yang berjihad dalam perang Sabil (jalan Allah-Red). Salah satu pahala yang akan diterima mereka yang mati syahid dalam perang tersebut adalah akan bertemu dengan dara-dara dari surga ( Bidadari ).


HIKAYAT PRANG SABI


Salam alaikom walaikom teungku meutuah
Katrok neulangkah neulangkah neuwo bak kamoe
Amanah nabi...ya nabi hana meu ubah-meu ubah
Syuruga indah...ya Allah pahala prang sabi....


Ureueng syahid la syahid bek ta khun matee
Beuthat beutan lee...ya Allah nyawoung lam badan
Ban saree keunueng la keunueng senjata kafee la kafee
Keunan datang...ya Allah pemuda seudang...


Djimat kipah la kipah saboh bak jaroe
Jipreh judo woe ya Allah dalam prang sabi
Gugor disinan-disinan neuba u dalam-u dalam
Neupuduk sajan ya Allah ateuh kurusi...



Ija puteh la puteh geusampoh darah
Ija mirah...ya Allah geusampoh gaki
Rupa geuh puteh la puteh sang sang buleuen trang di awan
Wat tapandang...ya Allah seunang lam hatee...


Darah nyang ha-nyi nyang ha-nyi gadoh di badan
Geuganto le tuhan...ya Allah deungan kasturi
Di kamoe Aceh la Aceh darah peujuang-peujuang
Neubi beu mayang...ya Allah Aceh mulia...


Subhanallah wahdahu wabi hamdihi
Khalikul badri wa laili adza wa jalla
Ulon peujoe Poe sidroe Poe syukoe keu rabbi ya aini
Keu kamoe neubri beu suci Aceh mulia...


Tajak prang meusoh beureuntoh dum sitre nabi
Yang meu ungkhi ke rabbi keu poe yang esa
Soe nyang hantem prang chit malang ceulaka tubuh rugoe roh
Syuruga tan roeh rugoe roh bala neuraka...



Soe-soe nyang tem prang cit meunang meutuwah teuboh
Syuruga that roeh nyang leusoeh neubri keugata
Lindong gata sigala nyang muhajidin mursalin
Jeut-jeut mukim ikeulim Aceh mulia...


Nyang meubahagia seujahtera syahid dalam prang
Allah peulang dendayang budiadari
Oeh kasiwa-sirawa syahid dalam prang dan seunang
Dji peurap rijang peutamông syuruga tinggi...


Budiyadari meuriti di dong dji pandang
Di cut abang jak meucang dalam prang sabi
Oh ka judo teungku syahid dalam prang dan seunang
Dji peurap rijang peutamong syuruga tinggi...


Tidak mengherankan, Sehingga kemudian penyair Taufik Ismail mengabadikan kehebatan hikayat perang sabil karya Tgk. Chik Pante Kulu ini dalam sebuah syair panjangnya berjudul : “Teringat Hamba Pada Syuhada Kita Dihari Kemerdekaan, Musim Haji 1406 H”. Taufik bersyair:…

Nampakkah olehmu puisi itu?
Diserahkan kepada Teungku Chik Ditiro
Di sebuah desa di dekat Sigli
Dan puisi itu berubah menjadi sejuta Rencong...

Terdengarkah olehmu?
Merdunya Al Furqan dinyanyikan
Kemudian puisi perang sabi dibacakan
Yang mendidih darah memanggang udara
Menjelang setiap pasukan terlibat pertempuran
Mengibarkan Panji fi-sabilillah…

Hamba menulis puisi juga
Tapi betapa kurus puisi hamba
Kurang sikap ikhlas hamba
Banyak ria dan ingin tepuk tangan...
Apalah artinya dibandingkan puisi Perang sabi Muhammad Pante Kulu ...


Allah, berkahi penyair abad sembilan belas ini
Beri dia firdaus seluas langit bumi…


Begitu hebatnya Tgk. Chik Pante Kulu di mata penyair Taufik Ismail. Sampai-sampai Taufik menilai puisi-puisi yang ditulisnya selama ini belum memiliki arti apa-apa dibandingkan kebesaran syair hikayat perang sabil yang ditulis Tgk. Chik Pante Kulu. Ulama dan pujanggawan kelahiran 1836 M di Desa Pante Kulu, Kemukiman Titeue, Kota Bakti, Pidie ini, telah lama meninggalkan kita. Namun hikayat perang sabil yang ditinggalkan tetap hidup di jiwa orang yang memang Aceh sebagai hasil karya sastra terbesar yang diakui dunia pada zamannya.

TOLONG SEBARKAN SEBANYAK BANYAK NYA DEMI GENERASI SESUDAH KITA NANTI.
Read more ...

Sabtu, 18 Mei 2013

Laksamana Keumala Hayati


 lebih 400 tahun lalu, Aceh melahirkan seorang perempuan perkasa dan bijaksana. Sampai kini dalam sejarah bumi belum ada seorang anak manusia berjenis kelamin perempuan pun yang bisa sehebatnya. Gubernur Aceh sebaiknya segera melaksanakan konferensi internasional untuk menyatakan ini pada dunia. Konferensi tersebut menghadirkan para pakar sejarah tentang kepemimpinan perempuan-perempuan sepanjang zaman.

Perempuan ini adalah Laksamana Keumala Hayati atau Po Cut Nyak Laksamana Keumala Hayati. Dia  seorang perempuan pertama di dunia yang berpangkat laksamana penuh, pembesar Kesultanan Aceh Darussalam. Saat itu orang Eropa masih memandang rendah kaum perempuan. Jika kini persetaraan gender dikampanyekan orang Barat di Aceh, maka itu bermakna dalam hal ini peradaban mereka tertinggal sejauh lebih 400 tahun di belakang Aceh.

Laksamana Keumala Hayati adalah cucu pendiri Kesultanan Aceh Darussalam Sultan Ali Mughayatsyah. Ayahnya petinggi tentara laut yang syahid saat berperang melawan pasukan Portugis. Perempuan yang suaminya syahid saat menghadapi musuh yang sama di Semenanjung Malaka ini adalah admiral utama lulusan Ma’had Baitil Maqdis.

Ma’had Baitil Maqdis adalah universitas kemiliteran terbesar di Asia Tenggara saat itu yang dibangun oleh Kesultanan Aceh Darussalam bekerja sama dengan Khalifah Turki Usmani pada masa Sultan II Selim. Itu dibangun setelah tibanya rombongan besar utusan Turki dibantu oleh kafilah Aden, Hadramaut, Yaman dan Mekkah yang berlayar ke Aceh dengan 70 kapal besar.

Rombongan itu menyertakan 300 ahli perang dan ahli senjata, karena Sultan II Selim memenuhi permintaan Duta Besar Aceh Darussalam Panglima Nyak Dum yang diutus Sultan Aceh Darussalam. Peristiwa kedatangan duta besar Aceh ke Turki ini dikenal dengan Lada Sicupak.

Selain menguasai bahasa ibunya bahasa Aceh dan Melayu, Po Cut Nyak Laksamana Keumala Hayati fasih berbicara dan menulis dalam bahasa Arab, Turki, Inggris, Perancis dan Spanyol. Ia memikul tanggung jawab memimpin 60.000 marinir dan 400 kapal perang saat menjaga Kedaulatan Aceh Daussalam yang saat itu terganggu oleh armada laut koalisi Eropa pimpinan Portugis di perairan Selat Malaka. Ia yang meminta Tuha Peuet Kesultanan Aceh Darussalam untuk memakzulkan Sultan Ali Riayat Syah yang  tak berbakat dan mengangkat Darmawangsa untuk menjadi Sultan Aceh Darussalam yang kemudian bergelar Sultan Iskandar Muda Perkasa Alam  (1607-1636 M).

Selama ini kita kenal Po Cut Nyak Laksamana Keumala Hayati sebagai seorang laksamana perang. Kehebatannya yang paling banyak disebut adalah kemampuan menyusun strategi dan memimpin pasukan perang yang hampir tidak bisa dibandingkan dengan panglima perang atau laksamana lelaki manapun dari negara di dunia saat itu.

Namun masih banyak data tentang kelebihan Laksamana Keumala Hayati belum dikabarkan. Bukankah ia adalah guru hebat serta kawan yang amat baik bagi semua temannya. Perempuan tangguh ini lahir dalam kapal laut, dan wafat dalam usia tua di atas geladak kapal laut, di pangkuan Sultan Iskandar Muda.

Po Cut Nyak Laksamana Keumala Hayati berhasil menciptakan tokoh besar Sultan Iskandar Muda. Sayangnya, Iskandar Muda tidak sempat menyiapkan generasi penerus sehebat dirinya, bahkan anaknya sendiri ia bunuh. Beberapa fakta sejarah menyimpulkan pembunuhan Meurah Pupok oleh Sultan Iskandar Muda merupakan hasil fitnah dari konspirasi beberapa pihak luar Aceh di Istana Daruddunya.

Ini berarti Sultan Iskandar Muda yang agung berhasil menghancurkan musuh di luar negeri, tapi tidak berhasil mengalahkan musuh di istananya sendiri. Sejarah membuktikan bahwa setiap campur tangan orang luar Aceh seperti orang Arab, India, dan lainnya,  kesultanan yang dibangun atas dasar persaudaraan ini selalu kacau. Hanya bangsa bijak yang majemuk dan memandang setingkat semua suku bangsa dan ras saja yang mampu memimpin Aceh.

Saat itu dunia dipimpin oleh Kekhalifahan Turki Usmani dengan bentuk persekutuan sederajat. Kesultanan Aceh Darussalam merupakan sekutu terbesar Turki Usmani di Asia Tenggara dengan diberi hak mengibarkan bendera kekhalifahan saat menghalau penguasaan Asia Tenggara oleh pasukan Persekutuan Kristen Eropa pimpinan Portugis. Bendera yang berwarna dasar merah pekat tersebut akhirnya jadi bendera resmi Kesultanan Aceh Darussalam. Bendera tersebut kemudian ditambah garis hitam putih oleh Hasan Tiro saat menyatakan Gerakan Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976.

Sampai kini di Istanbul, tamu-tamu dari Aceh dihormati dengan baik. Kota inilah ibukota Turki masa Kekhalifahan Usmani selama ratusan tahun yang wilayahnya masuk ke Benua Eropa dipisahi oleh Selat Bosporus dengan benua Asia. Penjaga tempat bersejarah di sana selalu bisa menunjukkan “di sinilah Sultan II Selim duduk saat mengeluarkan perintah untuk mengirim para ahli perang dan ahli pembuat senjata menuju Kesultanan Aceh Darussalam.”

Inilah sejarah yang mengajarkan pada kita tentang bagaimana cara hidup dalam dunia yang tidak pernah nyaman. Masa lalu sebagai tempat berpijak, masa kini sebagai kendaraan menuju masa depan. Po Cut Nyak Laksamana Keumala Hayati telah mencetak tapak peradaban yang membuat Aceh mampu mempertahankan dirinya menghadapi serangan dari luar Sumatera, terutama Portugis dari Eropa Selatan dan sekutunya.

Orang-orang Aceh, terutama tokoh masyarakat, pemerintah, dan budayawan diharapkan mampu mengangkat nama Laksamana Keumala Hayati ke muka dalam peradaban Aceh sekarang. Kita sebaiknya belajar dari semangat dan filosofi hidup perempuan perkasa ini sebagai manusia merdeka. Perempuan yang melegenda di seluruh dunia ini sebaiknya dijadikan ikon kebangkitan Aceh. Tidak cukup dengan nama pelabuhan, nama jalan, nama kelompok militer,  Po Cut Nyak Laksamana Keumala Hayati seharusnya juga dijadikan teladan di Aceh dan di negeri lain.

Tulisan-tulisan bangsa luar di masa silam tentang perempuan Aceh seperti Laksamana Keumala Hayati, Ratu Safiatuddin, Ratu Keumalatsyah, Ratu Nahrisyah, dan lain-lain disederajatkan dengan tokoh-tokoh perempuan yang membentuk peradaban di dunia, seperti Semiramis, ratu Mesir di masa silam.

Jika  di masa kini belum ada tokoh kharismatik yang membuat jutaan rakyat Aceh mengikutinya dengan tulus karena mampu menjadi Bapak dari semua golongan, maka ada baiknya kita menilik ke masa silam untuk belajar bahwa di masa lalu  Aceh telah maju. Aceh harus pulang ke masa silam untuk bisa mencapai masa depannya. Kita tertinggal ratusan tahun dari indatu kita sendiri yang hidup di masa lalu. Peradaban yang dibangun oleh mereka kini dipakai di negara lain yang karenanya peradaban mereka lebih bermoral dan maju.

Para pembantah masa silam adalah orang-orang yang tidak percaya diri menghadapi masa kini, tapi para pemuja masa silam tanpa melakukan apa pun di masa sekarang, lebih tidak percaya diri lagi. Orang-orang yang hanya bermimpi untuk masa depan tanpa melakukan langkah nyata untuk mencapainya adalah penghayal. Maka, masa silam adalah tempat berpijak untuk bertindak di masa kini menuju masa depan yang gemilang.

Ke manakah para pencinta dan pakar sejarah di Aceh. Mengapa hari kebesaran Laksamana Keumala Hayati belum pernah diperingati. Jika kini tidak ada Bapak pemersatu Aceh, mengapa Po Cut Nyak Laksamana Keumala Hayati belum kita jadikan Ibu kita seluruh orang Aceh. Pemimpin dan orang Aceh sebaiknya segera mengambil makna dari peristiwa dan tokoh dalam sejarah, supaya dalam menghadapi zaman yang mendua ini hari-hari kita akan bertahan dan menang kembali.

* Thayeb Sulaiman, aktivis Kebudayaan di Pusat Kebudayaan Aceh Turki (PuKAT)
Editor : bakri
 
#Serambi Indonesia

Read more ...

Jumat, 17 Mei 2013

Tragedi PEMBANTAIAN BEGUNDAL JAWA TERHADAP BANGSA ACEH DI Jambo Keupok, 10 Tahun tanpa Keadilan


Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak Komnas HAM untuk segera melakukan penyelidikan pro justisia terhadap peristiwa tragedi Jambo Keupok, Aceh Selatan dan mendorong Pemerintah Aceh bersama Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

Tragedi Jambo Keupok pada 17 Mei 2003 adalah sebuah peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi di Desa Jambo Keupok, Kecamatan Kota Bahagia, Aceh Selatan. Sebanyak 16 orang penduduk sipil tak berdosa mengalami penyiksaan, penembakan, pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing) dan pembakaran serta 5 orang lainnya turut mengalami kekerasan oleh anggota TNI Para Komando (PARAKO) dan Satuan Gabungan Intelijen (SGI).

Peristiwa ini diawali setelah sebelumnya ada informasi dari seorang informan (cuak) kepada anggota TNI bahwa pada tahun 2001-2002, Desa Jambo Keupok termasuk salah satu daerah basis Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Informasi tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh aparat keamanan dengan melakukan razia dan menyisir kampung-kampung yang berada di Kecamatan Bakongan. Dalam operasinya, aparat keamanan sering melakukan tindak kekerasan terhadap penduduk sipil; seperti penangkapan, penghilangan orang secara paksa, penyiksaan dan perampasan harta benda.

Puncaknya adalah ketika pada 17 Mei 2003, sekitar pukul 7 pagi, sebanyak 3 (tiga) truk reo berisikan ratusan pasukan berseragam militer dengan memakai topi baja, sepatu lars, membawa senjata laras panjang dan beberapa pucuk senapan mesin mendatangi desa Jambo Keupok dan memaksa seluruh pemilik rumah untuk keluar. Lelaki, perempuan, tua, muda, dan anak-anak semua disuruh keluar dan dikumpukan di depan rumah seorang warga.

Para pelaku yang diduga merupakan anggota TNI Para Komando (PARAKO) dan Satuan Gabungan Intelijen (SGI) menginterogasi warga satu persatu untuk menanyakan keberadaan orang-orang GAM yang mereka cari. Ketika warga menjawab tidak tahu, pelaku langsung memukul dan menendang warga.

Peristiwa tersebut mengakibatkan 4 warga sipil mati dengan cara disiksa dan ditembak, 12 warga sipil mati dengan cara disiksa, ditembak, dan dibakar hidup-hidup, 3 rumah warga dibakar, 1 orang perempuan terluka dan pingsan terkena serpihan senjata, 4 orang perempuan ditendang dan dipopor dengan senjata. Peristiwa ini juga membuat warga harus mengungsi selama 44 hari ke sebuah Mesjid karena takut anggota TNI akan kembali datang ke desa Jambo Keupok.

10 tahun sudah, warga Jambo Kepuok tidak memperoleh keadilan dari negara. Bahkan mereka hingga saat ini masih mengalami trauma. Banyak anak-anak korban yang tidak mampu melanjutkan pendidikan karena tidak memiliki biaya (berhenti pada SD, SLTP dan SLTA). Sementara, proses hukum terhadap para pelaku belum juga dilakukan.

Untuk itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak kepada komnas HAM agar segera melakukan penyelidikan terhadap peristiwa ini termasuk memeriksa para pelaku yang terlibat secara akuntabel dan transparan. Kami juga mendorong Pemerintah Aceh dan DPRA segera membahas dan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang merupakan amanat dari MoU Helsinki tahun 2005.

Demikian siaran pers yang diterima AtjehLINK, Jumat (17/5/2013) dari Haris Azhar, Koordinator Badan Pekerja KontraS.
Read more ...

Selasa, 14 Mei 2013

DUTA BANGSA ACEH .


Banyak cerita tentang orang Belanda yang datang ke berbagai pelosok Nusantara dan Dunia , seolah olah Bansa Aceh hanya bisa di datangi bukan mendatangi Belanda , bahkan sejak abad ke 17 .

Pendatang pertama yang tercatat ke negeri kincir angin itu adalah utusan dari Aceh yang terdiri dari Duta Besar Abdul Zamat , Laksamana Raja Seri Mohamat dan Meras San . Mereka menumpang kapal Zeelandia dan Langhe Barcke diiringi 5 orang pembantu dan seorang juru bahasa ( orang Luxemburg bernama Leonard Werner ) dan juga pedagang dari Arab .

Selama perjalanan , mereka menyaksikan model peradaban Barat dan sempat pula memperoleh gambaran tentang pergaulan Eropa zaman itu . Ketika sudah jauh meninggalkan Tanjung Harapan , di sekitar pulau Sint Helena , kedua kapal terlibat perang melawan kapal galiung musuh .
Sesudah 2 hari di kejar , kapal musuh itu berhasil di rampas . Duta Aceh nyaris celaka , namun akhirnya bisa selamat sampai tujuan pada akhir Juli 1602 .
Walaupun ketika itu Belanda tengah terlibat perang melawan Spanyol , kedatangan Utusan Aceh tetap di sambut dengan meriah , mereka di terima dengan segala kehormatan .

Pangeran Maurits bahkan mengirimkan kereta pribadinya yang di kawal prajurit penunggang kuda untuk menjemput perutusan .
Sesudah menikmati acara santap makan mereka di terima dalam suatu audensi yang di hadiri pejabat penting seperti , Mark Graaf Brandenburg-Aspach , Land-Graaf Philips van Hessen dan Lodewijk Gunther van Nassau .
Salah seorang hadirin , Fredrich Vervou , melukiskan penampilan perutusan itu : " Dilihat dari kulitnya orang orang ini seperti orang Moor kuning ; mereka mengenakan rok panjang sampai ke bawah lutut , dengan rok sutra putih di atas rok pertama , dan belati di pinggang .
Kepalanya terlilit kain katun , mirip karangan bunga yang membelit kepala , hingga nampak rambutnya menyembul di atas kain itu .

Kain itu tak di lepas dari kepala sebagaimana kita menggunakan topi kita , tapi untuk menghormat mereka lekapkan ke dua tangan dengan ibu jari di rapatkan , lalu tangan itu di angkat tinggi tinggi , makin tinggi tangan di angkat , di anggap makin tinggi pula kehormatan itu .
Orang orang Aceh itu juga di beri kesempatan menyaksikan adegan perang dari dekat . Mereka di antar berkeliling perkemahan , Seri Mohamat di beri kesempatan menembakkan dua peluru meriam ke arah kota , selain itu mereka juga mengunjungi ke jumlah kota di Belanda .

Dalam setiap perjalanannya mereka mengatakan kekaguman atas kebersihan , ketertiban , dan ketentraman tempat yang mereka kunjungi . Setelah 15 Bulan mereka tinggal di negeri Belanda , pada Desember 1603 para utusan Bansa Aceh itu akhirnya kembali ke Tanah Rencoeng dengan kapal Delf .

by:bandar khalifah
Read more ...

PELANGGARAN HAM Di ACEH GEMPARKAN WASHINGTON,DC

 TNI di depan gerbang Exxon Mobil
Washington, DC - Pada tahun 2000, TNI menahannya saat ia mengunjungi sebuah kamp pengungsi. Mereka menembaknya "di tiga tempat di kakinya," kemudian "menyiksanya selama beberapa jam." Para prajurit " memecahkan tempurung lutut-nya, menghancurkan tengkoraknya, dan menyundutnya dengan rokok." Setelah ia dibawa ke rumah sakit untuk diobati luka-lukanya, ia kembali ke penyiksanya, yang menahannya selama sekitar satu bulan dan "menyiksanya secara teratur."

Peristiwa ini terjadi di Provinsi Aceh, pada puncak perang sipil berdarah. Menurut pengaduan korban, penculiknya bukan sembarang tentara. Mereka adalah "personel keamanan ExxonMobil." Dan sekarang, lebih dari satu dekade kemudian, ExxonMobil telah diadili dalam gugatan hak asasi manusia.

Pada bulan Juni 2001, John Doe III dan 10 warga sipil di sekitar ladang gas ExxonMobil mengajukan gugatan terhadap ExxonMobil di pengadilan distrik federal Washington, DC. Dalam tuntutannya, masyarakat menuntut perusahaan bertanggung jawab atas keterlibatan dalam penyiksaan, penahanan sewenang-wenang, dan pembunuhan yang diduga dilakukan oleh tentara Indonesia yang disewa untuk keamanan ExxonMobil.

ExxonMobil bersikeras menyatakan diri tidak bersalah dalam kasus ini.

"Kami telah berjuang selama bertahun-tahun menyatakan klaim tak berdasar," kata juru bicara ExxonMobil, David Eglinton. Selama beroperasi di di Indonesia, ExxonMobil telah bekerja selama beberapa generasi untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui rekrutmen pekerja lokal, penyediaan layanan kesehatan dan investasi masyarakat luas. Perusahaan mengutuk keras pelanggaran HAM dalam bentuk apapun.

Namun dalam putusan 2008, hakim federal pengadilan distrik, Louis Oberdorfer memerintahkan Exxon untuk menghadapi persidangan. "Seorang pencari fakta yang wajar," tulis hakim, mengutip korespondensi internal dari Exxon dan anak perusahaannya di Indonesia, EMOI, "bisa menyimpulkan bahwa pasukan keamanan yang dibayar perusahaan melakukan tindakan kekerasan dan bahwa EMOI dan Exxon Mobil bertanggung jawab." Exxon mengajukan banding, namun panel pengadilan federal menguatkan putusan pada bulan Juli 2011.
Diharapkan pada awal Desember, putusan pengadilan hampir pasti menetapkan preseden- yang memungkinkan orang di seluruh dunia untuk menggugat perusahaan di pengadilan federal AS untuk pelanggaran seperti tenaga kerja budak, pembunuhan di luar hukum, dan penyiksaan, atau pemecatan. Lebih dari selusin kasus sejenis Tort melibatkan ratusan penggugat sudah pada tahap keputusan.

Terry Collingsworth, seorang pengacara hak asasi manusia yang awalnya mengajukan kasus Aceh dan tetap menjadi penasehat dalam kasus ExxonMobil menjelaskan karena mereka (ExxonMobile-red) melarang pelanggaran yang sama dalam kode mereka sendiri secara sukarela maka mereka juga harus siap untuk berdiri di pengadilan "dan bertanggung jawab atas pembunuhan dan penyiksaan."

Pada pagi hari tanggal 21 Maret 2001, bel pintu berbunyi di lantai sembilan gedung di Washington, DC, pada Forum International Labor Rights, sebuah kelompok advokasi bagi pekerja yang terkena dampak globalisasi ekonomi. Dari muka pintu seorang asing muda muncul berbicara tidak dalam bahasa Inggris tetapi bahasa Indonesia.

Namanya adalah Mohammed Saleh, dan dia adalah seorang aktivis mahasiswa yang mewakili sebuah kelompok hak asasi manusia yang kecil di Aceh, Indonesia. Pemerintah Indonesia memenjarakan pemimpin kelompok itu, Muhammad Nazar, untuk advokasi referendum kemerdekaan Aceh. Jadi Nazar mengatur Saleh ke Washington, DC, untuk memberitahu orang Amerika tentang krisis Aceh.


 Dua jenazah anggota GAM di Aceh Utara.

Salah satu staf Forum ini, Bama Athreya, yang kebetulan bisa berbahasa Indonesia saat bekerja di Jakarta, menyambut Saleh. Dia pernah bertemu dengannya sebelumnya dan ia menceritakan kisah disampaikan oleh penduduk desa yang tinggal dekat ExxonMobil.

Sampai di lantai 9, Athreya memperkenalkan Saleh kepada Collingsworth, putra seorang penjaga toko di sebuah pabrik tembaga di Cleveland dan mantan operator mesin di pabrik. Collingsworth tumbuh menjadi pengacara perburuhan. Di sekolah hukum ia mengembangkan minat dalam isu-isu hak asasi manusia. Kasus UNOCAL adalah salah satu kasus besar pertamanya.

Ketika Saleh tiba, Collingsworth membawanya ke ruang konferensi. Dengan Athreya sebaga penerjemah, ia mendengarkan pemuda itu bercerita tentang kekejaman yang terjadi di Aceh, dan dugaan peran pasukan keamanan ExxonMobil. Dalam waktu seminggu, Collingsworth berada di pesawat terbang ke Indonesia.

FOTO:Orang ini, yang tewas dua tahun setelah gugatan diajukan, mengklaim bahwa serangan oleh aparat keamanan ExxonMobil mengakibatkan hilangnya tangan dan mata.
Foto: Terry Collingsworth
 
                                                     
 

Read more ...

SEKILAS TENTANG SEJARAH KERAJAAN ACEH MASA LAMPAU


Sekitar tahun 1500 lahir Kerajaan samudera Pasai yang oleh sebagian pakar sejarah menganggap sebagai kerajaan Islam pertama di Aceh dab gugusan kepulauan Melayu, ia lahir sebagai negara yang merdeka dan berdaulat pada pertengahan abad ke 13, dengan Sultan pertamanya Malik al-Saleh yang mangkat pada tahun 1297. Pada zaman gemilangnya ia sangat terkenal bagi negeri-negeri Islam seperti Makkah, Hadramaut, Mesir, Gujarat, Malabar dan juga mempunyai hubungan dengan negeri Cina. Selain menjadi pusat perdagangan ilmu pengatahuan Islam yang sangat penting, selama dua abad ia memainkan peranannya yang amat positif terutama bagi pengembangan Islam ke seluruh kepulauan nusantara.


Sekitar abad 15 Kerajaan ini mengalami kemunduran akibat serangan-serangan luar seperti dari Siam, Majapahit, dan Portugis. Serangan-serangan ini membuat Raja Malik al-Saleh nampak semakin lemah karena di dalam negeri pun terjadi kekacauan dan perebutan kekuasaan secara menyeluruh. Akhirnya lahirlah kerajaan-kerajaan kecil sperti Aru, Lamuri, Pidie, Peureulak, Nakur, Beunua (Tamiang), jaya, linge, Aceh Darussalam, Daya, Samudera, dan Pasai sendiri.

Pada tahun 1507 mucullah seorang raja penyelamat dari Pidie yang menyatukan kerajaan-kerajaan kecil dan menggabungkan menjadi satu, Raja Ibrahim yang kemudian terkenal Sultan Ali Mughayyat Syah. Pada permulaan abad ke 16, Ali Mughayyat Syah (1514-1528) telah menyatukan kembali kerajaan-kerajaan kecil di pinggir pantai utara dan barat seluruh Aceh yang telah dipecah-pecahkan oleh penjajah sebelumnya menjadi satu Negara Islam yang kuat.



Pada zaman Iskandar Muda Meukuta Alam (1607-1636), Aceh telah menjadi negara Asia terkemuka di Asia Tenggara yang menguasai pesisir sebahagian besar Sumatra, daerah Bengkulu, Pariaman, Sungai Indragiri serta kerajaan Kedah, Perak, Pahang dan Terengganu di Semanjung Malaysia. Hunbungan dagang dengan Belanda, Inggris, dan Perancis dengan tertib, baik dan menguntungkan petani-petani Aceh. Pada masa ini pula Aceh termasuk lima besar kekuatan super power dunia yaitu; Kerajaan Turki Usmani di Istanbul Asia Minor, Kerajaan  Islam Isfahan di Timur Tengah, Kerajaan Islam Akra di Anak Benua India, dan Kerajaan Islam Aceh Darussalam di Asia Tenggara.
 

 


Read more ...

Sabtu, 11 Mei 2013

CAP SIKEUREUNG

Keterangan Kulit Depan
(Cab Sikureung)

Cab Sikureung, yaitu cap atau segel Sultan-sultan Aceh. Setiap Sultan atau Sultanah (Ratu) yang memerintah di Aceh selalu menggunakan sebuah Cap resmi kesultanannya, yang didalam bahasa Aceh disebut Cab Sikureung (Cap Sembilan). Pemberian nama ini didasarkan kepada bentuk stempel itu sendiri yang mencantumkan nama sembilan orang Sultan dan nama Sultan yang sedang memerintah itu sendiri terdapat di tengah-tengah.

Cab Sikureung (Kulit luar) bermakna 9 Sultan :

1. Paling Atas

Sultan Ahmad Syah, yakni Raja pertama Dinasti Aceh-Bugis yang terakhir, 1723-1735, adalah Sultan yang ke-XX, sebelum tahun 1723 disebut dengan gelar Maharadja Lela (Melayu)


2. Kanan Atas

Sultan Djauhan Syah, yakni Putera Raja sebelumnya, 1735-1760, adalah Sultan ke-XXI, bergelar Raja Muda


3. Paling Kanan

Sultan Mahmud Syah, yakni Muhammad atau Mahmoud Syah I, Cucu Sultan Ahmad Syah, 1760-1763, adalah Sultan ke-XXII


4. Kanan Bawah

Sultan Djauhar 'Alam, yakni Cicit laki-laki Sultan Ahmad Syah, 1795-1824, adalah Sultan ke-XXVII


5. Paling Bawah

Sultan Manshur Syah, yakni Putera Djauhar Alam, sekitar 1857-1870, adalah Sultan ke-XXVIII


6. Kiri Bawah

Sultan Said-al-Mukamal, yakni Alauddin al-Qahhar, 1530-1557, adalah Sultan Aceh ke-III


7. Paling Kiri

Sultan Meukuta Alam, yakni Sultan Iskandar Muda, 1607-1636, adalah Sultan Aceh ke-XI


8. Kiri Atas

Sultan Sultan Tadjul 'Alam, yakni Ratu Safiatuddin, Sultan wanita pertama Aceh, 1641-1675, adalah Sultan ke-XIII (Puteri Iskandar Muda)


9. Tengah

Waffaa-Allah Paduka Seri Sultan Alauddin muhammad Daud Syah Djohan Berdaulat zil-Allah fil'Alam, yakni adalah Sultan Muhammad Daud Syah, 1879-1903, Sultan Aceh yang terakhir.


Pada Segel-segel Sultan Aceh, 3 tempat diperuntukkan kepada Raja-raja yang memerintah dari dinasti sebelumnya. Lima tempat diperuntukkan pada Raja-raja keluarga sendiri, dan yang satu dari yang 5 adalah Raja pendiri dan Dinastinya.

Dan yang terletak ditengah-tengah yaitu Sultan atau Sultanah (Ratu) yang sedang memerintah.
Read more ...

JEJAK PESONA PUTRI PAHANG


Di Taman ini pun nukilan sejarah kekuasaan kerajaan Aceh ditorehkan. Dan, hingga saat ini masih bisa dilihat dan disaksikan oleh masyarakat. Ikatan Sejarah Aceh-Malaysia Taman Putroe Phang (Putri Pahang) adalah taman yang dibangun oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Pembangunan dilakukan atas permintaan Putroe Phang (Putri Kamaliah) permaisuri Sultan Iskandar Muda yang berasal dari Kerajaan Pahang, Malaysia.

Taman ini dibangun karena Sultan sangat mencintai permaisurinya sehingga sang permaisuri tidak kesepian bila di tinggal sultan menjalankan pemerintahan. Di dalam Taman Putroe Phang terdapat Pintoe Khop merupakan pintu yang menghubungkan istana (Meuligoe) dengan Taman Putroe Phang yang berbentuk kubah. Di mana di bawahnya mengalir anak sungai Krueng Daroy, yang selalu dijadikan oleh sang permaisuri sebagai tempat berenang dan bercengkrama bersama dayang-dayangnya.
Pintoe Khop ini merupakan tempat beristirahat Putroe Phang, setelah lelah berenang, letaknya tidak jauh dari Gunongan (sebuah taman bermain permaisuri) dan disanalah dayang-dayang membasuh rambut sang permaisuri. Di sana juga terdapat kolam untuk sang permaisuri keramas dan mandi bunga.

Sebagai seorang permaisuri, Putroe Phang memiliki kecakapan dan kebijaksanaan sehingga mahsyur di dalam masyarakat Aceh. Dalam menyelesaikan sengketa hukum, masyarakat sering meminta pendapatnya. Akibat, kebijaksanaan dan kecakapannya itulah, dia menjadi rujukan dalam penyelesaian masalah-masalah hukum. Atas kerja sama yang baik antara Sultan dan Putroe Phang-lah kerajaan Aceh Darussalam mencapai puncak keemasannya. Lalu, dengan kecerdasannya, Putroe Phang menjadi istri sekaligus penasihat Sultan terbaik.

Sumber : kompas
Read more ...

HUKUM INTERNASIONAL DAN HAK MERDEKA BANGSA-BANGSA TERJAJA


Oleh: Tengku Hasan M. Di Tiro, LL. D.
President ACEH SUMATRA NATIONAL LIBERATION FRONT (ASNLF)


PENERANGAN NEGARA ACHEH-SUMATRA

1. Hukum Internasional tentang hak bangsa-bangsa yang terjajah untuk penentuan nasib mereka sendiri sudah diterangkan dengan setegas-tegasnya dalam Putusan (Resolusi) 1514 (XV) dalam sidang Umum Perserikatan Bangsa Bangsa PBB, pada tanggal 14 Desember, 1960, dengan nama: “Pernyataan Mengenai Kewajiban Pemberian Kemerdekaan Kepada Negeri-Negeri dan Bangsa-Bangsa terjajah”(Decleration surl’octroi de l’indépenden aux pays et peuple coloniaux).

Kedudukan hukum dari resolusi ini sudah diresmikan lagi oleh Mahkamah Internasional (International Court of Justice) dalam keputusannya tanggal 21 Juni 1971, yang mengatakan bahwa: “ Dasar hak penentuan nasib diri-sendiri untuk segala bangsa yang terjajah dan cara-cara untuk mengakhiri dengan secepatcepatnya segala macam bentuk penjajahan, sudah ditegaskan dalam Resolusi 1514 dari Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB”.

(“Le principle d’autodétermination en tant que droit des peuples et son application en vue de mettre fin rapidement les situation coloniales sont enonceés dans la résolution 1514” – Court Internartional de Justice. Recueil, 1975. P. 31)

2. Artikel 5, dari Resolusi 1514 (XV) itu memerintahkan:

“Untuk menyerahkan segala kekuasaan kepada bangsa penduduk asli dari wilayahwilayah jajahan itu, dengan tidak bersyarat apa-apapun, menuruti kemauan dan kehendak mereka itu sendiri yang dinyatakan dengan bebas, dengan tiada memandang perbedaan bangsa, agama atau warna kulit mareka, supaya mareka dapat menikmati kemerdekaan dan kebebasan yang sempurna.”

(“Pour transférer tous pouvoirs aux peuples de ces territoires, sans aucune condition, ni réserve, conformément à leur voeux librement exprimés, sans aucune distinction de race, de croyance, ou de couleur afin de leur permettre de jouir d’une indépendence et d’une liberté complètes.”)

Hal ini tidak pernah dijalankan oleh penjajah Belanda di negeri-negeri kita: Acheh-Sumatra tidak dikembalikan kepada bangsa Acheh, Republik Maluku Selatan tidak dikembalikan kepada bangsa Maluku Selatan, Papua tidak dikembalikan kepada bangsa Papua, Kalimantan tidak tidak dikembalikan kepada Bangsa Kalimantan, Pasundan tidak dikembalikan kepada Bangsa Sunda, dan lain-lain sebagainya; semua negeri ini tidak diserahkan kembali kepada bangsa-bangsa penduduk aslinya masing-masing--sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Hukum Internasional dan sebagaimana yang sudah dijalankan di tempat-tempat lain di seluruh dunia--tetapi telah diserahkan bulat-bulat ketangan neo-kolonialisme Jawa dengan bertopengkan nama pura-pura “Indonesia” untuk mencoba menutup-nutupi kolonialisme Jawa.

3. Resolusi 2625 (XXV) Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB, pada tanggal 24 Oktober 1970, menguatkan lagi Keputusan keputusan terdahulu mengenai hak merdeka dan hak penentuan nasib diri-sendiri untuk bangsa-bangsa yang terjajah, dengan:

A. Mewajibkan segala negara untuk membantu mengakhiri semua penjajahan dan membantu PBB dalam urusan ini.

B. Melarang semua negara memakai kekerasan untuk menghalangi bangsa-bangsa yang terjajah untuk mencapai kemerdekaan dan menentukan nasib diri mereka sendiri.

C. Memberi hak kepada segala bangsa yang terjajah untuk melawan segala macam bentuk kekerasan yang dipergunakan untuk menghalang-halangi hak mereka untuk menentukan nasib diri-sendiri dan merdeka, serta hak mereka untuk mendapat bantuan dunia dalam perjuangan ini.

(“Tout Etat a le devoir de s’abtenir de recourir à toute mesure de coercition qui priverait les peuples mentionnés ci-dessus dans la formulation du présent principe de leur droit à disposer d’eux-mêmes, de leur liberté et de leur indépendence. Lorsqu’ils réagissent à une tellemesure de coercition dans l’exercise de luer droit à disposer d’eux-mêmes, ces peuples sont en droit de chercher et de recevoir un appui conforme aux buts et principes de la charte de Nations Unies.”)

4. Resolusi itu juga menentukan yang bahwa semua wilayah tanah jajahan, jadi Acheh-Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, Republik Maluku Selatan, Papua, Timor, Bali, Pasundan, Jawa, dls. - Semuanya mempunyai kedudukan hukum yang terpisah dari satu sama lainnya. Dan dari negara penjajahannya sendiri (Belanda/Portugis), dan juga mempunyai kedudukan yang terpisahkan dari tempat kedudukan pemerintah penjajahan itu sendiri, jadi walaupun Belanda “memusatkan” pemerintah kolonialnya di Jawa, perbedaan dan perpisahan status hukum, antara jawa dengan pulau-pulau “ seberang lautan” itu tetap kekal dan abadi, dan tetap dijamin kekalnya oleh Piagam PBB, selama bangsa-bangsa asli, penduduk wilayah-wilayah itu dan pulau-pulau itu belum mendapat kesempatan untuk menjalankan hak penentuan nasib diri-sendiri mereka menurut aturan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

(“Le territoire d’une colonie ou un autre territoire non autonome possède, en vertu de la Charte, un statut séparé et distinct de celui du territoire de l’Etat qui l’administre; ce statut séparé et distinct en vertu de la Charte existe aussi longtemps que le peuple de la colonie ou du territoire non autonome n’exerce pas son droit à disposer de lui-même conformément à la Charte des Nations-Unies et, plus particulièrement, à ses buts et principes.”)

Hukum Ini juga memberi kewajiban kepada negara-negara ketiga yang tidak langsung terlibat dalam penjajahan, untuk menjalankan tugas mereka sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk membantu perjuangan kemerdekaan yang dipertanggungjawabkan atas mereka oleh Piagam PBB dan Resolusi-Resolusi yang bersangkutan dengan penghapusan penjajahan dan segala rupa bentuk jelmaannya.

5. Mahkamah Internasional dalam pemandangan Kehakimannya yang dikeluarkan pada tanggal 16 Oktober, 1975, telah menyatakan ada tiga jalan, yang menurut hukum, bagi negeri-negeri atau wilayah-wilayah yang masih terjajah untuk menjalankan hak penentuaan nasib diri-sendiri mereka, yaitu;

A. Menjadi sebuah negara merdeka dan berdaulat;

B. Dengan bebas memilih untuk berserikat dengan sesuatu negara lain yang sudah merdeka;

C. Dengan bebas memilih untuk memasukkan dirinya kedalam salah satu negara lain yang sudah merdeka;


(“Pour un territoire non autonome d’atteindre la pleine autonomie, il peut; a. devenir un Etat indépendence et souverain; b. s’associer librement à un Etat Indépendant; c. s’intégrer à un Etat indépendant.”)

Jajahan-jajahan Belanda di Asia Tenggara ini sama sekali tidak diberikan kesempatan untuk dengan bebas memilih salah satu diantara jalan-jalan yang disebut diatas. Kita tidak pernah diberikan kesempatan untuk merdeka dan berdaulat sendiri – sebagaimana sepatutnya. Dan kita tidak pernah ada pula diadakan pemilihan bebas untuk masuk kebawah telapak kaki penjajahan Jawa. Apa yang terjadi kemudian ialah kita sudah diseret dengan paksa kedalam neokolonialis Indonesia Jawa.

Juga sesudah ternyata bahwa wilayah-wilayah jajahan Belanda seperti Acheh-Sumatra, Sulawesi, Republik Maluku Selatan, Papua, Kalimantan, Pasundan, dls, yang mempunyai status yang jelas dalam Hukum Internasional sebagai wilayahwilayah jajahan yang terpisah satu sama lainnya dan karena berpisah-pisahan itu dan yang nasibnya berlainan, maka harus ditentukan sendiri oleh masing-masing bangsa asli yang bersangkutan, sampai sekarang mereka belum merdeka sebab semua dengan serta merta dan dibawah paksaan senjata sudah dimasukkan kedalam penjajahan Jawa yang bertopengkan yang bernama “bangsa” pura-pura “Indonesia” . Bangsa-bangsa Acheh-Sumatera, Sulawesi, Republik Maluku Selatan, Papua, Kalimantan, Sunda, Bali, dsb, tidak pernah diberikan kesempatan untuk menjalankan hak penentuan nasib diri-sendiri untuk memilih antara merdeka kembali seperti dahulu kala seperti sejarah mereka sebelum Belanda datang, atau memang mau menjadi jajahan “Indonesia” Jawa. Pemilihan yang jujur untuk menentukan nasib diri-sendiri pada bangsa-bangsa ini tidak pernah diadakan sebagaimana yang sudah ditentukan oleh aturan-aturan Hukum Internasional.

Penyerahan kedaulatan atas Acheh-Sumatra, Sulawesi, Republik Maluku Selatan, Papua, Kalimantan, Pasundan, dls, oleh Belanda kepada “Indonesia” Jawa adalah tidak sah sama sekali menurut Hukum, sebab Belanda, sebagai bangsa penjajah, tidak mempunyai hak daulat atas tiap-tiap negeri yang dijajahnya. Kedaulatan atas tiap-tiap negeri dan wilayah-wilayah jajahan itu tetap berada ditangan bangsa asli penduduk negeri dari wilayah itu sendiri dan tidak dapat dipindah-pindahkan atau diserah-serahkan oleh siapapun atau kepada siapapun juga. Hak kedaulatan atas Acheh-Sumatra, Sulawesi, Republik Maluku Selatan, Papua, Kalimantan, Pasundan, dls, tetap dalam tangan bangsa-bangsa dan negeri-negeri itu sendiri – bukan ditangan bangsa Jawa!- dan tidak dapat diserahkan oleh Belanda kepada Jawa, karena Belanda sendiri tidak pernah memilikinya. Karena itu kekuasan Jawa sekarang di Acheh-Sumatra, Sulawesi, Republik Maluku Selatan, Papua, Kalimantan, Pasundan, dls, tidak mempunyai dasar hukumnya, tidak sah dan illegal.

Walaupun tentara Jawa dan boneka-bonekanya sekarang menduduki Acheh-Sumatra, Sulawesi, Republik Maluku Selatan, Papua, Kalimantan, Pasundan, dls, pendudukan tersebut tidak melegalkan penjajahan Jawa. Sah atau tidaknya pendudukan sesuatu wilayah oleh sesuatu tentara pendudukan tergantung pada bagaimana asal-usulnya pendudukan itu sendiri terjadi. Jelaslah sudah, pendudukan Jawa berasal dari pendudukan Belanda yang berasal dari perang konial atas kita. Kemudian oleh Belanda, negeri-negeri kita diserahkannya kepada Jawa. Jadi pendudukan Jawa sama tidak sahnya dan sama illegalnya sebagai pendudukan Belanda. Ex injuria jus non oritur. Hukum tidak bisa berasal dari perbuatan yang tidak berdasar hukum.

6. Perserikatan Bangsa-Bangsa sendiri sudah membuat sebuah Program untuk memerdekakan bangsa-bangsa yang terjajah sebagaimana yang terdapat dalam keputusan 2621 (XXV) tanggal 12 Oktober 1970, dimana penjajahan dinamakan sebagai satu “ kejahatan Internasional” dan “kepada bangsa-bangsa yang terjajah” – seperti kita bangsa-bangsa Acheh-Sumatra, Sulawesi, Republik Maluku Selatan, Papua, Kalimantan, Pasundan, dls. – “Diberikan hak mutlak untuk melawan sipenjajah mereka dengan segala cara yang diperlukan.”

(“Le droit inhérent des peulpes coloniaux à lutter par tous les moyens necessaires.”)

7. Dalam keputusan 3314 (XXIX), tanggal 14 Desember, 1974, Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa melarang semua negara menggunakan kekerasan terhadap bangsa-bangsa yang menuntut hak penentuan nasib diri-sendiri mereka.
Resolusi ini menegaskan:

“Kewajiban negara-negara supaya tidak mempergunakan senjata untuk menindas hak bangsa-bangsa yang sedang menentukan nasib diri-sendiri dan hak kemerdekaan serta kesatuan wilayah mareka itu.” (“Le devoir des Etats de ne utilizer les armes pour priver les l’indépendance ou pour violer l’intégriter mination, à la liberté et à l’indépendance ou pour violer l’intégrité territorial.”) Bandingkan ini dengan kekejaman oleh Jawa yang telah membunuh para pejuang-pejuang kemerdekaan di Acheh-Sumatra, Papua, Republik Maluku Selatan, Sulawesi, Timor Leste dan sebagainya.

8. Artikel 9 dari resolusi diatas berkata lagi: “ Tidak ada suatupun dalam ketentuan ini yang dapat mengurangi kemutlakan akan hak penentuan nasib diri-sendiri, dan hak kebebasan dan kemerdekaan daripada bangsa-bangsa yang hak mereka telah dirampok…..lebih-lebih bangsa-bangsa itu masih dibawah kekuasaan pemerintah kolonial yang rasis (seperti”Indonesia” Jawa) atau dibawah kekuasaan bangsa luar lainnya. Bangsa-bangsa yang masih terjajah ini mempunyai hak mutlak untuk berjuang melawan sipenjajahnya untuk mencapai kemerdekaan dan berhak mencari dan menerima bantuan dan sokongan untuk kemerdekan dan kebebasan mareka, maksud ini sesuai dengan dasar-dasar Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB).”

(“Rien dans la présente définition ne pour porter préjudice au droit à l’autodétermination, à la liberté et à l’indépendance des peuples privés de ce droit… particulièrement les peuples sous la domination des régimes coloniaux et rasistes et sous d’austres forms de domination étrangère, ni au droit de ces peuples de lutter à cette fin et de rechercher et de recevoir un appui à cette fin, en accord avec les principes.”)

9. Dan oleh Mahkamah Tetap Bangsa-Bangsa (Tribunal Permanent des Peuples), Roma, dalam Keputusannya, pada tanggal 11 November, 1979, sudah menyatakan yang bahwa pejuang-pejuang kemerdekaan yang berperang mengusir tentara-pendudukan asing dari bumi mereka (Seperti tentarapendudukan Jawa di Acheh-Sumatra, Papua, Republik Maluku Selatan, Sulawesi, Kalimantan, dls) mempunyai hak untuk dilindungi keselamatan mereka oleh Geneva Convention (Perjanjian Genewa) tahun 1949, yang diperbaharui lagi pada tahun 1977, nyakni jika pejuang-pejuang ini tertangkap atau tertawan, mereka harus diperlukan sebagai tawanan perang dari negara-negara berdaulat yang mempunyai perlindungan hukum, walaupun di medan perang, mereka tidak boleh dianiaya, hanya boleh ditanya nama dan pangkatnya saja.

10. DENGAN INI KITA SERUKAN kepada saudara-saudara kita Bangsa Sulawesi, Bangsa Maluku Selatan, Bangsa Kalimantan, Bangsa Sunda, Bangsa Bali, Bangsa Papua, dls, untuk segera bangun dari tidur dan berdiri menyatakan kemerdekaan dari penjajah Jawa yang sedang memeras bangsa dan kekayaan alam saudarasaudara. Mengikuti jejak bangsa Acheh-Sumatra, Bangsa Maluku Selatan, Bangsa Papua, Bangsa Timor Leste dan mengikuti semua bangsa-bangsa maju dan terhormat lainya di dunia yang sudah dan sedang berjuang untuk kemerdekaan mereka! Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Charter), Pernyataaan Umum Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) telah mengakui hak setiap bangsa untuk merdeka, dan hak setiap bangsa atas kekayaan alamnya, atas kehidupan ekonominya, kebudayaanya, dan keagamaannya.

Di tanah air kita, hak-hak ini semua sedang diperkosa oleh penjajah neo-kolonialis Jawa untuk kepentingan mereka. Dunia yang beradab dan sudah membuka pintu kemerdekaan selebar-lebarnya kepada kita: tinggal saudara-saudara sendirilah yang harus bangun dari tidur dan mengambil langkah keluar dari kegelapan penjara penjajahan Jawa yang rakus, serakah dan brutal. Melalui pintu terbuka ini kita sama-sama menuju ke alam kemerdekaan, kemakmuran dan kebebasan yang sejati, untuk kepentingan bangsa saudara masing-masing, dan supaya kita bisa duduk sama rendah, berdiri sama tinggi dengan segala bangsa-bangsa lain di dunia merdeka dalam abad ke-21 ini!
Read more ...
Designed By