Breaking News

Blogger Template

Rabu, 25 September 2013

Peucut Kherkof


Peucut Kherkof; makam serdadu militer Belanda yang tewas dalam pertempuran melawan masyarakat Aceh. Kata Kherkof sendiri berasal dari bahasa Belanda yang artinya kuburan. Makam ini terletak di Kota Banda Aceh, Aceh, persis disamping Museum Tsunami Aceh. Kurang lebih sekitar 2200 serdadu Belanda termasuk empat jenderal Belanda yang tewas dalam Perang Aceh (1873-1904) dimakamkan di lahan sekitar tiga hektar ini. (http://kopi234.blogspot.com/al3)
Read more ...

Aceh Pungoe Pembunuhan Nekad Khas ACEH





Oleh Rusdi Sufi

Perang Belanda di Aceh yang meletus sejak tahun 1873 hingga awal abad XX belum berakhir. Berbagai upaya dilakukan untuk dapat mengakhiri perang yang telah banyak memakan korban, baik di pihak Aceh maupun di pihak Belanda sendiri. Menjelang akhir abad XIX dan pada awal abad XX, Belanda melaksanakan suatu tindakan kekerasan melalui sebuah pasukan elit yang mereka namakan het korps marechaussee (pasukan marsose).

Pasukan ini dari serdadu-serdadu pilihan yang memiliki keberanian dan semangat tempur yang tinggi, dengan tugas untuk melacak dan mengejar para pejuang Aceh melawan Belanda ke segenap pelosok daerah Aceh. Mereka akan membunuh para pejuang Aceh yang berhasil ditemukan atau setidaknya membuang ke luar daerah Aceh.

Dengan cara kekerasan ini Belanda mengharapkan rakyat atau para pejuang akan takut dan menghentikan perlawanan Belanda. Namun apa yang terjadi ? Akibat tindakan kekerasan tersebut telah menimbulkan rasa benci dan dendam yang sangat mendalam bagi para pejuang Aceh yang bersisa, lebih-lebih bagi keluarga mereka tinggalkan, ayah, anak, menantu, sanak keluarga atau kawomnya yang telah menjadi korban keganasan pihak Belanda.

Untuk membalas tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Belanda tersebut para pejuang Aceh melakukan suatu cara yang kemudian diistilahkan oleh Belanda dengan nama Atjeh Moorden atau het is een typische Atjeh Moord, Suatu pembunuhan khas Aceh yang orang Aceh sendiri menyebutnya poh kaphe (bunuh kafir). Di sini para pejuang Aceh tidak lagi melakukan peperangan secara bersama-sama atau berkelompok, tetapi secara perseorangan. 

Dengan nekad seseorang melakukan penyerangan terhadap orang-orang Belanda apakah ia serdadu, orang dewasa, perempuan atau anak-anak sekalipun menjadi sasaran untuk dibunuh. Dan tindakan pembunuhan nekad ini dilakukan di mana saja di jalan, di pasar, di taman-taman atau pun pada tangsi-tangsi sendiri.

Pembunuhan khas Aceh ini antara tahun 1910 – 1920 telah terjadi sebanyak 79 kali dengan korban di pihak Belanda 12 orang mati dan 87 luka-luka, sedang di pihak Aceh 49 tewas. Puncak dari pembunuhan ini terjadi dalam tahun 1913, 1917, dan 1928 yaitu sampai 10 setiap tahunnya. Sedangkan di tahun 1933 dan 1937 masing-masing 6 dan 5 kali. Adapun jumlah korban dalam perang Belanda di Aceh selama sepuluh tahun pada awal abad XX (1899-1909) sebagaimana disebutkan Paul Van’t Veer dalam bukunya De Atjeh Oorlog tidak kurang dari 21.865 jiwa rakyat Aceh. 

Dengan kata lain, angka itu hampir 4 persen dari jumlah penduduk pada waktu itu. Angka ini setelah 5 tahun kemudian (1914) naik menjadi 23.198 jiwa dan diperhitungkan seluruh korban jiwa (dari pihak Aceh dan Belanda) dalam kurun waktu tersebut hampir sama dengan yang telah jatuh pada masa perang 1873 – 1899.

Hal ini belum lagi korban yang jatuh setelah tahun 1914 hingga tahun 1942. Salah seorang perwira Belanda yang menjadi korban akibat pembunuhan khas Aceh ini ialah Kapten CE Schmid, komandan Divisi 5 Korp Marsose di Lhoksukon pada tanggal 10 Juli 1933, yang dilakukan oleh Amat Lepon. Sementara pada akhir bulan Nopember 1933 dua orang anak-anak Belanda yang sedang bermain di Taman Sari Kutaradja (sekarang Banda Aceh) juga menjadi korban pembunuhan khas Aceh ini.


Pembunuhan khas Aceh adalah sikap spontanitas rakyat yang tertekan akibat tindakan kekerasan yang dilakukan pasukan Marsose Belanda. Sikap ini juga dijiwai oleh semangat ajaran perang Sabil untuk poh kaphe (bunuh kafir). Di samping itu juga adanya suatu keinginan untuk mendapatkan mati syahid. Dan untuk membalas dendam yang dalam istilah Aceh disebut tueng bila, sebuah istilah yang menggambarkan betapa membara semangat yang dimiliki oleh rakyat Aceh.

Akibat adanya pembunuhan nekad yang dilakukan rakyat Aceh tersebut menyebabkan para pejabat Belanda yang akan ditugaskan ke Aceh berpikir berkali-kali. Dan ada di antara mereka yang tidak mau mengikutsertakan keluarganya (anak-istri) bila bertugas ke Aceh. Malahan ada yang memulangkannya ke negeri Belanda. Para pejabat Belanda di Aceh selalu membayangkan dan memikirkan bahaya Atjeh Moorden tersebut.

Mereka tidak habis pikir, bagaimana hanya dengan seorang saja dan bersenjata rencong yang diselipkan dalam selimut atau bajunya para pejuang Aceh berani melakukan penyerangan terhadap orang-orang Belanda, bahkan pada tangsi-tangsi Belanda sekalipun. Oleh karena itu, ada di antara orang Belanda yang menyatakan perbuatan itu “gila” yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang yang waras, maka timbullah istilah di kalangan orang Belanda yang menyebutnya Gekke Atjehsche (orang Aceh gila), yang kemudian populer dengan sebutan Aceh Pungo (Aceh Gila).

Untuk mengkajinya pihak Belanda mengadakan suatu penelitian psikologis terhadap orang-orang Aceh. Dalam penelitian itu terlibat Dr. R.H. Kern, penasihat pemerintah untuk urusan kebumiputeraan dan Arab, Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa perbuatan tersebut (Atjeh Moorden) termasuk gejala-gejala sakit jiwa. 

Suatu kesimpulan yang mungkin mengandung kebenaran, tetapi juga mungkin terdapat kekeliruan, mengingat ada gejala-gejala yang tidak terjangkau oleh dasar-dasar pemikiran ilmiah dalam Atjeh Moorden tersebut. Menurut R.H. Kern apa yang dilakukan rakyat Aceh itu adalah perasaan tidak puas akibat mereka telah ditindas oleh orang Belanda karena itu jiwanya akan tetap melawan Belanda.
Dengan kesimpulan bahwa banyak orang sakit jiwa di Aceh, maka pemerintah Belanda kemudian mendirikan rumah sakit jiwa di Sabang. Dr. Latumenten yang menjadi kepala Rumah Sakit Jiwa di Sabang kemudian juga melakukan studi terhadap pelaku-pelaku pembunuhan khas Aceh yang oleh pemerintah Belanda mereka itu diduga telah dihinggapi penyakit syaraf atau gila.
Namun hasil penelitian Dr. Latumenten tersebut menunjukkan bahwa semua pelaku itu adalah orang-orang normal. Dan yang mendorong mereka melakukan perbuatan nekad tersebut adalah karena sifat dendam kepada Belanda yang dimiliki yaitu tueng bila. Untuk itu seharusnya tindakan kekerasan jangan diperlakukan terhadap rakyat Aceh.

Selanjutnya, pemerintah Hindia Belanda melaksanakan kebijaksanaan baru yang dikenal dengan politik pasifikasi lanjutan gagasan yang dicetuskan oleh C. Snouck Hurgronje. Sesuatu politik yang menunjukkan sifat damai di mana Belanda memperlihatkan sikap lunak kepada rakyat Aceh, mereka tidak lagi bertindak hanya dengan mengandalkan kekerasan, tetapi dengan usaha-usaha lain yang dapat menimbulkan simpati rakyat.

*Penulis Rusdi Sufi, Sejarawan asal Aceh

Read more ...

Keuneumat Geutanyoe Aceh


Read more ...

PERJUANGAN BANGSA ACEH




       Rakyat yang tertindas di dunia untuk hak mereka untuk menentukan nasib sendiri telah sering dibayangi oleh gagasan yang disebut "integritas teritorial" dan prinsip noninterference dalam "urusan internal" dari negara yang berdaulat. Ketua Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasama di Eropa (OSCE) membacakan pernyataan selama KTT terakhir di Istanbul, Turki, menyatakan keprihatinan yang mendalam tentang situasi yang mengerikan di Chechnya, tapi pada saat yang sama sangat mendukung "integritas teritorial" dari Federasi Rusia. Dalam menanggapi tuntutan Aceh untuk referendum untuk menentukan masa depan mereka sendiri, banyak menteri Indonesia dan politisi telah blak-blakan menegaskan pentingnya menjaga "integritas teritorial" Indonesia melalui cara apapun. Apakah integritas teritorial sehingga keramat itu melegitimasi penggunaan kekerasan terhadap warga sipil tak berdosa untuk mencegah wilayah dari melepaskan diri? Integritas wilayah negara diakui oleh hukum internasional. Tapi hak asasi manusia, termasuk hak untuk menentukan nasib sendiri, juga merupakan bagian integral dari hukum internasional dan menurut definisi harus menjadi perhatian yang sah dari masyarakat internasional. Ini juga merupakan prinsip utama hukum internasional bahwa legitimasi kontrol negara atas wilayah tergantung pada bagaimana mengakuisisi wilayah itu. Dalam kasus Aceh, wilayah itu sah diduduki oleh Belanda dan kemudian diserahkan kepada yang baru dibuat Republik Indonesia setelah Perang Dunia II tanpa proses hukum internasional dan hukum tentang dekolonisasi. Seorang anggota Mahkamah Internasional, Dillard, mengatakan: "Ini adalah populasi yang memutuskan nasib wilayah dan bukan sebaliknya." Selain itu, konsep "integritas teritorial" dari Indonesia muncul selama era kolonialisme sebagai sarana untuk mencegah batas-batas buatan wilayah yang ditaklukkan dari menjadi negara merdeka yang terpisah. Oleh karena itu, konsep dari "integritas teritorial" dari Indonesia tidak berarti suci atau absolut. Dalam beberapa bulan terakhir, masyarakat Aceh, organisasi non-pemerintah dan kelompok-kelompok hak asasi manusia telah berulang kali memperingatkan pemerintah dan organisasi internasional Indonesia, termasuk PBB, bahaya ekstrim pendekatan Pihak Militer Indonesia untuk memecahkan konflik politik di Aceh. Meskipun demikian, militer Indonesia sekarang berencana untuk memberlakukan darurat militer di daerah tersebut - yang berarti lebih banyak darah orang Aceh tak berdosa akan tumpah - dan PBB serta demokrasi Barat masih menganggap konflik Aceh sebagai "urusan internal" dari Indonesia. Di sini sekali lagi, gagasan "urusan internal" yang akan digunakan oleh rezim sebagai lisensi untuk membunuh lebih Aceh dan mencegah intervensi dari luar. Ini sikap tidak bertanggung jawab dari masyarakat internasional juga merupakan pengkhianatan dari prinsip hak rakyat Aceh untuk menentukan nasib sendiri untuk memutuskan masa depan mereka sendiri melalui referendum yang adil dan bebas. Dekade pelanggaran mencolok hak asasi manusia dan politik Indonesia di Aceh bukanlah merupakan urusan internal juga tidak jatuh di bawah yurisdiksi domestik setiap negara. Ini adalah perhatian internasional yang tidak dapat diselesaikan tanpa intervensi internasional. Bahkan jika Indonesia berhasil menduduki Aceh secara militer, dan ini tentu akan menghasilkan lebih banyak kematian dan korban, perang akan terus berlanjut. Sejarah menunjukkan bahwa butuh kolonialis Belanda hampir satu abad untuk memahami Aceh tidak bisa dikalahkan dalam perang. Itu juga mengambil kolonialis Indonesia 54 tahun untuk mempelajari bagaimana Aceh ulet dalam berjuang untuk kebebasan mereka. Dan demonstrasi pro-referendum damai di Banda Aceh pada 8 November 1999, di mana seperempat penduduk Aceh (1,5 juta orang) dari seluruh lapisan masyarakat berpartisipasi, adalah bukti lebih lanjut kepada masyarakat internasional bahwa Aceh bersatu dan siap mengorbankan segala sesuatu yang mereka miliki ketika integritas, martabat dan kehormatan yang tertindas. Dua dekade telah berlalu dan puluhan ribu warga Aceh tak berdosa dibunuh atau menghilang tanpa jejak. Berapa lama masyarakat internasional akan menunggu sebelum mengambil tindakan untuk menyelamatkan orang-orang hidup yang masih bisa diselamatkan, atau harus ada lebih banyak pertumpahan darah di hadapan masyarakat internasional akan bertindak. Membantu membuktikan hal ini tidak terjadi. Mengingat fakta tragis bahwa Aceh telah mengalami berabad-abad penindasan oleh kolonialis Belanda, Jepang dan Indonesia, tidak sulit untuk memahami mengapa mayoritas - jika tidak 100 persen - dari Aceh percaya bahwa kemerdekaan adalah satu-satunya jalan ke depan dan referendum adalah cara yang paling demokratis untuk menyelesaikan konflik Aceh. Oleh karena itu adalah tanggung jawab dari masyarakat internasional, termasuk PBB, untuk mendukung dan menjunjung tinggi hak rakyat Aceh untuk menentukan masa depan mereka sendiri melalui referendum gratis atau plebisit. Dan itu juga merupakan tugas PBB untuk mencegah politik dan HAM dari Aceh dari yang dirampas oleh Indonesia atas dasar "integritas teritorial" dan "urusan internal" Republik Indonesia.

Penulis adalah Sekretaris Jenderal Asnlf Aceh Merdeka di Eropa.
Read more ...

Kamis, 19 September 2013

Hak Nasional Bangsa Aceh Persepsi Internasional Menjadi Hak Satu Negara Aceh


                                                                                       

Menjelaskan dalam era modern, Nasionalisme sering dijadikan landasan suatu masyarakat bangsa sebagai bukti cinta tanah airnya. Nasionalisme tidak dapat dijelaskan dari satu persepsi saja. Nasionalisme memilki banyak arti dan makna. Ernest Gelnerr menyatakan bahwasanya nasionalisme adalah prinsip utama politik, yang menyatakan bahwa politik dan unit-unitnya harus bisa kongruen. Hal ini berarti elite-elite politik dan massa harus bekerja sama dalam pelaksanaannya agar kongruen dan tidak timpang. Namun, Nasionalisme telah disalahkan atas sebab terjadinya perang pada tahun 1939 karena dikatakan negarawan tidak memperhatikan penentuan nasib nasional ketika membagi Jerman dan korea, sehingga negarawan dianggap mereka sedang mengabaikan nasionalisme (Hall, 1998 b:1).

Berbicara tentang Nasionalisme tidak akan terlepas dari nation dan state. Nation merupakan sekelompok orang yang memiliki sejarah, suku, dan cita-cita yang sama. Sedangkan State merupakan sekelompok orang yang mengontrol wilayah, penduduk dan legitimasi. Sekarang ini Nasionalisme diyakini mempunyai dua landasan yakni, Civic dan Ethnic (Erick,2002). Civic disini memiliki arti bahwa sekelompok orang yang tinggal di Indonesia, tinggal di satu Negara yang sama karena mereka satu bangsa dan satu kewarganegaraan. Sementara Ethnic merupakan kelompok suku yang tinggal di suatu Negara, memiliki sejarah dan cita-cita yang sama sehingga mereka merasa satu bangsa.

Definisi singkat dari Nasionalisme sendiri yaitu :

- Pengabdian untuk bangsa kita

- Kesetiaan pada Negara atau wilayah

- Sadar akan rasa Nasionalisme

- Menempatkan bangsa kita diatas semua bangsa yang lain

- Mempunyai kebencian pada bangsa yang lain

- Sebuah kekuatan yang bisa membuat seseorang bersedia mati untuk bangsanya

Nasionalisme menurut bangsa Aceh bersifat positif, namun Portugis memahami nasionalisme dengan sangat berbeda. Mereka memandang nasionalisme dari segi negatif dikarenakan revolusi perancis yang berakhir pada tahun 1799 terlalu mengedepankan aksi “persamaan, kebebasan dan persaudaraan”.

Dalam hal ini nasionalisme tidak dapat terlepas dari pengaruh globalisasi. Misalnya, seni tradisional Aceh dulu belum mendapat apresiasi, namun sekarang mendapat perhatian yang khusus dari pemerintah karena kekhawatiran akan di klaim oleh Negara lain. Secara tidak langsung globalisasi berperan dalam nasionalisme. Globalisasi memilki dua pilihan dalam nasionalisme, yaitu sebagai kutukan dan sebagai rahmat. Globalisasi bisa menjadi kutukan untuk nasionalisme ketika Negara lain menggunakan simbol Negara kita untuk dihina. itu bisa menjadi penghancur.

Nasionalisme mempunyai banyak peran, antaranya adalah sebagai alat pertahanan dan sebagai alat untuk menjaga dari pengaruh atau filter dari luar negeri. Nasionalisme berperan sebagai ideology melalui sejarah yang jelas untuk membentuk persepsi nasionalis yang tinggi. Nasionalisme juga berperan sebagai alat pergerakan. Berawal dari usainya perang dunia pertama. Sehingga terjadi pergerakan dalam perubahan social suatu Negara. Misalnya, pada tahun 1940-an ada gerakan misalnya di Negara-negara Asia dan Afrika, karena mereka merdeka karena perjuangan ataupun diberi kemerdekaan. Karena PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) menginginkan Negara terjajah diberi kemerdekaan (proses dekolonisasi).

Memang nasionalisme dibutuhkan karena merupakan identitas Negara. Sehubungan dengan identitas nasional, pendekatan analitis dapat berupa reifying atau konstruktivis. Pernyataan selanjutnya berkaitan dengan status analitis dari identitas negara. Sedangkan perspektif state-reifying membekukan identitas negara juga. Belakangan ini, beberapa pembelajaran telah mencoba untuk memisahkan kelompok etnik. Pertama, menjelaskan perilaku antar Negara. Sehubungan dengan asumsi rasionalistik, dengan istilah ‘hypernasionalim’. hypernationalism dianggap melemahkan keseimbangan hati-hati dikalibrasi perhitungan kekuatan.

Jadi, dapat ditarik kesimpulan jikalau Nasionalisme penting dalam Hubungan Internasional sebagai identitas kebangsaan. Sehingga suatu Negara akan melakukan tindakan dengan menggunakan kekuatan nasionalnya dalam mencapai kepentingan nasional. Karena nasionalisme berperan secara eksplisit dalam setiap aspek Hubungan Internasional.

Jadi inilah yang diperjuangkan oleh Aceh national liberation,sejak lahirnya bangsa Aceh yang telah merdeka dijajah oleh portugis belanda jepang dan di hilangkan pra sejarah kemerdekaan Aceh oleh Indonesia.

Wajar jika peperangan terjadi di Aceh dengan indonesia hingga terhitung hampir 30.000 korban jiwa lebih semenjak Indonesia merdeka pada tahun 1945 sampai 2005, itu juga karena rasa nasionalisme bangsa Aceh menuntut kembali kedaulatan negaranya di seluruh dunia, dan di dukung oleh negara negara kuat di eropa
Read more ...
Designed By