Breaking News

Blogger Template

Jumat, 31 Januari 2014

Sejarah Perang Aceh (1873-1904)




Sampai abad 19 Aceh merupakan daerah yang berdaulat dan dihormati oleh dua imperialis di Indonesia dan sekitarnya yaitu Inggris dan Belanda. Berdasarkan Traktat/perjanjian London 1824 maka Aceh dijadikan daerah penyangga (Bufferstate) antara kekuasaan Inggris di Malaka dengan Bengkulu yang diserahkan Inggris kepada Belanda.
Keadaan tersebut tidak dapat bertahan lama karena adanya kepentingan Belanda yang berniat menduduki Aceh sehingga timbullah perlawanan rakyat Aceh.
Sebab-sebab Perang Aceh
  • Belanda merasa berhak atas daerah Sumatra Timur yang diperoleh dari Sultan Siak sebagai upah membantu Sultan dalam perang saudara melalui Traktat Siak tahun 1858, sementara Aceh berpendapat daerah terebut merupakan wilayahnya.
  • Sejak Terusan Suez dibuka tahun 1869 perairan Aceh menjadi sangat penting sebagai jalur pelayaran dari Eropa ke Asia.
  • Keluarnya Traktat Sumatra tahun 1871 yang menyatakan bahwa Inggris tidak akan menghalangi usaha Belanda untuk meluaskan daerah kekusaannya sampai di Aceh dalam rangka Pax Netherlandica. Traktat Sumatra yang mengancam kedaulatannya? Aceh berusaha untuk mencari bantuan dengan mengirim utusan ke Turki. Selain itu juga dijalin hubungan ke perwakilan negara Amerika Serikat dan Italia di Singapura. Tindakan Aceh ini mencemaskan Belanda lalu menuntut Aceh agar mengakui kedautalan Belanda. Aceh menolak tututan tersebut sehingga Belanda melakukan penyerangan.
Sifat perlawanan Aceh ada dua macam yaitu politik dan keagamaan. Perlawanan politik bertujuan untuk mempertahankan kedaulatan Aceh. Perlawanan politik dipimpin oleh para bangsawan yang bergelar Teuku.
Tokoh-tokoh bangsawan itu  antara lain Teuku Umar dan isterinya bernama Cut Nyak Dien, Panglima Polim, Sultan Dawutsyah, Teuku Imam Lueng Batta. Perang juga bersifat keagamaan yaitu menolak kedatangan Belanda yang akan menyebarkan agama kristen di Aceh. Tokoh keagamaan adalah para ulama yang bergelar Teungku contoh Teungku Cik Di Tiro. Golongan ulama tidak mudah menyerah dan kompromi terhadap Belanda.
Jalan perang
  • Pada bulan April tahun 1873 pasukan Belanda dipimpin oleh Mayor Jendral JHR Kohler menyerang Aceh namun gagal bahkan Jendral Kohler tewas dalam pertempuran memperebutkan masjid Raya.
  • Pada bulan Desember 1873 pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan Jendral Van Swieten dapat menduduki istana serta memproklamirkan bahwa kejaraan Aceh sudah takluk. Nama Banda Aceh kemudian diganti kota raja. Apakah Aceh benar-benar sudah takluk kepada Belanda? Ternyata tidak demikian. Raja Aceh yaitu Sultan Mahmudsyah wafat karena sakit. Putranya yang bernama Muhammad Dawotsyah menjalankan pemerintahan di Pagar Aye. Rakyat Aceh tetap melanjutkan perlawanan dipimpin oleh Panglima Polim.
  • Fase berikutnya sejak tahun 1884 Belanda mempertahankan kekuasaan hanya di daerah yang didudukinya saja. Disitu dibentuk pemerintahan sipil. Sistem ini disebut Konsentrasi Stelsel.
Pada tahun 1893 Teuku Umar melakukan siasat menyerah kepada Belanda dan memperoleh kepercayaan memimpin 250 orang pasukan bersenjata lengkap lalu diberi gelar Teuku Umar Johan Pahlawan. Apakah tindakan Teuku Umar merupakan penghianaatan bagi bangsanya ? Ternyata siasat itu hanya untuk mendapatkan senjata yang cukup guna menghadapi Belanda berikutnya.  Belanda cukup sulit menghadapi perlawanan rakyat Aceh. Guna mengetahui sistem sosial serta rahasia keuletan rakyat Aceh maka dikirimlah Dr. Snouck Hurgronye seorang ahli dalam agama islam untuk menyelidiki hal itu.Hasil penyelidikannya dibukukan dengan judul “De Atjehers” menurut Hurgronye ada dua cara untuk menundukkan Aceh yaitu melakukan pendekatan kepada para bangsawan dan mengangkat putra-putra mereka menjadi pamong praja pada pemerintah Belanda. Kaum ulama harus dihadapi dengan kekuatan senjata sampai menyerah.
Sejak 1896. Belanda bertekad menyelesaikan perang dengan mengirim pasukan marsose (polisi militer) dengan panglimanya Letnan Kolonel Van Geuts. Dalam pertempuran di Meulaboh pada tanggal 11 Pebruari 1899 Teuku Umar gugur. Perlawanan masih berlanjut sampai akhirnya bulan Januari 1903 Sultan Dawutsyah menyerah, September 1903 Panglima Polim juga menyerah.
Ternyata hal itu karena kelicikan Belanda yaitu mengultimatum Sultan untuk menyerah setelah menangkap isteri dan anak-anaknya. Belanda masih melanjutkan pembersihan terhadap daerah yang terakhir bergolak yaitu Gayo Alas (Aceh Tenggara) dipimpin oleh Letkon Van Daalen tahun 1904, rakyat yang gugur 2922 orang. Perlawanan Cut Nyak Dien masih berlanjut selama 5 tahun. Ia memimpin pasukan keluar masuk hutan rimba dengan tekad rela mengorbankan jiwa raga demi kemerdekaan bangsanya serta mengusir Belanda. Perlawanan Cut Nyak Dien berakhir tahun 1905. Ia ditangkap dan dibuang ke Cianjur lalu Sumedang hingga wafat 6 Nopembeer 1908, sedangkan Cut Meutia gugur tahun 1910. (al3) http://www.pustakasekolah.com

Read more ...

Kamis, 30 Januari 2014

Ismuhadi Cs



Bait-bait lagu Nyawoung terdengar nyaring dari sound system yang diangkut sebuah mobil pick up, kadang mengalun kadang menghentak. Kadang merdu, kadang syahdu. Di atas mobil beberapa mahasiswa berdiri, mereka berorasi, “Saleum teuka panglima prang kamoe, ka troeh neu woe u tanoh endatu,” pekik salah seorang mahasiswa, yang beberapa di antaranya saya kenal.

Siang itu, Selasa 11 September 2012, suasana di depan bandara Sultan Iskandar Muda tak seperti biasanya. Ramai, riuh, ada politisi, aktivisi mahasiswa, tak lupa pasti para wartawan yang menenteng kamera. Di dalam bandara, ada juga mantan GAM Teuku Amru (Goh Ru) dan Gure Ribe.

Mereka menunggu kepulangan tiga orang mantan anggota GAM yang selama ini ditahan di LP Cipinang; Ismuhadi, Irwan Ilyas dan Ibrahim Hasan. Awak media di Aceh sering menyebut tiga orang tersebut dengan Ismuhadi Cs. Setelah mendapat remisi dari Presiden SBY, mereka dipindahkan ke LP Banda Aceh.

Mereka ditahan karena didakwa melakukan pengeboman Bursa Efek Jakarta pada tahun 2000. Setelah proses hukum dijalani dari Pengadilan Negeri sampa tingkat kasasi, hakim Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup bagi mereka.

Entah karena terkait terorisme, entaha karena ada hal lainnya, mereka tidak mendapatkan remisi ketika GAM dan Pemerintah Indonesia berdamai pada tahun 2005. Ketika kawan-kawan seperjuangan menikmati indahnya damai, mereka masihd mendekam di balik jeruji besi di Pulau Jawa.


Seorang teman yang juga baru pulang dari Jakarta dan satu pesawat dengan Ismuhadi Cs pada hari itu, merasa terkejut melihat ramainyad orang di bandara. Karena heran, dia kirimkan pesan ke hanphone saya menanyakan siapa yang datang, setelah melihat saya di bandara.

Saya jelaskan, itu adalah Ismuhadi, mantan Panglima GAM Jabodetabek yang dipulangkan hari ini.

“Panglima prang eu panglima prang ka troeh geu woe. Ngon raja nanggroe ngon raja nanggroe hate lam suka..” syair-syair Mukhlis Nyawoung terus menghentaka ketika Ismuhadi dand dua kawannya keluar dari dalam ruang VIP bandara. Dia dikerumuni, oleh mahasiswa, oleh orang-orang yang sebelumnya menanti kepulangannya.

Ketika orang-orang ramai mengerumuninya, saya hanya bisa terdiam, merinding, melihat dia melambai tangan, laksana seorang panglima yang baru pulang dari medan perang. Rasa saya sebagai orang Aceh bangkit lagi. Ada kawan-kawan yang bilang bahwa ini rasa cauvinis, ada juga yang bilang ini kehalusan dari sebuah sikap fasis. Rasa cinta kepada ras dan tanah air yang terlalu berlebihan.

Tapi, saya tak mengerti. Hari itu, Ismuhadi pulang, hantu-hantu kebencian saya terhadap Indonesia bangkit lagi. Malaikat-malaikat kecintaan saya terhadap tanah ini tumbuh lagi. Seperti jamur, mengelilingi otak dan pikiran saya.

Bagi saya, Aceh sudah menjadi sebuah ideologi. Walau saya tak bisa menjelaskannya secara teori, tapi hati ini akan bergetar kalau berbicara tentang Aceh. Tanah yang tak lekangd dirundung malang ini seakan menjadi agama bagi saya.

Di tanah ini saya lahir, di tanah ini ujung kemaluan saya ditanam ketika di sunat, di tanah ini saya hidup dan belajar. dan di tanah ini juga saya ingin mati.

Aceh adalah semuanya, masa lalu dan masa depan. Aceh adalah segalanya, mulai dari politik, budaya hingga soal perempuan yang mengisi hati saya. Walau saya tak bisa menjamin ini akan terus bertahan, untuk sekarang saya berani bertaruh tentang ini.

Apakah Ismuhadi Cs adalah pahlawan bagi Aceh? Entah, saya juga tak bisa menjawabnya. Tapi, dari wajah mereka, hari ini rasa saya sebagai seorang Aceh bangkit lagi.

Sebelum pulang, seorang wartawan media lokal di Aceh meperlihat sebuah foto kepada saya, gambar Ismuhadi dan dua kawannya sedang sujud syukur ketika turun dari pesawat.

Saya langsung teringat Hasan Tiro, Wali Nanggro yang juga melakukan sujud syukur ketika turun dari pesawat pada waktu kepulangannya ke Aceh tahun 2008 lalu.

Lalu, dalam perjalanan pulang di atas motor, lidah saya terus berucap syair-syair Mukhlis Nyawoung. “Oh abeih buleun, mebileung ngon thon, ingat u gampong pajan jeut ta gisa..”
Read more ...

Hari Nasional Aceh

 


-          1 Muharram.............Tahun Baru Islam
-          10 Muharram...........Hari Asyura (Syahid Saidina Husen di Karbala)
-          12 Rabiul Awwal......Hari lahir Nabi Muhammad S.A.W.
-          1 Ramadhan.............Hari pertama Puasa
-          17 Ramadhan...........Hari  turun Al-Quran
-          1 Syawal..................Hari Raya Puasa
-          10 Zulhijjah..............Hari Raya Haji
-          25 januari.................Hari Teungku Chiek di Tiro Muhammad Saman (Syahid Al Malik                  Teungku Chiek di Tiro, 1891)
-          28 Januari ...............Hari Sultan Mahmud Syah (Wafeut tahun 1874)
-          11 Februari..............Hari Cut Nyak Dien dengan Teuku Umar (Syahid Teuku Umar, 1899)
-          26 Maret.................Hari Mideun Perang Kuta Aneuk Galoeng (1896)
-          23 April...................Hari Pahlawan (Mideun Perang Bandar Aceh, 1873)
-          21 Mei....................Hari Mideun Perang Gunung Halimon (1910)
-          15 Agustus..............Hari Perdamaian Helsinki RI dengan GAM
-          5 September............Hari  Perang Alu simi (1911)
-          4 Desember.............Hari Surat Nyatakan Aceh Merdeka (1976)
-          26 Desember...........Hari mengenang Tsunami (2006)
-          27 Desember...........Hari Iskandar Muda (Wafeut Iskandar Muda, 1639)
Read more ...

Sisi kehidupan DR. Tgk. Hasan Muhammad di Tiro

Suatu hari pada September 1998, di pertengahan musim gugur, seorang lelaki muda keluar dari lambung pesawat yang baru mendarat di bandara Arlanda, Stockholm, Swedia. Lelaki berperawakan kecil dan berkulit putih itu baru saja tiba dari Malaysia. Muzakir Abdul Hamid, lelaki itu, adalah salah satu pemuda Aceh yang mendapat suaka politik ke Swedia dari UNHCR, lembaga PBB yang menangani urusan pengungsi.

Mereka dikejar-kejar pemerintah Malaysia karena menjadikan negara itu sebagai basis gerakan baru setelah diburu tentara di Aceh. Sempat menetap di luar kota Stockholm, pada tahun 2000 ia pindah ke pusat kota. Tinggal di sebuah rumah yang berjarak 15 kilometer dari rumah Hasan Tiro, sejak itu Muzakir menghabiskan hari-harinya bersama wali nanggroe.

Sebelas tahun menemani Hasan Tiro sebagai staf khusus, ia merekam banyak hal tentang keseharian Wali. Setiap hari, Hasan Tiro memulai hari dengan menganyuh sepeda fitness di apartemennya. Usai mandi, Wali memulai sarapan sambil membaca koran Internasional Herald Tribune langganannya dan berlanjut dengan menonton saluran televisi berita internasional seperti CNN dan BBC.

Setelah itu, dengan berpakaian rapi setelan lengkap, barulah ia menuju meja kerjanya. Di waktu senggang, Hasan Tiro menikmati lantunan musik klasik semisal gubahan Johann Sebastian Bach, Beethoven. Muzakir mengenangnya sebagai pribadi yang bersahaja. Saking bersahajanya, seluruh perabotan di apartemennya, termasuk sebuah televisi tua, tak pernah berganti.

Pernah Muzakir dan Dokter Zaini pernah mencoba menawarkan untuk menggantinya dengan perabotan baru. “Tapi beliau diam saja, tidak menjawab. Kalau sudah begitu, kita pasti tidak berani bertanya lagi,” ujar Muzakir.

Di mata Muzakir, Hasan Tiro tak hanya teguh pendirian, namun juga memperhatikan sesuatu sedetail mungkin. Sampai-sampai, dekorasi rumahnya pun ditata sendiri. “Beliau memperhatikan sesuatu secara detail. Bahkan terkadang lebih halus dari perempuan,” ujar Muzakir.

Hasan Tiro adalah seorang lelaki yang perfeksionis hingga akhir hayatnya. Muzakir ingat benar ketika suatu hari ia diminta mengetik surat untuk dikirimkan kepada beberapa lembaga asing untuk mengkampanyekan perjuangan Aceh. Ternyata, dari sejumlah kalimat yang disusun, ada satu kata yang kelebihan huruf. “Saya lupa kata-kata persisnya, tapi karena satu huruf yang salah itu, saya harus mengetik ulang surat itu,” ujar Muzakir.

Begitu pula soal kerapian. Di lain waktu, Muzakir kebagian tugas menjilid kumpulan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan Aceh. Usai dijilid, Muzakir lantas menyerahkan dokumen itu kepada Wali. Usai membolak-balik, Hasan Tiro mengembalikannya sambil berujar,”jilid ulang, ini tidak benar.” Selidik punya selidik, rupanya salah satu halaman kumpulan dokumen itu dijilid dengan posisi agak miring. Akhirnya, dokumen itu pun dibongkar dan jilid ulang.

Masih ada cerita lain soal kerapian. Ketika perundingan Jenewa tahun 2002 lalu, Hasan Tiro datang ke sana memantau jalannya perundingan. Salah seorang delegasi yang datang dari Aceh membuatnya naik darah. Gara-garanya, sang anggota delegasi tidak memakai dasi dalam pertemuan formal di meja perundingan. Wali pun langsung menarik kerah baju si anggota delegasi itu.

“Nyoe han jeuet lagee nyoe, tanyoe ureueng Aceh harus ta kalon pakiban adat berhubungan dengan ureueng luwa (ini tidak boleh begini, kita orang Aceh harus melihat dan mengetahui bagaimana adat berhubungan dengan orang luar),” hardik Hasan Tiro kepada delegasi dari Aceh itu.

Hubungan dengan dunia luar memang mendapat perhatian khusus dari Hasan Tiro. Itu sebabnya, kepada setiap tamu yang datang dari Aceh, ia selalu menekankan pentingnya menguasai bahasa Inggris sebagai bahasa internasional. Logikanya, tak mungkin membangun hubungan dengan dunia luar jika soal bahasa saja tak dikuasai. Tak heran, kalau ada tamu yang datang biasanya dites dulu untuk membaca tulisan dalam Bahasa Inggris.

Pernah suatu ketika datang orang dari Aceh dan mengaku bisa bahasa Inggris. Tapi, ternyata, setelah dites, dia membaca dengan tersendat-sendat. “Wali langsung mengangkat kacamata dan menatapnya lekat-lekat sebagai bentuk protes,” kenang Muzakir.

Hasan Tiro juga dikenal tegas dan punya disiplin tinggi. Untuk memompa semangat pengikutnya, terkadang Wali harus menunjukkan sikap tak pilih kasih. Ada satu kejadian yang masih dikenang Muzakir saat ikut pelatihan militer di Libya pada 1990.

Ketika itu, rupanya peserta pelatihan tidak tahan dengan kerasnya didikan di kamp Tajura. Lalu, beredarlah desas-desus sebagian peserta pelatihan berniat pulang kampung. Kabar itu sampai ke telinga Hasan Tiro, maka murkalah dia.

Malamnya, seluruh peserta pelatihan dikumpulkan. Beliau lalu berpidato sambil menjatuhkan sebilah rencong di tangannya

“Lon deungo na yang meuneuk woe gampong. Boh manok kom mandum gata nyoe. Soe kirem boh manok kom keunoe (saya dengar ada yang mau pulang kampung. Telur busuk anda semua. Siapa yang mengirim telur busuk ke sini),” ujar Hasan Tiro dengan nada tinggi. Hening. Semua terdiam sambil menundukkan kepala. Rencana pulang pun batal.

Soal kebiasaannya membawa rencong, menurut Muzakir, adalah cara Hasan Tiro menjaga semangat. Di lain waktu, jika sedang meradang, Tengku Hasan akan mengambil rencong lalu menaruhnya di meja. “Tujuannya untuk menaikkan semangat. Karena semangatlah yang menentukan maju mundurnya sebuah bangsa”.

Hasan Tiro juga kerap meradang jika kerjaan stafnya tak sesuai harapan. Namun, hm... rupanya Muzakir dan sejumlah keluarga Aceh di Swedia menyimpan kiat untuk menjinakkan amarah Wali. Caranya, ketika melihat wajah Wali sedang tegang, mereka buru-buru pulang ke rumah. Sesaat kemudian sudah balik lagi sambil menggendong anak kecil. Dan, ketika melihat bocah wajah Wali yang masam menjadu manis.

Lalu Hasan Tiro larut dalam candaan bersama anak kecil. “Mungkin beliau teringat anak dan cucunya yang berpisah sejak kecil,” ujar Muzakir sambil tersenyum.

Kita tahu, ketika memutuskan pulang ke Aceh untuk angkat senjata pada Oktober 1976, Hasan Tiro meninggalkan istri dan anak semata wayangnya Karim Tiro yang masih berusia enam tahun di Amerika Serikat. Ia memilih naik gunung dan mendeklarasikan Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976.

Keluar masuk hutan sejak kurun 30 Oktober 1976, dia hengkang ke Malaysia pada 29 Maret 1979. Sempat singgah di sejumlah negara, ia mendapat suaka politik di Swedia. Di negara Skandinavia ini juga dia mengantong kewarganegaraan.

Pengalaman tiga tahun di belantara Aceh dituangkannya dalam buku catatan harian berjudul The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Hasan Tiro. Sejak itu, Hasan Tiro membentuk pemerintahan di pengasingan.

Sebagai Presiden ASNLF (Aceh Sumatra National Liberation Front), dia melanjutkan perjuangan dari Norsborg, Stockholm, hingga akhirnya memutuskan berdamai dengan pemerintah Indonesia pada 15 Agustus 2005.

Banyak pihak yang tak percaya dengan keputusan itu. Tak sedikit pula yang menduga keputusan berdamai bukan datang dari Hasan Tiro melainkan dari Mentroe Malik dan Dokter Zaini.

Kecurigaan itu terbantahkan ketika Wali Nanggroe akhirnya memutuskan pulang ke Aceh pada 11 Oktober 2008. Di halaman masjid Raya Banda Aceh, Hasan Tiro meminta masyarakat Aceh menjaga perdamaian yang telah dicapai demi masa depan rakyat Aceh.

Read more ...

Aceh Pungoe Pembunuhan Nekad Khas ACEH



Oleh Rusdi Sufi

Perang Belanda di Aceh yang meletus sejak tahun 1873 hingga awal abad XX belum berakhir. Berbagai upaya dilakukan untuk dapat mengakhiri perang yang telah banyak memakan korban, baik di pihak Aceh maupun di pihak Belanda sendiri. Menjelang akhir abad XIX dan pada awal abad XX, Belanda melaksanakan suatu tindakan kekerasan melalui sebuah pasukan elit yang mereka namakan het korps marechaussee (pasukan marsose).

Pasukan ini dari serdadu-serdadu pilihan yang memiliki keberanian dan semangat tempur yang tinggi, dengan tugas untuk melacak dan mengejar para pejuang Aceh melawan Belanda ke segenap pelosok daerah Aceh. Mereka akan membunuh para pejuang Aceh yang berhasil ditemukan atau setidaknya membuang ke luar daerah Aceh.

Dengan cara kekerasan ini Belanda mengharapkan rakyat atau para pejuang akan takut dan menghentikan perlawanan Belanda. Namun apa yang terjadi ? Akibat tindakan kekerasan tersebut telah menimbulkan rasa benci dan dendam yang sangat mendalam bagi para pejuang Aceh yang bersisa, lebih-lebih bagi keluarga mereka tinggalkan, ayah, anak, menantu, sanak keluarga atau kawomnya yang telah menjadi korban keganasan pihak Belanda.

Untuk membalas tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Belanda tersebut para pejuang Aceh melakukan suatu cara yang kemudian diistilahkan oleh Belanda dengan nama Atjeh Moorden atau het is een typische Atjeh Moord, Suatu pembunuhan khas Aceh yang orang Aceh sendiri menyebutnya poh kaphe (bunuh kafir). Di sini para pejuang Aceh tidak lagi melakukan peperangan secara bersama-sama atau berkelompok, tetapi secara perseorangan. 

Dengan nekad seseorang melakukan penyerangan terhadap orang-orang Belanda apakah ia serdadu, orang dewasa, perempuan atau anak-anak sekalipun menjadi sasaran untuk dibunuh. Dan tindakan pembunuhan nekad ini dilakukan di mana saja di jalan, di pasar, di taman-taman atau pun pada tangsi-tangsi sendiri.

Pembunuhan khas Aceh ini antara tahun 1910 – 1920 telah terjadi sebanyak 79 kali dengan korban di pihak Belanda 12 orang mati dan 87 luka-luka, sedang di pihak Aceh 49 tewas. Puncak dari pembunuhan ini terjadi dalam tahun 1913, 1917, dan 1928 yaitu sampai 10 setiap tahunnya. Sedangkan di tahun 1933 dan 1937 masing-masing 6 dan 5 kali. Adapun jumlah korban dalam perang Belanda di Aceh selama sepuluh tahun pada awal abad XX (1899-1909) sebagaimana disebutkan Paul Van’t Veer dalam bukunya De Atjeh Oorlog tidak kurang dari 21.865 jiwa rakyat Aceh. 

Dengan kata lain, angka itu hampir 4 persen dari jumlah penduduk pada waktu itu. Angka ini setelah 5 tahun kemudian (1914) naik menjadi 23.198 jiwa dan diperhitungkan seluruh korban jiwa (dari pihak Aceh dan Belanda) dalam kurun waktu tersebut hampir sama dengan yang telah jatuh pada masa perang 1873 – 1899.

Hal ini belum lagi korban yang jatuh setelah tahun 1914 hingga tahun 1942. Salah seorang perwira Belanda yang menjadi korban akibat pembunuhan khas Aceh ini ialah Kapten CE Schmid, komandan Divisi 5 Korp Marsose di Lhoksukon pada tanggal 10 Juli 1933, yang dilakukan oleh Amat Lepon. Sementara pada akhir bulan Nopember 1933 dua orang anak-anak Belanda yang sedang bermain di Taman Sari Kutaradja (sekarang Banda Aceh) juga menjadi korban pembunuhan khas Aceh ini.


Pembunuhan khas Aceh adalah sikap spontanitas rakyat yang tertekan akibat tindakan kekerasan yang dilakukan pasukan Marsose Belanda. Sikap ini juga dijiwai oleh semangat ajaran perang Sabil untuk poh kaphe (bunuh kafir). Di samping itu juga adanya suatu keinginan untuk mendapatkan mati syahid. Dan untuk membalas dendam yang dalam istilah Aceh disebut tueng bila, sebuah istilah yang menggambarkan betapa membara semangat yang dimiliki oleh rakyat Aceh.

Akibat adanya pembunuhan nekad yang dilakukan rakyat Aceh tersebut menyebabkan para pejabat Belanda yang akan ditugaskan ke Aceh berpikir berkali-kali. Dan ada di antara mereka yang tidak mau mengikutsertakan keluarganya (anak-istri) bila bertugas ke Aceh. Malahan ada yang memulangkannya ke negeri Belanda. Para pejabat Belanda di Aceh selalu membayangkan dan memikirkan bahaya Atjeh Moorden tersebut.

Mereka tidak habis pikir, bagaimana hanya dengan seorang saja dan bersenjata rencong yang diselipkan dalam selimut atau bajunya para pejuang Aceh berani melakukan penyerangan terhadap orang-orang Belanda, bahkan pada tangsi-tangsi Belanda sekalipun. Oleh karena itu, ada di antara orang Belanda yang menyatakan perbuatan itu “gila” yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang yang waras, maka timbullah istilah di kalangan orang Belanda yang menyebutnya Gekke Atjehsche (orang Aceh gila), yang kemudian populer dengan sebutan Aceh Pungo (Aceh Gila).

Untuk mengkajinya pihak Belanda mengadakan suatu penelitian psikologis terhadap orang-orang Aceh. Dalam penelitian itu terlibat Dr. R.H. Kern, penasihat pemerintah untuk urusan kebumiputeraan dan Arab, Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa perbuatan tersebut (Atjeh Moorden) termasuk gejala-gejala sakit jiwa. 

Suatu kesimpulan yang mungkin mengandung kebenaran, tetapi juga mungkin terdapat kekeliruan, mengingat ada gejala-gejala yang tidak terjangkau oleh dasar-dasar pemikiran ilmiah dalam Atjeh Moorden tersebut. Menurut R.H. Kern apa yang dilakukan rakyat Aceh itu adalah perasaan tidak puas akibat mereka telah ditindas oleh orang Belanda karena itu jiwanya akan tetap melawan Belanda.
Dengan kesimpulan bahwa banyak orang sakit jiwa di Aceh, maka pemerintah Belanda kemudian mendirikan rumah sakit jiwa di Sabang. Dr. Latumenten yang menjadi kepala Rumah Sakit Jiwa di Sabang kemudian juga melakukan studi terhadap pelaku-pelaku pembunuhan khas Aceh yang oleh pemerintah Belanda mereka itu diduga telah dihinggapi penyakit syaraf atau gila.
Namun hasil penelitian Dr. Latumenten tersebut menunjukkan bahwa semua pelaku itu adalah orang-orang normal. Dan yang mendorong mereka melakukan perbuatan nekad tersebut adalah karena sifat dendam kepada Belanda yang dimiliki yaitu tueng bila. Untuk itu seharusnya tindakan kekerasan jangan diperlakukan terhadap rakyat Aceh.

Selanjutnya, pemerintah Hindia Belanda melaksanakan kebijaksanaan baru yang dikenal dengan politik pasifikasi lanjutan gagasan yang dicetuskan oleh C. Snouck Hurgronje. Sesuatu politik yang menunjukkan sifat damai di mana Belanda memperlihatkan sikap lunak kepada rakyat Aceh, mereka tidak lagi bertindak hanya dengan mengandalkan kekerasan, tetapi dengan usaha-usaha lain yang dapat menimbulkan simpati rakyat.

*Penulis Rusdi Sufi, Sejarawan asal Aceh
Read more ...
Designed By