Breaking News

Blogger Template

Jumat, 13 Desember 2013

Menakar Keistimewaan Aceh

Oleh Yusrizal

ACEH adalah suatu provinsi yang unik dan istimewa baik dalam perjalanan sejarah maupun pergolakannya. Namun dalam perjalanannya keistimewaan Aceh tergerus oleh perilaku manusia-manusia yang ada di dalamnya. Nilai-nilai istimewa yang menjadi simbol kebanggaan masyarakat Aceh masih jauh dari status yang namanya istimewa. Peran dan fungsi lembaga-lembaga adat sebagai wadah penyaluran dari entitas istimewa tersebut, masih belum berjalan secara maksimal. Keistimewaan di bidang agama, peradatan, pendidikan dan peran ulama dalam pengambilan kebijakan strategis di daerah terkesan hadir sebagai pelengkap dalam struktur organisasi kepemerintahan Aceh.

Secara singkat dapat digambarkan bahwa pemberian status istimewa Aceh adalah untuk meredam konflik antara pemerintah pusat dan masyarakat Aceh, yang pada saat itu Aceh diturunkan statusnya menjadi keresidenan dan berada di bawah Provinsi Sumatera Utara. Hal lainnya adalah adanya keinginan (alm) Tgk Daud Beureueh agar syariat Islam ditegakkan di bumi Serambi Mekkah. Hal ini menjadi satu pertimbangan lahirnya Keputusan Perdana Menteri RI No.I/Missi/1959 yang kemudian dikenal Missi Hardi, tentang pemberian status istimewa kepada Aceh dengan sebutan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Berdasarkan keputusan ini, Aceh ditetapkan sebagai daerah istimewa yang meliputi keistimewaan bidang agama, peradatan dan pendidikan.

 Banyak menuntut
Permasalahannya sekarang adalah mengapa keistimewaan tersebut cenderung memudar seiring perkembangan dan perubahan sosial masyarakat Aceh. Padahal kalau kita melihat berbagai produk hukum yang mendukung keistimewaan Aceh di antaranya UU No.44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Aceh dan yang terkini adalah UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang begitu lugas dan tegas untuk diimplementasikan. Terkadang kita terlalu benyak menuntut terhadap hal-hal lainnya, tapi kewenangan yang sudah diberikan oleh pemerintah pusat tidak difungsikan dan dijalankan secara baik dan benar, sebagai contoh pengelolaan dana otsus yang tidak tepat sasaran.

Keistimewaan yang diperjuangkan setengah abad lalu, belum menghasilkan dampak yang maksimal. Hal ini disebabkan karena belum berjalannya secara maksimal peran dari masing-masing komponen setiap lembaga pendukung keistimewaan Aceh itu. Akibatnya, di bidang pendidikan, misalnya, Aceh masih jauh tertinggal dibandingkan provinsi-provinsi lain di Tanah Air. Meski ada Majelis Pendidikan Daerah (MPD), namun sejauh ini Aceh belum mempunyai suatu grand desain yang matang untuk masa depan pendidikan, baik itu pendidikan formal maupun non formal.

Padahal, dengan status istimewa di bidang pendidikan, Aceh bisa merancang konsep pendidikan yang tepat untuk dirinya, selaras dengan budaya dan adat Aceh yang islami. Boleh jadi, islamisasi pendidikan sebagai langkah tepat dalam membangun karakter generasi Aceh yang akan datang. Sebagai contoh adalah modifikasi dari materi pembelajaran yang berwawasan syariah lebih ditingkatkan. Sehingga liberalisasi pendidikan dapat ditekan. Hal Ini seharusnya menjadi perhatian serius Pemerintah Aceh untuk membangun pendidikan yang handal dan berkulitas sesuai nilai-nilai budaya Aceh, sehingga pendidikan di Aceh tidak semakin terpuruk dimata nasional.

Begitu juga keistimewaan di bidang peradatan, bagaimana mungkin generasi mendatang dapat memahami adat dengan baik jika dalam keseharian dalam keluarga dan masyarakat nilai-nilai keadatan Aceh tidak diperkenalkan secara baik. Sangat disayangkan bila pemahaman mengenai adat Aceh yang sudah diwarisi oleh indatu terdahulu hilang seiring dengan perkembangan zaman. Majelis Adat Aceh (MAA) harus mampu mansupervisi dan mendorong masyarakat untuk memahami serta mencintai adat dan budaya Aceh sejak dini. Matee aneuk meupat jeurat, matee adat pat tamita.

Karena itu, peran MAA bukan hanya sebatas upacara seremonial semata, seperti peusijuk dan pelatihan-pelatihan tentang adat yang hanya diikuti oleh generasi tua, tanpa diimbangi untuk generasi muda. Kita memang istimewa di bidang adat, tapi dalam keseharian masyarakat kita jarang memperkenalkan adat dan budaya Aceh. Pada hakikatnya pelaksanaan adat yang baik akan menjamin tercapainya pelaksanaan HAM, ketertiban dan kedamaian.

Mengenai pelembagaan adat selain MAA dan lembaga adat lainnya juga terdapat dalam Pasal 99 ayat (1) UUPA: Pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat dilakukan sesuai dengan perkembangan keistimewaan dan kekhususan Aceh yang berlandaskan pada nilai-nilai syariat Islam dan dilaksanakan oleh Wali Nanggroe. Ayat (2): Penyusunan ketentuan adat yang berlaku umum pada masyarakat Aceh dilakukan oleh lembaga adat dengan pertimbangan Wali Nanggroe. Jadi, aturan hukum sudah memberikan jalan, sekarang yang harus dilakukan adalah bagaimana mereposisi kembali adat dan budaya Aceh dalam kehidupan sehari-hari.

Keistimewaan lainnya adalah adanya peran Ulama dalam memberikan kontribusi yang besar demi kemajuan Aceh, termasuk di dalamnya adalah pembinaan akhlak dan akidah umat. Mengapa itu penting, karena akhir-akhir ini justru pendangkalan akidah dan aliran sesat tumbuh subur di Aceh. Selanjutnya apakah Pemerintah Aceh dalam membuat kebijakan meminta pandangan para Ulama? Tentu pertanyaan ini harus dijawab dengan kebijaksanaan, harmonisasi antara Umara dan Ulama ini menjadi sangat urgen apabila setiap keputusan dan pertimbangan dari Ulama yang berbentuk fatwa, tausiyah dan rekomendasi dapat dilaksanakan untuk pembagunan Aceh dan berbagai aspek kehidupan.

Mengenai peran ulama sebagaimana disebutkan dalam UU No.44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Aceh, Pasal 9 ayat (1) menyebutkan: Daerah membentuk sebuah badan yang anggotanya terdiri atas para ulama. Ayat (2): Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat independen yang berfungsi memberikan pertimbangan terhadap kebijakan Daerah, termasuk bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan serta tatanan ekonomi yang Islami.

 Kemauan dan kerja keras
Berdasarkan pemikiran di atas maka sesungguhnya implementasi keistimewaan di Aceh masih jauh dari apa yang diharapkan. Bahkan, terkesan keistimewaan Aceh hanya sebatas simbol saja, atau mungkin kita sudah terlena dengan simbol dan pernyataan kaidah keistimewaan dalam aturan hukum saja. Sudah saatnya Pemerintah Aceh memikirkan ulang bagaimana pelaksanaan keistimewaan Aceh ke depan. Revitalisasi keistimewaan Aceh harus dimulai dengan kemauan dan kerja keras dari Pemerintah Aceh untuk mengalokasikan anggaran yang tepat serta adanya pengawasan terhadap lembaga-lembaga yang menjalankan keistimewaan tersebut.

Banyak sudah lembaga dibentuk di Aceh sebagai bagian dari provinsi yang berlabel istimewa, sehingga tidak alasan bahwa tidak ada bagian yang tidak diperhatikan karena sudah terlembaga dengan baik. Maka wajar apabila masyarakat Aceh mempertanyakan kembali keistimewaan yang diperoleh dengan susah payah itu, tapi tidak mempunyai efek yang nyata dalam pelaksanaannya. Untuk itu peluang otonomi khusus yang ada di Aceh dimanfaatkan untuk pelaksanaan pemerintahan yang efektif serta pengembangan dan penanaman nilai-nilai budaya, pendidikan dan agama. Semoga!

* Yusrizal, S.H, M.H, Dosen Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh (Unimal), dan Pendiri Lembaga Kajian dan Konsultasi Hukum (LKKH) Lhokseumawe. Email: yusrizal_mh@yahoo.com
Read more ...

Perjuangan Aceh

       Perjuangan rakyat yang tertindas di dunia untuk hak mereka untuk menentukan nasib sendiri telah sering dibayangi oleh gagasan yang disebut "integritas teritorial" dan prinsip noninterference dalam "urusan internal" dari negara yang berdaulat. Ketua Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasama di Eropa (OSCE) membacakan pernyataan selama KTT terakhir di Istanbul, Turki, menyatakan keprihatinan yang mendalam tentang situasi yang mengerikan di Chechnya, tapi pada saat yang sama sangat mendukung "integritas teritorial" dari Federasi Rusia. Dalam menanggapi tuntutan Aceh untuk referendum untuk menentukan masa depan mereka sendiri, banyak menteri Indonesia dan politisi telah blak-blakan menegaskan pentingnya menjaga "integritas teritorial" Indonesia melalui cara apapun. Apakah integritas teritorial sehingga keramat itu melegitimasi penggunaan kekerasan terhadap warga sipil tak berdosa untuk mencegah wilayah dari melepaskan diri? Integritas wilayah negara diakui oleh hukum internasional. Tapi hak asasi manusia, termasuk hak untuk menentukan nasib sendiri, juga merupakan bagian integral dari hukum internasional dan menurut definisi harus menjadi perhatian yang sah dari masyarakat internasional. Ini juga merupakan prinsip utama hukum internasional bahwa legitimasi kontrol negara atas wilayah tergantung pada bagaimana mengakuisisi wilayah itu. Dalam kasus Aceh, wilayah itu sah diduduki oleh Belanda dan kemudian diserahkan kepada yang baru dibuat Republik Indonesia setelah Perang Dunia II tanpa proses hukum internasional dan hukum tentang dekolonisasi. Seorang anggota Mahkamah Internasional, Dillard, mengatakan: "Ini adalah populasi yang memutuskan nasib wilayah dan bukan sebaliknya." Selain itu, konsep "integritas teritorial" dari Indonesia muncul selama era kolonialisme sebagai sarana untuk mencegah batas-batas buatan wilayah yang ditaklukkan dari menjadi negara merdeka yang terpisah. Oleh karena itu, konsep dari "integritas teritorial" dari Indonesia tidak berarti suci atau absolut. Dalam beberapa bulan terakhir, masyarakat Aceh, organisasi non-pemerintah dan kelompok-kelompok hak asasi manusia telah berulang kali memperingatkan pemerintah dan organisasi internasional Indonesia, termasuk PBB, bahaya ekstrim pendekatan Pihak Militer Indonesia untuk memecahkan konflik politik di Aceh. Meskipun demikian, militer Indonesia sekarang berencana untuk memberlakukan darurat militer di daerah tersebut - yang berarti lebih banyak darah orang Aceh tak berdosa akan tumpah - dan PBB serta demokrasi Barat masih menganggap konflik Aceh sebagai "urusan internal" dari Indonesia. Di sini sekali lagi, gagasan "urusan internal" yang akan digunakan oleh rezim sebagai lisensi untuk membunuh lebih Aceh dan mencegah intervensi dari luar. Ini sikap tidak bertanggung jawab dari masyarakat internasional juga merupakan pengkhianatan dari prinsip hak rakyat Aceh untuk menentukan nasib sendiri untuk memutuskan masa depan mereka sendiri melalui referendum yang adil dan bebas. Dekade pelanggaran mencolok hak asasi manusia dan politik Indonesia di Aceh bukanlah merupakan urusan internal juga tidak jatuh di bawah yurisdiksi domestik setiap negara. Ini adalah perhatian internasional yang tidak dapat diselesaikan tanpa intervensi internasional. Bahkan jika Indonesia berhasil menduduki Aceh secara militer, dan ini tentu akan menghasilkan lebih banyak kematian dan korban, perang akan terus berlanjut. Sejarah menunjukkan bahwa butuh kolonialis Belanda hampir satu abad untuk memahami Aceh tidak bisa dikalahkan dalam perang. Itu juga mengambil kolonialis Indonesia 54 tahun untuk mempelajari bagaimana Aceh ulet dalam berjuang untuk kebebasan mereka. Dan demonstrasi pro-referendum damai di Banda Aceh pada 8 November 1999, di mana seperempat penduduk Aceh (1,5 juta orang) dari seluruh lapisan masyarakat berpartisipasi, adalah bukti lebih lanjut kepada masyarakat internasional bahwa Aceh bersatu dan siap mengorbankan segala sesuatu yang mereka miliki ketika integritas, martabat dan kehormatan yang tertindas. Dua dekade telah berlalu dan puluhan ribu warga Aceh tak berdosa dibunuh atau menghilang tanpa jejak. Berapa lama masyarakat internasional akan menunggu sebelum mengambil tindakan untuk menyelamatkan orang-orang hidup yang masih bisa diselamatkan, atau harus ada lebih banyak pertumpahan darah di hadapan masyarakat internasional akan bertindak. Membantu membuktikan hal ini tidak terjadi. Mengingat fakta tragis bahwa Aceh telah mengalami berabad-abad penindasan oleh kolonialis Belanda, Jepang dan Indonesia, tidak sulit untuk memahami mengapa mayoritas - jika tidak 100 persen - dari Aceh percaya bahwa kemerdekaan adalah satu-satunya jalan ke depan dan referendum adalah cara yang paling demokratis untuk menyelesaikan konflik Aceh. Oleh karena itu adalah tanggung jawab dari masyarakat internasional, termasuk PBB, untuk mendukung dan menjunjung tinggi hak rakyat Aceh untuk menentukan masa depan mereka sendiri melalui referendum gratis atau plebisit. Dan itu juga merupakan tugas PBB untuk mencegah politik dan HAM dari Aceh dari yang dirampas oleh Indonesia atas dasar "integritas teritorial" dan "urusan internal" Republik Indonesia.

Penulis adalah Sekretaris Jenderal Asnlf Aceh Merdeka di Eropa.
Read more ...

Dayah MUDI Mesra



Sejarah
Dayah MUDI Mesra berada di Desa Mideuen Jok, Kemukiman Mesjid Raya Samalanga, Bireuen, merupakan salah satu dayah salafiyah tertua di Aceh maupun Asia Tenggara.
Dayah ini sudah berdiri sejak masa Sultan Iskandar Muda. Namun, baru sekitar tahun 1927 dayah tersebut berkembang saat dipimpin oleh Al-Mukarram Tgk H Syihabuddin Bin Idris.
Saat dipimpin Tgk H Syihabuddin bin Idris, jumlah santri di Dayah tersebut sebanyak 100 orang putra dan 50 orang putri. Mereka diasuh oleh 5 orang tenaga pengajar lelaki dan dua guru putri. Saat itu, asrama tempat menginap santri hanyalah barak-barak darurat yang dibuat dari bambu dan rumbia. Setelah Tgk H Syihabuddin Bin Idris wafat tahun 1935, dayah MUDI Mesjid Raya dipimpin oleh adik iparnya, Al-Mukarram Tgk H Hanafiah bin Abbas atau lebih dikenal dangan gelar Tgk Abi. Jumlah santri saat itu, mulai meningkat menjadi 150 orang santri putra dan 50 orang putri.
Pada masa kepemimpinan Tgk Abi, pimpinan dayah pernah diwakilkan kepada Tgk M Shaleh selama dua tahun ketika Tgk Abi berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan memperdalam ilmu agama.
Setelah almarhum Tgk H Hanafiah wafat (1964) dayah tersebut dipimpin oleh salah seorang menantunya, yaitu Tgk H Abdul Aziz Bin Tgk M Shaleh. Almukarram yang dipanggil dengan Abon yang bergelar Al-Mantiqiy ini adalah murid dari Abuya Muda Wali pimpinan Dayah Bustanul Muhaqqiqien Darussalam, Labuhan Haji, Aceh Selatan.
Semenjak kepemimpinan Tgk H Abdul Aziz, Dayah MUDI mengalami kemajuan. Santri yang mondok tidak hanya datang dari Aceh melainkan dari wilayah lain di Sumatera. Barak-barak santri mulai dibangun permanen.
Setelah Tgk H Abdul ‘Aziz Bin M Shaleh wafat tahun 1989, pergantian kepemimpinan dayah ini dilakukan dengan cara musyawarah alumni dan masyarakat. Melalui berbagai pertimbangan, alumni mempercayakan dayah kepada salah seorang menantu Tgk H Abdul Aziz yaitu Tgk H Hasanoel Bashry Bin H Gadeng yang kini akrab disapa Abu MUDI. Ia adalah santri lulusan dayah tersebut yang sudah berpengalaman mengelola kepemimpinan dayah semasa Abon Aziz sakit.
Sejak 1989, dayah tersebut dipimpin Abu MUDI dan mengalami kemajuan cukup pesat. Saat ini, tercatat ada 6.500 santri yang belajar di Dayah ini. Para santri tidak hanya dari Aceh, melainkan datang dari Pulau Jawa, Malaysia, Brunai Darussalam, Singapura, dan Australia.
Sumber :  Serambi Indonesia

Read more ...

Minggu, 08 Desember 2013

MENGUAK MISTERI RUMOH GEUDONG



         Diantara sederet kisah luka di Aceh, Rumoh Geudong (Pos Sattis, -Kopassus) memang memiliki sebuah kisah dan sejarah tersendiri bagi rakyat Aceh. Ditengah isu politik pada masa akan dicabutnya Daerah Operasi Militer (DOM) pada tanggal 7 Agustus 1999 saat jendral Wiranto menjabat, semakin terbuka peluang atas pengungkapan berbagi kasus kejahatan HAM yang terjadi di Aceh.

Rumoh Geudong terletak di desa Billie Aron, Kecamatan Geulumpang Tiga, Kabupaten Pidie, atau berjarak 125 kilometer dari pusat kota Banda Aceh. Kabupaten Pidie ini menempati posisi Lintang Utara 4,39-4,60 derajat dan Bujur Timur 95,75-96,20 derajat.

Menurut alkisah dari penuturan ahli waris Rumoh Geudong ini dibangun pada tahun 1818 oleh Ampon Raja Lamkuta, putera seorang hulubalang yang tinggal di Rumoh Raya sekitar 200 meter dari Rumoh Geudong. Pada masa penjajahan oleh Belanda, rumah tersebut sering digunakan sebagai tempat pengatur strategi perang yang diprakarsai oleh Raja Lamkuta bersama rekan-rekan perjuangannya.

Namun, Raja Lamkuta akhirnya tertembak dan syahid saat digelarkan aski kepung yang dilakukan oleh tentara marsose di Pulo Syahi, Keumala berkat adanya informasi yang di dapat dari informan (cuak, dalam bahasa Aceh). Jasadnya Raja Lamkuta dikuburkan dipemakaman raja-raja di Desa Aron yang tidak jauh dari Rumoh Geudong.

Tidak berhenti begitu saja perjuangan Raja Lamkuta, adiknya Teuku Cut Ahmad akhirnya mengambil alih lagi ketika baru berusia 15 tahun untuk memimpin perjuangan terhadap Belanda, namun beliau juga syahid ditembak oleh Belanda yang mengepung Rumoh Geudong.

Pada masa-masa berikutnya, Rumoh Geudong ditempati secara berturut-turut oleh Teuku Keujren Rahman, Teuku Keujren Husein, Teuku Keujren Gade. Selanjutnya pada masa Jepang masuk dan menjajah Indonesia hingga merdeka, rumah tersebut ditempati oleh Teuku Raja Umar (Keujren Umar) anak dari Teuku Keujren Husein. Setelah Teuku Raja Umar meninggal, rumah ini ditempati anaknya Teuku Muhammad.

Pengurusan Rumoh Geudong sekaran ini dipercayakan kepada Cut Maidawati anaknya dari Teuku A. Rahman. Teuku A. Rahman mewarisi rumah tersebut berdasarkan musyawarah keluarga, dari ayahnya yang bernama Teuku Ahmad alias Ampon Muda yang merupakan anak Teuku Keujren Gade.

Laksana Peti Mati

Sebelum Rumoh Geudong digunakan sebagai pos militer (Pos Sattis) sejak April 1990. Masih menurut ahli waris, penempatan sejumlah personal aparat militer pada saat itu hanya sementara, tanpa sepengetahuan pemiliknya. Sebenarnya pemilik Rumoh Geudong merasa keberatan, namun para anggota Kopassus yang terlanjur menjadikan rumah tersebut menjadi pos militer sekaligus “rumah tahanan” dan tidak mau pindah lagi.
Baru pada tahun 1996, dibuatlah sebuah surat pinjam pakai rumah yang ditandatangani Muspika setempa, tetapi sayang tanpa ada tanda tangan pemilik rumah. Rumah ini juga terkenal angker karena dihuni oleh makhlus halus, sehingga para anggota aparat yang bertempat disitu sering diganggu.

Memang ikhwal adanya sebuah peti mati yang berisikan kain kafan berlumuran darah di Rumoh Geudong cukup membuat mistis para penghuninya. Dari peti mati inilah sering keluar makhlus halus yang berwujud harimau. Menurut penuturan dari pemilik rumah ini, kain kafan yang berlumuran darah dalam peti tersebut merupakan milik nenek dari hulubalang pemilik Rumoh Geudong yang meninggal dunia karena diperlakukan secara kejam oleh Belanda.

Ada gangguan yang memang dirasakan oleh para aparat di tempat itu, misalnya aparat yang beragama non muslim yang tidur di rumah atas (rumah Aceh), secara tiba-tiba ‘diturunkan’ ke rumah bawah. Pada tahun 1992, sempat terjadi juga penembakan yang dilakukan oleh seorang anggota Kopassus yang menembak mati temannya sendiri karena ia bermimpi didatangi harimau yang menyuruhnya menembak temannya itu.

Karena beberapa peristiwa ini sering mengganggu, aparat militer hanya bertahan beberapa bulan saja di Rumoh Geudong di Desa Bilie Aron dan kemudian terpaksa pindah ke Desa Amud. Namun, karena alasan kurang strategis untuk sebuah pos operasi militer, anggota Kopassus memindahkan lagi posnya dari Amud ke Rumoh Geudong dengan meminta bantuan seorang ulama terkenal, Abu Kuta Krueng untuk memindahkan makhlus halus yang sering menghantui mereka yang berada di dalam peti mati melalui sebuah acara ritual kenduri (hajatan kecil).

Sebelum Ditarik Kopassus Masih Menculik

Selasa 18 agustus 1998, Dua anggota Kopassus masih mencoba menculik keluarga salah seorang korban di Desa Nibong, Ujong Rimba, Kecamatan Mutiara, kendati pasukannya sudah akan ditarik dari Pidie ke Lhokseumawe. Korban penculikan itu adalah keluarga Mohammad Yunus Ahmad, korban penculikan, 28 Maret 1998 lalu yang hingga kini belum kembali. Rumah Yunus di Desa Nibong, didatangi dua anggota Koppasus yang mengendarai mobil Toyota Kijang bernomor polisi BK 1655 LR.

Kopassus semula hendak mengangkut istri Yunus, Ny Zaubaidah Cut (37 tahun). Zaubaidah kebetulan tak ada di rumah. Karena kecewa, Kopassus yang dari Pos Sattis Bilie Aron itu, mengambil ibu Ny. Zaubidah dan seorang anak Yunus yang masih berusia 15 tahun. Karena belum berhasil membawa Ny Zaubaidah, dua anggota Kopassus itu memarkir mobilnya di simpang jalan Blang Malu menunggu kedatangan Ny Zaubaidah.

Penduduk yang mengetahui penculikan ibu, anak dan rencana penculikan Ny Zubaidah, menunggu Ny Zaubaidah di persimpangan lainnya dan mencegat perempuan itu pulang ke rumah. Penduduk kemudian membawa Ny Zaubaidah ke Sub Den-POM, Sigli. Kepala Sub Detasemen Polisi Militer (POM) Sigli Lettu CPM Hartoyo, menelepon Koramil Mutiara agar mobil Kijang Kopassus itu ditahan.

Dua anggota Koramil Mutiara dengan sepeda motor menahan dua anggota Kopassus itu. Petugas Koramil itu kemudian menggiring mobil Kijang Kopassus hingga ke Markas Koramil Mutiara. Namun, sebelum petugas POM datang ke Koramil Mutiara, kedua angota Kopassus sudah kabur. "Saya akan cari mereka itu. Saya belum tahu namanya. Bisa jadi mereka oknum, atau cuak-cuak itu," kata Hartoyo.***

Tak Ada Lagi Jerit Kesakitan Di Rumoh Geudong

Warga sekitar Rumoh Geudong (rumah gedung), markas Kopassus yang dipakai sebagai tempat penahanan dan penyiksaan terhadap masyarakat Aceh, tidak lagi mendengar teriakan kesakitan dan menyaksikan penyiksaan yang dilakukan Kopassus. Perasaan lega masyarakat itu muncul seiring ditariknya pasukan ABRI dari seluruh wilayah Aceh.

"Kami sudah tak sanggup lagi mendengar dan menyaksikan orang-orang disiksa di Rumoh Geudong itu. Kalau malam, tidur kami sering terganggu karena mendengar jeritan-jeritan orang yang disiksa. Atau mendengar lagu-lagu dari tape yang diputar keras-keras waktu penyiksaan," kata seorang warga Desa Aron, tempat marksa Kopassus itu berada. Kepergian Kopassus dari Aron disambut gembira masyarakat sekitar. Namun begitu, pemilik Rumoh Geudong mengeluh. Kopassus meninggalkan tagihan jutaan rupiah untuk rekening telepon.

"Mereka suruh kami menagih pembayarannya sama bupati," kata pemilik rumah itu. Selama operasi Jaring Merah dilancarkan di wilayah itu, Pemda Pidie sudah cukup banyak mengeluarkan dana untuk biaya operasional Kopassus. Dana yang sebenarnya milik rakyat Pidie itu dipakai Kopassus untuk membayar rekening telepon, listrik, sewa rumah, kendaraan, dan sebagainya. "Tragisnya dana milik rakyat itu dipakai Kopassus untuk membunuh, menyiksa dan memperkosa rakyat," ujar seorang warga. ***


Berakhirnya Tanda Luka

Pos Sattis atau lebih dikenal dengan Rumoh Geudong menjadi ‘neraka’ bagi masyrakat Pidie. Meledaknya pengungkapan kejahatan kemanusiaan di rumah yang mempunyai luas tanah 150 x 80 meter yang tidak jauh dari jalan raya Banda Aceh - Medan sungguh telah mengores luka berat. Tidak hanya masyarakat di luar Aceh, bahkan bagi masyarakat Aceh pun kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh aparat negara (Pa’i, -istilah TNI/Polri bagi rakyat Aceh) telah melampaui akal sehat mereka.

Menurut keterangan masyarakat setempat, sejak Maret 1998 sampai DOM dicabut pada tanggal 7 Agustus 1998 (sekitar lima bulan, sebelum rumah itu dibakar massa), Rumoh Geudong telah dijadikan tempat tahanan sekitar lebih dari 50 orang laki-laki dan perempuan yang dituduh terlibat dalam Gerakan Pengacau Keamana-Aceh Merdeka (GPK-AM). Namun, dari penuturan seorang korban, ketika korban yang sempat ditahan di Pos Sattis selama tiga bulan, dia telah menyaksikan 78 orang dibawa ke pos dan mengalami penyiksaan-penyiksaan. Jadi, bisa diperkirakan berapa banyak masyarakat Aceh yang telah disiksa atau pun dieksekusi di tempat ini jika kembali dihitung mulai tahun 1990 sejak pertama kali Pos Sattis digunakan sampai tahun 1998.

Saat Tim Komnas HAM melakukan penyisiran dan penyelidikan ke Rumoh Geudong, tim juga menemukan berbagai barang bukti seperti kabel-kabel listrik, balok kayu berukuran 70 cm yang sebagian telah remuk serta bercak-bercak darah pada dinding-dinding rumah.

Selain itu, tim juga melakukan penyisiran dengan penggalian tanah di halaman Rumoh Geudong yang diduga dijadikan tempat sebagai tempat kuburan massal. Setelah dilakukan penggalian, tim hanya menemukan tulang jari, tangan, rambut kepala dan tulang kaki serta serpihan-serpihan tulang lainnya dari kerangka manusia.

Bagi masyarakat Aceh, kebencian terhadap Rumoh Geudong menjadikan mereka sangat mudah disulut provokasi oknum-oknum yang punya kepentingan untuk memusnahkan bukti kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran HAM yang pernah dterjadi di rumah itu.

Tepat tanggal 12 Agustus 1998, sekitar 30 menit setelah Tim Komnas HAM yang dipimpin oleh Baharudin Lopa meninggalkan lokasi rumah tersebut dalam rangka mencari bukti-bukti kebenaran, akhirnya dibakar oleh massa. Tentu hal ini sangat disayangkan, karena telah hilangnya bukti penanda sejarah atau monumen historis adanya kekejaman dan kejahatan kemanusiaan yang telah terjadi di tempat ini.

Namun, lain lagi menurut ahli waris Rumoh Geudong. Pembakaran rumah tersebut ternyata sejak tahun 1945, pernah dicoba baka oleh sekelompok orang, lagi-lagi hasil itu gagal karena tiba-tiba muncul tiga ekor harimau dari rumah dan menyerang para pelakunya. Dan entah kenapa setelah dijadikan sebagai Pos Sattis oleh aparat, Rumoh Geudong malah justru dapat dibakar.

Menurut penuturan terakhir dari ahli waris, Teuku Djakfar Ahmad: “Mungkin Rumoh Geudong itu sendiri yang ‘minta dibakar’, karena tak ingin sejarahnya ternoda. Kalau dibikin monumen, mungkin orang hanya ingat Rumoh Geudong sebagai tempat pembantaian. Sedangkan sejarah perjuangannnya bisa-bisa dilupakan orang.”

Inilah kisah tragis Rumoh Geudong, pada masa Belanda dan Jepang, rumah besar ini justru menjadi pusat perjuangan membela agama dan merebut kemerdekaan Indonesia. Semoga kisah ini menjadi sebuah sejarah yang tidak pernah dilupakan oleh rakyat Aceh, kenangan yang telah membekas menjadi satu pelajaran yang bisa diambil untuk anak cucu nantinya.

Sumber : The Atjeh Cyber
Read more ...

Wasiët Éndatu


     HÉ PAHLAWAN Kuta Aneuk Galông, Kuta Rèh, Kuta Likat, Kuta Radja, Batèë Iliëk, Bulôh Blang Ara, Puntjeuët, Truséb, Peureulak, saba batjut treuk dikeuë maté. Neukalon ka deuh bintang keumeunangan di langèt, neudjak ladju deungon tjaja bintang hu njan sampo trôih bak watèë uroë meunang neubri lé Po. Uléh Po teuh Allah ka neumeudjandji neubri keumeunangan keu gata, dan kalheuëh ta meudjandji deungon Allah ta saba, maka peupunoh djandji gata deungon Po teuh Allah njan. Allah akan neupeupunoh djandji droëneuhnjan deungon gata.
Bèk sagai-sagai tapiké pluëng dalam haté, sabab demi Allah meunjo tapluëng, maka ka tapluëng nibak keumuliaan njang hana soë laén peulara, nibak keuhormatan njang hana soë laén bila, nibak agama njang akan geumeungadu bak Tuhan ka gadoh umat-geuh, ka tjré-bré ureuëng seutot-geuh.

Gata ka tamuprang deungon saboh bangsa njang kha, teutapi deungon biëk lagèë bubajang, lagèë asap atawa sagôp bak binèh kapai prang, paléng kreuëh lagèë patông, maka handjeuët-han taprang-djih sampoë hantjô, hingga beudédjih hana meuguna, peudeuëngdjih handjeuët djingui.

Awaknjan djimita hudép, gata tamita sjahid, didjih djimita teuga, digata tamita mulia, didjih djimita rampasan mangat djeuët djipeupunoh pruëtdjih sidjeungkai, digata tamita sjurga njang luwaih ubé langèt dan bumoë, maka bèk sagai tatakôt meurumpok deungon awaknjan. Maté hana phét bak babah ureuëng meu-iman.
Geutanjoë tamumat bak Allah, tapeutjaja bak keuadélan dan rahmat Allah. Maka tadjak maté deungon hana sjok, deungon hana wéh-weuëh. Allah han neupeuhina gata; sabab gata nakeuh nibak Bangsa njang beuna.
Titèp darah njoë njang rhô nibak tubôh gata akan djeuët singoh keu apui mirah njang po diateuëh ulèë musôh gata dan geutôt djih trôk'an tutông bandum, dan naph'aih meuh'ah-meuh'ah njang teubiët nibak dada gata hana laén nibak dô'a njang ék keudéh u langèt bak Po teuh Allah njang geusambôt uléh Malaikat dan neuteurimong uléh Po.

Musôh gata ka djipoh aneuk-manjakteuh, ka djiplah pruët inong-teuh, kadjitarék djanggôt ureuëng-tjhik-teuh, maka handjeuëthan tapitjrok dan tapoh maté djih. Peuë lom taprèh?

Djak tapohlawa gudateuh ateuëh kaphé Djawa, djak tapoh djih pat njang na, djak talét djih pat njang meuteumeuëng, djak tamita djih ngon sigala djalan, diateuëh djeuëb2 bumoë, dimijub djeuët2 langèt, tapeureuloh trôk'an bu-djih, ië-djih, lagèë ka djipeureuloh gata dan aneuk peurumoh-teuh, dan waréh-kawôm-teuh. Maté bak tapoh musôh pusaka njang laklém njoë hana sakét.

Takuëh uruëk droëteuh deungon peudeuëngteuh. Uruëk njang geukuëh deungon peudeuëng han keunong apui nuraka.

Bèk tamita rumoh antara dua boh rumoh; bèk tamita nanggroë antara dua boh nanggroë; bèk tamita teumpat antra dua boh udjông: bèk tamita hudép njang leubèh sa deungon maté. Mita hudép sabé, hudép njang keukai atawa maté njang keukai.

Singoh musôh gata akan djigidong-gidong keumuliaan Tanoh gata, akan djitamong u rumoh gata, akan djitjok peurumoh dan aneuk-teuh, djigidong-gidong meuseudjid dan musalla-teuh, deungon tapak gudadjih dan tapak sipatudjih, dan akan djipeudong peurintahdjih ateuëh Tanoh gata deungon djiparôh bangsa gata bandum lagèë leumo dan keubiri dan djipeuhina. Tapeuseulamat droëteuh nibak keuhinaan njoë deungon talawan kaphé Djawai njoë lagèë Tuhan juë dan tamaté sjahid.

Sigeusuën maté siumu-hudépdjih, hudép pahlawan bak geumaté. Beukeumah sabé bak tamaté, mangat tahudép. Demi Allah, ureuëng hina sabantjit lagèë hana djihudép, dan ureuëng mulia hantom maté.

Kapai2 prang njoë njang takalon dji-ikat bak binèh pasi gata, dan meuriam2 njoë njang babahdjih teuhah djipeukeuë ateuëh dada gata, njan bandum handjeuët keu pageuë njang ék tham langkah gata bak tadjak nibak rumoh njoë urumoh djéh, nibak rumoh dônja u rumoh achérat, maka tadjak ladju lagèë biasa nibak naggroë dônja njoë u nanggroë achérat ban Allah teukeudi. Musôh gata, meunjo djih ék djikuasa rot-uëh dônja, djih han ék djikuasa rot-uëh achérat.

Ureuëng njang tém maté, han maté; ureuëng meurdéhka han keumah gob poh; ureuëng njang maté bak pluëng nibak seuëh prang sabé leubèh ramè nibak njang madju peu-ék prang. Meunjo gata meuh'euët tamita hudép, maka tareubôt hudép njan nibak djaroë maté.

Ahli2 Seudjarah dônja ka keumaih deungon kalam bak djaroë uneuën, dan deungon buku teuhah bak djaroë wië, geukeumeuëng pasoë ôn kitab seudjarah njan deungon peuë njang akan gata peubuët djinoë: maka handjeuët-han tapasoë ôn kitab riwajat njoë deungon buët gata njang djroh, njang mupahlawan, lagèë ka geupubuët lé éndatu-teuh.

Beutamaté uroë njoë lagèë ureuëng mulia, jôh goh lom pajah tamaté singoh lagèë ureuëng hina. Maté uroë njoë jôh goh lom pajah tameudô'a beumaté singoh dan hana meuteumeuëng. Njang maté sjahid tjit meutubôh meutuah.

Tamaté uroë njoë sjahid dalam seuëh prang deungon badjèë-teuh keu gaphan, deungon darah-teuh keu ië ,manoë, deungon malaikat wië-uneuën geuseumajang keu tubôh gata, jôh goh lom trôk watèë meusidroë ureuëng hana lé njang djeuët seumajang keu manjèt gata.

Éndatu2 gata mulai nibak Sultan Ali Mughajat Sjah, Po teuh Meureuhôm Iskandar Muda, Sultan Mahmud Sjah, Tengku Tjhik di Tiro Muhammad Saman, Muhammad Amin, Ubaidullah, Mahjèddin dan Maat, Teuku Imum Luëng Bata, Teuku Umar, Tengku di Paja Bakông, Panglima Nanggroë, Panglima Nalan, Potjut Njak Diën, Potjut Meutia, dan bandum panglima2 Atjèh njang kha2, dan rakan2 teuh njang ban sjahid dan ban meusapat lawét njoë deungon éndatu, lagèë Tengku Sjamaun, Tengku Ibrahim Abdullah, Zakaria Hamzah dan Dr. Zubir, dan Asgadi, bandum geungiëng ateuëh gata uroë njoë nibak langèt lambông dan sjurga tinggi, geukeumeung kalon peuë ta peugot keu pusaka njang ka gobnjan keubah dalam djaroë gata: Agama, Bangsa dan Neugara Atjèh Meurdéhka. Maka handjeuët-han tamadju ladju bak buët-teuh: deungon rintjông dalam reugam taplah tabéng maté njang peutjré gata deungon ureuëng njang mulia-mulia that njan, dan takheun bak droëneuhnjan bandum: kamoë meuseutot droëneuh dan peurdjuangan droëneuh teutap kamoë sambông!

"Hudép beusaré Maté beusadjan ,Sikrak gaphan Saboh keureunda"

Panglima samudera pasee (Gurèë Rahman Samudera Pasai)

Read more ...

Jumat, 06 Desember 2013

KISAH "PUTROE NENG" PEMBUNUHAN 99 SUAMI DI MALAM PERTAMA


Sumber :Ilustrasi
NIAN NIO LIAN KHI merupakan komandan perang dari china budha, beliau seorang perempuan yang telah dikalahkan oleh pasukan Meurah Djohan seorang ulama yang berasal dari Kerajaan Islam Pereulak yang pada saat itu mereka berada di Indra Purba yang bercocok tanam di daerah mapraib (daerah Sibreh, Aceh Besar sekarang) dan mereka membuka kebun lada dan merica pada saat itu setelah dikalahkan, jenderal NIAN NIO LIAN KHI masuk islam dan digelar dengan namanya yaitu "PUTROE NENG".

Kekalahan dalam peperangan di Kuta Lingke telah mengubah sejarah hidup Putroe Neng, perempuan cantik dari Negeri Tiongkok. Dari seorang Maharani yang ingin menyatukan sejumlah kerajaan di Pulau Ruja, ia malah menjadi permaisuri dalam sebuah pernikahan politis. Pendiri Kerajaan Darud Donya Aceh Darussalam, Sultan Meurah Johan, menjadi suami pertama Putroe Neng yang kemudian juga menjadi lelaki pertama yang meninggal dunia di malam pertama.

Tubuh Sultan Meurah Djohan ditemukan membiru setelah melewati percintaan malam pertama yang selesai dalam waktu begitu cepat. Menikahi Putroe Neng yang cantik jelita merupakan sebuah kebanggaan bagi banyak lelaki bangsawan Aceh ketika itu. Kebanggaan itu sering dilampiaskan dalam kalimat, “Nanti malam aku akan tidur dengan Putroe Neng.” Namun, hampir tidak ada lelaki yang berhasil mengatakan, “Tadi malam aku tidur dengan Putroe Neng.” Malam pertama selalu menjadi malam terakhir bagi 99 lelaki yang menjadi suami Putroe Neng.

PUTROE NENG DAN KEMATIAN 99 SUAMINYA

Sebagian masyarakat Aceh mendengar kisah Putroe Neng dari penuturan orang tua. Konon Putroe Neng memiliki 100 suami dari kalangan bangsawan Aceh. Setiap suami meninggal pada malam pertama ketika mereka bercinta, karena alat kewanitaan Putroe Neng mengandung racun. Kematian demi kematian tidak menyurutkan niat para lelaki untuk memperistri perempuan itu. Padahal, tidak mudah bagi Putroe Neng untuk menerima pinangan setiap lelaki. Ia memberikan syarat berat seperti mahar yang tinggi atau pembagian wilayah kekuasaan (Ali Akbar, 1990).

Suami terakhir Putroe Neng adalah Syekh Syiah Hudam yang selamat melewati malam pertama dan malam-malam berikutnya. Ia adalah suami ke-100 dari perempuan cantik bermata sipit tersebut. Sebelum bercinta dengan Putroe Neng, Syiah Hudam berhasil mengeluarkan bisa dari alat genital Putroe Neng. Racun tersebut dimasukkan ke dalam bambu kecil dan dipotong menjadi dua bagian. "Satu bagian dibuang ke laut, dan bagian lainnya dibuang ke gunung," tutur penjaga makam Putroe Neng, bernama Cut Hasan.

Konon, Syiah Hudam memiliki ilmu penawar racun sehingga ia bisa selamat. Setelah racun tersebut keluar, cahaya kecantikan Putroe Neng dari hari ke hari mulai meredup. Sampai tiba pada kematiannya, dia tidak mempunyai keturunan. Sulit mencari referensi tentang Putroe Neng. Sejumlah buku menyebutkan dia bernama asli Nian Nio Liang Khie, seorang laksamana dari China yang datang ke Sumatera untuk menguasai sejumlah kerajaan. Bersama pasukannya, ia berhasil menguasai tiga kerajaan kecil; yaitu Indra Patra, Indra Jaya, dan Indra Puri yang kini masuk dalam wilayah Kabupaten Aceh Besar. Beberapa benteng bekas ketiga kerajaan tersebut masih dapat kita lihat di Aceh Besar sampai sekarang.

Namun, Laksamana Nian Nio kalah ketika hendak menaklukkan Kerajaan Indra Purba yang meminta bantuan kepada Kerajaan Peureulak. Bantuan yang diberikan Kerajaan Peureulak adalah pengiriman tentara yang tergabung dalam Laskar Syiah Hudam pimpinan Syekh Abdullah Kana'an. Jadi, Syiah Hudam sesungguhnya adalah nama angkatan perang yang menjadi nama populer Abdullah Kana'an. Merujuk sejarah, pengiriman bala bantuan itu terjadi pada tahun 1180 Masehi. Bisa disimpulkan pada masa itulah Putroe Neng hidup, tetapi tak diketahui pasti kapan meninggal dan bagaimana sejarahnya sampai makamnya terdapat di Desa Blang Pulo, Kota Lhokseumawe.

Meski tak bisa menunjukkan makamnya, di mata Cut Hasan kematian 99 suami Putroe Neng bukanlah mitos. Ia mengaku mengalami beberapa hal gaib selama menjadi penjaga makam. Ia bermimpi berjumpa dengan Putroe Neng dan dalam mimpi itu diberikan dua keping emas. Paginya, Cut Hasan benar-benar menemukan dua keping emas berbentuk jajaran genjang dengan ukiran di setiap sisinya. Satu keping dipinjam seorang peneliti dan belum dikembalikan. Sementara satu keping lagi masih disimpannya sampai sekarang.

Menurut budayawan Aceh, Syamsuddin Djalil alias Ayah Panton, kisah kematian 99 suami hanya legenda meski nama Putroe Neng memang ada. Menurutnya, kematian itu adalah tamsilan bahwa Putroe Neng sudah membunuh 99 lelaki dalam peperangan di Aceh.

"Sulit ditelusuri dari mana muncul kisah tentang kemaluan Putroe Neng mengandung racun," ujar Syamsuddin Jalil saat ditemui di rumahnya di Kota Pantonlabu, Aceh Utara.

Makam Putroe Neng yang terletak di pinggir Jalan Medan-Banda Aceh (trans-Sumatera), memang sarat dengan kisah mistik. Misalnya, ada kisah seorang guru SMA yang meninggal setelah mengambil foto di makam tersebut. Ada juga yang mengaku melihat siluet putih dalam foto tersebut atau foto yang diambil tidak memperlihatkan gambar apa pun.

Sayangnya, berbagai kisah mistik itu, plus legenda kematian 99 suami Putroe Neng pada malam pertama, tidak menjadikan makam tersebut menjadi lokasi wisata religi sebagaimana makam Sultan Malikussaleh di Desa Beuringen Kecamata Samudera, Aceh Utara.

Sekitar 200 meter arah selatan makam Putroe Neng, terdapat makam suami ke-100, Syiah Hudam yang terletak di atas bukit perbukitan. Jalan menuju Makam Syiah Hudam sangat tersembunyi, sehingga pengunjung harus bertanya kepada masyarakat setempat karena memang tidak ada penunjuk jalan.
Read more ...
Designed By