Breaking News

Blogger Template

Jumat, 25 Oktober 2013

Kenapa DR. Tgk Hasan Muhammad di Tiro Berontak





Oleh Dr. Phil. H. Munawar A. Djalil
UNTUK kedua kalinya “Wali Nanggroe” Tgk, Hasan Tiro kembali ke Aceh setelah oktober 2008 lalu. Kepulangannya kali ini sekedar bersilaturrahmi pasca MoU. Begitu pun menarik dikaji meskipun pertikaian antara GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dengan Pemerintah Republik Indonesia, sudah damai ditandai penandatangan Memorandum of Understanding pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki Finlandia.

Tentang motivasi penyebab pemberontakan yang digagas oleh Hasan Tiro tersebut, tentu masih layak diketahui umum. Dokumen tentang berkait dengan pemberontakan GAM sendiri masih sangat sedikit. Dan setelah saya analisis, dari beberapa dokumen, setidaknya ada tiga alasan yang melatari Hasan Tiro berontak. Sebelumnya saya urai secara singkat satu perkembangan amat penting dalam sejarah Aceh yang merupakan punca utama kesalahfahaman dalam menafsirkan sejarah Aceh, yaitu penandatanganan “Traktat London” antara Belanda dengan Inggris. Dalam perjanjian itu kedaulatan Inggris di Sumatera diserahkan kepada Belanda, dan sebaliknya Belanda menyerahkan tanah jajahannya di India dan Singapura kepada Inggris.

Bagaimanapun pada masa itu Belanda setuju mengakui Aceh sebagai sebuah negara merdeka. Pengakuan Belanda itu tidak diinginkan oleh Inggris. Maka pada tahun 1871 Inggris memberi restu kepada Belanda untuk mengadakan penjajahan terhadap Aceh. Hal itu menyebabkan Belanda mengumumkan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873. (Lihat buku R.O. Winstedt ( 1935), A History of Malaya).

Perang antara Aceh dengan Belanda sebagai riwayat peperangan yang panjang dan menelan korban paling banyak. Pihak Belanda meminta bantuan tentera dari Amerika Serikat untuk menggempur Aceh, namun ketika pemerintah AS menolak karena menganggap Aceh adalah satu bangsa merdeka. Aceh sejak dulu telah ada hubungan baik dengan AS, baik bidang perdagangan maupun hubungan diplomatik. Sedangkan Turki telah mengirimkan bala tenteranya untuk membantu peperangan Aceh. Fakta sejarah ini menunjukkan bahwa Aceh adalah sebagai sebuah negara merdeka dan berdaulat.

Ada tiga alasan kenapa Tgk. Hasan Tiro berontak. Pertama, menurut Hasan Tiro ketika Hindia Belanda berubah menjadi Indonesia, Aceh tidak secara otomatis menjadi wilayah yang diserahkan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS). RIS adalah negara-negara federasi yang dibentuk Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hubertus. J. Van Mook yaitu wilayah-wilayah yang telah takluk kepada Pemerintah Belanda, dan wilayah Aceh ketika itu tidak bisa dikuasai Belanda. RIS terbentuk hasil kesepakatan tiga pihak dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag yaitu Republik Indonesia, Bijeekomst Voor Federaal Overleg (BFO) dan Belanda yang disaksikan oleh United Nations Commission For Indonesia (UNCI). Aceh tidak pernah disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara RIS (Republik Indonesia Serikat) 14 Desember 1949. Dalam pasal 2 Undang-undang Dasar RIS tidak menyebutkan Aceh sebagai bagian dari RIS ataupun negara bagian Indonesia. Menurut pasal 65 UUD RIS, suatu wilayah dianggap sebagai bagian daripada suatu negara mesti ada kontrak antara keduanya.

Aceh tidak pernah ada kontrak yang sah dengan negara bagian Indonesia. Berbeda dengan Kesultanan Yogjakarta dan Paku Alam. Pecahan kerajaan Jawa Mataram itu, pada tanggal 19 Agustus 1945 yang mengadakan sidang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang ketika itu bernama Yogjakarta Kooti Kokootai. Di situlah diputuskan bahwa wilayah Yokjakarta dan Paku Alam sebagai bagian daripada Negara Indonesia. Bagaimanapun pada 27 Desember 1949, pihak Belanda yang tidak pernah menaklukan Aceh telah menandatangani “satu perjanjian” yaitu memberi hak kepada Indonesia untuk menguasai Aceh dan wilayah-wilayah lain di luar pulau Jawa.

Menurut pemikiran politik Teungku Hasan Tiro, perjanjian antara Belanda dan Jawa inilah yang menjadi alat pemindahan kekuasaan Belanda kepada RIS, dan yang menjadi sumber kekuasaan RIS terhadap Aceh. Menurut hukum internasional pemindahan kekuasaan itu tidak sah karena Belanda sebagai penjajah tidak mempunyai apa-apa hak legal atas tanah-tanah yang dirampas, maka Indonesia pun tidak punya hak legal atas tanah Aceh. Karena Aceh secara sejarah tidak pernah menyerahkan kedaulatannya kepada Hindia Belanda sehingga Aceh sampai kini masih berdaulat.

Kedua, alasan yang didasarkan kepada konvensi PBB. Artikel 1, bagian 2 dan 55, Piagam Hak Bangsa-bangsa (Universal Declaration of The Rights of The People), pasal 5,6 dan 11, Piagam Hak-hak Asasi manusia, Piagam Hak Ekonomi, Kemasyarakatan dan Kebudayaan (International Covenant of Economic, Social and Cultural Rights), dan menurut Piagam Hak Umum dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights), disebutkan “semua bangsa di dunia mempunyai hak menentukan nasib diri sendiri dan hak kemerdekaan” Menurut Hasan Tiro pula, Aceh beradasarkan resolusi PBB No: 1514 - XV yang dihasilkan pada 14 Desember 1960 mengenai: “Declaration of the Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples”.

Ada tiga perkara penting dalam resolusi itu; Kedaulatan atas tanah jajahan tidak berada ditangan penjajah, melainkan berada di tangan bangsa asli dari jajahannya. Kedaulatan suatu negara tidak dapat dipindah / diserahkan oleh penjajah kepada penjajah yang lain. Semua kekuasaan wajib dikembalikan oleh penjajah kepada bangsa asli dari tanah jajahannya. Negara Aceh yang didekralasi oleh Teungku Hasan Tiro pada 4 Desember 1976 adalah gagasannya sejak Januari 1965. Sejak itu beliau berpendapat bahwa negara Aceh adalah negara yang telah ada sejak dulu dengan keluasan wilayah yang sama, menjalankan dasar hukum yang sama, dengan sistem negara yang sama, yaitu Islam.

Itulah hakikat ideologi perjuangan GAM sejak digagas Hasan Tiro. Malah ketika dekade 50-an Hasan Tiro pernah menggegerkan Indonesia dengan satu ide dalam buku Demokrasi Untuk Indonesia, bahwa Pancasila sebagai asas negara Indonesia bukanlah falsafah, ia hanya sebagai lambang yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Oleh karena itu ia berpendapat bahwa Islamlah yang dijadikan falsafah hidup dan ideologi negara karena ia hidup dan berakar dalam masyarakat Indonesia. Dengan mengakui Islam sebagai asas persatuan Indonesia, tidaklah berarti menafikan golongan rakyat Indonesia yang beragama non-muslim.

Idiologi Islam Hasan Tiro tersebut menjadi sisi penting di tengah mainstream penolakan asas Islam bagi mantan kombatan GAM yang mendeklarasikan partai politik lokal (Partai Aceh) beberapa waktu lalu sebagai transformasi perjuangan dari gerakan bersenjata ke perjuangan politik. Meski ada juga pihak yang tidak kaget atas sikap “anak buah” Hasan Tiro, karena dianggap pandangan politik Hasan Tiro itu adalah sikapnya pada masa awal pemberontakan guna mendapat dukungan tokoh-tokoh ulama, khususnya mantan pejuang DI/TII pimpinan Abu Beureu-eh.

Ketiga, alasan realitas sosial orang Aceh. Sejumlah pengamat mengatakan, pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di Aceh disebabkan oleh tidak adanya keadilan yang dirasakan oleh orang Aceh. Perkara inilah yang menjadi alasan utama Hasan Tiro untuk memerdekakan Aceh (berontak). Jadi bukan semata-mata aspek sejarah dan hukum. Bagi pihak yang kontra dengan Hasan Tiro menyebutkan bahwa keinginan Teungku Hasan Tiro untuk memproklamirkan kembali kemerdekaan Aceh sangat bersifat pribadi. Hasan Tiro disebut kecewa terhadap pemerintah Muzakir Walad (Gubernur Aceh) yang tidak memberikan kesempatan menjadi kontraktor pembangunan proyek tambang gas Arun kepadanya di Aceh pertengahan 1974 lalu. Tentu saja alasan ini dibantah oleh para petinggi GAM, dan menyebutnya sebagai propaganda pemerintah Indonesia untuk menjatuhkan reputasi Hasan Tiro dan GAM di mata rakyat Aceh dan masyarakat dunia.

Syahdan, pemberontakan GAM selama 30 tahun hakikatnya adalah manifestasi dari pemikiran Hasan Tiro. Bahwa perjuangan GAM untuk mewujudkan negara bersambung (successor state). Aceh sebagai satu Kerajaan yang pernah ada dalam catatan sejarah negara-negara di dunia. Namun apa nyana, lahirnya MoU Helsinki untuk damai di Aceh dan UUPA sebagai peraturan organik telah menguburkan semua doktrin sejarah dan hukum bahwa Aceh sebagai negara berdaulat. Sebab dalam alinia kedua mukaddimah MoU Helsinki, disebutkan bahwa Aceh adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan masyarakat Aceh adalah Warga Negara Republik Indonesia. Hanya saja sebagai satu peristiwa sejarah dan politik, gagasan Hasan Tiro yang berwujud dalam sebuah Gerakan Aceh Merdeka patut terus didiskusikan. Allahu ‘Alam

* Penulis adalah penulis buku Hasan Tiro Berontak; Antara Alasan Historis, Yuridis dan Realitas Sosia
Read more ...

Rabu, 23 Oktober 2013

SULTAN MALIKUSSALEH (Sultan Malik Al Saleh)





          Berdasarkan berita Marcopolo (th 1292) dan Ibnu Batutah (abad 13). Pada tahun 1267 telah berdiri kerajaan Islam pertama di Indonesia, yaitu kerajaan Samudra Pasai. Hal ini juga dibuktikan dengan adanya Batu nisan makam Sultan Malik Al Saleh (th 1297) Raja pertama Samudra Pasai.Kesultanan Samudera Pasai, juga dikenal dengan Samudera, Pasai, atau Samudera Darussalam, adalah kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatera, kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe, Aceh Utara sekarang.
Kerajaan Samudra Pasai berdiri sekitar abad 13 oleh Nazimuddin Al Kamil, seorang laksamana laut Mesir. Pada Tahun 1283 Pasai dapat ditaklukannnya, kemudian mengangkat Marah Silu menjadi Raja Pasai pertama dengan gelar Sultan Malik Al Saleh (1285 - 1297). Makam Nahrasyiah Tri Ibnu Battutah, musafir Islam terkenal asal Maroko, mencatat hal yang sangat berkesan bagi dirinya saat mengunjungi sebuah kerajaan di pesisir pantai timur Sumatera sekitar tahun 1345 Masehi. Setelah berlayar selama 25 hari dari Barhnakar (sekarang masuk wilayah Myanmar), Battutah mendarat di sebuah tempat yang sangat subur. Perdagangan di daerah itu sangat maju, ditandai dengan penggunaan mata uang emas. Ia semakin takjub karena ketika turun ke kota ia mendapati sebuah kota besar yang sangat indah dengan dikelilingi dinding dan menara kayu. Kota perdagangan di pesisir itu adalah ibu kota Kerajaan Samudera Pasai. Samudera Pasai (atau Pase jika mengikuti sebutan masyarakat setempat) bukan hanya tercatat sebagai kerajaan yang sangat berpengaruh dalam pengembangan Islam di Nusantara. Pada masa pemerintahan Sultan Malikul Dhahir, Samudera Pasai berkembang menjadi pusat perdagangan internasional.
Pelabuhannya diramaikan oleh pedagang-pedagang dari Asia, Afrika, Cina, dan Eropa.
Kejayaan Samudera Pasai yang berada di daerah Samudera Geudong, Aceh Utara, diawali dengan penyatuan sejumlah kerajaan kecil di daerah Peurelak, seperti Rimba Jreum dan Seumerlang. Sultan Malikussaleh adalah salah seorang keturunan kerajaan itu yang menaklukkan beberapa kerajaan kecil dan mendirikan Kerajaan Samudera pada tahun 1270 Masehi.Makam Abdullah ibnu Muhammad ibnu Abdul Kadir Ia menikah dengan Ganggang Sari, seorang putri dari kerajaan Islam Peureulak. Dari pernikahan itu, lahirlah dua putranya yang bernama Malikul Dhahir dan Malikul Mansyur. Setelah keduanya beranjak dewasa, Malikussaleh menyerahkan takhta kepada anak sulungnya Malikul Dhahir. Ia mendirikan kerajaan baru bernama Pasai. Ketika Malikussaleh mangkat, Malikul Dhahir menggabungkan kedua kerajaan itu menjadi Samudera Pasai.
Dalam kisah perjalanannya ke Pasai, Ibnu Battutah menggambarkan Sultan Malikul Dhahir sebagai raja yang sangat saleh, pemurah, rendah hati, dan mempunyai perhatian kepada fakir miskin. Meskipun ia telah menaklukkan banyak kerajaan, Malikul Dhahir tidak pernah bersikap jemawa. Kerendahan hatinya itu ditunjukkan sang raja saat menyambut rombongan Ibnu Battutah. Para tamunya dipersilakan duduk di atas hamparan kain, sedangkan ia langsung duduk di tanah tanpa beralas apa-apa.
Dengan cermin pribadinya yang begitu rendah hati, raja yang memerintah Samudera Pasai dalam kurun waktu 1297- 1326 M ini, pada batu nisannya dipahat sebuah syair dalam bahasa Arab, yang artinya, ini adalah makam yang mulia Malikul Dhahir, cahaya dunia sinar agama. Tercatat, selama abad 13 sampai awal abad 16, Samudera Pasai dikenal sebagai salah satu kota di wilayah Selat Malaka dengan bandar pelabuhan yang sangat sibuk. Bersamaan dengan Pidie, Pasai menjadi pusat perdagangan internasional dengan lada sebagai salah satu komoditas ekspor utama.
Saat itu Pasai diperkirakan mengekspor lada sekitar 8.000- 10.000 bahara setiap tahunnya, selain komoditas lain seperti sutra, kapur barus, dan emas yang didatangkan dari daerah pedalaman. Bukan hanya perdagangan ekspor impor yang maju. Sebagai bandar dagang yang maju, Samudera Pasai mengeluarkan mata uang sebagai alat pembayaran. Salah satunya yang terbuat dari emas dikenal sebagai uang dirham.
Hubungan dagang dengan pedagang-pedagang Pulau Jawa juga terjalin. Produksi beras dari Jawa ditukar dengan lada. Pedagang-pedagang Jawa mendapat kedudukan yang istimewa di pelabuhan Samudera Pasai. Mereka dibebaskan dari pembayaran cukai.Perdagangan Selain sebagai pusat perdagangan, Pasai juga menjadi pusat perkembangan Islam di Nusantara. Kebanyakan mubalig Islam yang datang ke Jawa dan daerah lain berasal dari Pasai.
Eratnya pengaruh Kerajaan Samudera Pasai dengan perkembangan Islam di Jawa juga terlihat dari sejarah dan latar belakang para Wali Songo. Sunan Kalijaga memperistri anak Maulana Ishak, Sultan Pasai. Sunan Gunung Jati alias Fatahillah yang gigih melawan penjajahan Portugis lahir dan besar di Pasai. Laksamana Cheng Ho tercatat juga pernah berkunjung ke Pasai. Situs Kerajaan Islam Samudera Pasai ini sempat sangat terkenal di tahun 1980-an, sebelum konflik di Aceh semakin memanas dan menyurutkan para peziarah. Menurut Yakub, juru kunci makam Sultan Malikussaleh, nama besar sang sultan turut mengundang rasa keingintahuan para peziarah dari Malaysia, India, sampai Pakistan. "Negara-negara itu dulunya menjalin hubungan dagang dengan Pasai," tutur Yakub. Sejarah Pasai yang begitu panjang masih bisa ditelusuri lewat sejumlah situs makam para pendiri kerajaan dan
keturunannya di makam raja-raja itu. Makam itu menjadi saksi satu-satunya karena peninggalan lain seperti istana sudah tidak ada. Makam Sultan Malikussaleh dan cucunya, Ratu Nahrisyah, adalah dua kompleks situs yang tergolong masih terawat.
makam Malikal Zahir Menurut Snouck Hurgronje, hubungan langsung Arab dengan Indonesia baru berlangsung abad 17 pada masa kerajaan Samudra Pasai, Banten, Demak dan Mataram Baru. Samudra Pasai sebelum menjadi kerajaan Islam merupakan kota pelabuhan yang berada dalam kekuasaan Majapahit, yang pada masa itu sedang mengalami kemunduran. Setelah dikuasai oleh pembesar Islam, para pedagang dari Tuban, Palembang, malaka, India, Cina dan lain-lain datang berdagang di Samudra Pasai. Menurut Ibnu Batutah: Samudera Pasai merupakan pelabuhan terpenting dan Istana Raja telah disusun dan diatur secara indah berdasarkan pola budaya Indonesia dan Islam.
Kehidupan masyarakat Samudera Pasai diwarnai oleh agama dan kebudayaan Islam. Pemerintahnya bersifat Theokrasi (berdasarkan ajaran Islam) rakyatnya sebagiab besar memeluk agama Islam. Raja raja Pasai membina persahabatan dengan Campa, India, Tiongkok, Majapahit dan Malaka. Pada tahun 1297 Malik Al saleh meninggal, dan digantikan oleh putranya Sultan Muhammad (th 1297 – 1326) lebih dikenal dengan nama Malik Al Tahir, penggantinya Sultan Ahmad (th 1326 – 1348), juga pakai nama Malik Al Tahir, penggantinya Zainal Abidin. Raja Zainal Abidin pada tahun 1511 terpaksa melarikan diri dan meninggalkan tahtanya berlindung di Majapahit, karena masih saudara raja Majapahit. Hal ini berarti hubungan kekerabatan Raja Samudra Pasai dengan Raja Majapahit terbina sangat baik, menurut berita Cina disebutkan pertengahan abad 15, Samudra Pasai masih mengirimkan utusannya ke Cina sebagai tanda persahabatan.makam Naina Hisana bin Naina Fatahilah, ulama terkemuka Pasai menikah dengan adik Sultan Trenggono(raja Demak/adik Patih Unus/anak Raden Patah). Fatahilah berhasil merebut Sunda Kelapa (22 Juni 1522) berganti nama menjadi Jayakarta, juga Cirebon dan
Banten.

Disarikan dari berbagai sumber

Read more ...

PANGGILAN KEHORMATAN



Walaupun kita tidak dapat lagi menguasai masa silam kita, tetapi kita masih dapat menguasai masa depan kita. Ahli-ahli sejarah memandang bahwa masa depan itu adalah kelanjutan dan perkembangan dari masa silam, tetapi dalam perkembangan dan kelanjutan ini termasuk juga kemauan, keinginan, maksud dan rencana kita sekarang. Masa depan kita untuk sebahagian besarnya bergantung pada apa yang kita lakukan pada masa sekarang. Kita dapat mengobah keadaan dan penghidupan bangsa kita yang morat-marit sekarang; kita dapat melemparkan belenggu-belenggu penjajahan Jawa; kita dapat mencapai hak menentukan nasib diri sendiri, jika kita sadar pada kepentingan bangsa kita, jika kita sadar pada kepentingan bangsa kita, jika sadar pada sejarah kita, dan pada adat istiadat kita. Tetapi suatu bangsa yang sudah hilang ingatannya, yang sudah melupakan sejarahnya, yang sudah meninggalkan adat-istiadatnya, yang tidak memahami kepentingan bangsanya sendiri, bangsa semacam ini tidak akan memperoleh hak menentukan nasib diri sendiri lagi, mereka sudah masak untuk dijajah dan diperbudakkan. Bangsa yang semacam ini sudah seperti kapal tidak berkemudi, seperti orang tidak mempunyai ingatan, tidak lagi berjalan menuju sesuatu tujuan yang tertentu dan pasti-pasti, tetapi hanya hanyut dengan tak tentu arah tujuannya. Dan mereka yang hanyut sudah kehilangan kendali atas masa-depannya sebagaimana atas masa silamnya.
Perjuangan untuk mencapai kemerdekaan dan hak menetukan nasib diri sendiri bukanlah suatu perjuangan yang sia-sia. Pertanda sejarah dalam abad yang lalu, abad ke - 19, memang menunjukkan kemenangan bagi kaum kolonialis karena pada waktu itu Hukum Internasioanl belum dijalankan, PBB belum dilahirkan; tetapi pertanda sejarah dalam abad ke-20 ini menunjukkan kemenangan yang gilang-gemilang bagi setiap gerakan kemerdekaan disegala benua, dan kekalahan yang mutlak bagi semua kaum kolonialis dalam usaha mempertahankan jajahan mereka.
Saat sejarah untuk menyatakan kemerdekaan Acheh-Sumatra, Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Bali, Sunda, Papua dan lain-lain sudah tiba di tengah-tengah kita. Kita sekarang sedang berhadap-hadapan muka dengan saat sejarah ini. Kita harus mempergunakan sa'at ini untuk menyatakan kemerdekaan kita dari kolonialisme Jawa dan mengambil kembali segala hak pusaka milik kita. Marilah kita mempergunakan kesempatan saat sejarah ini untuk membela kehormatan kita dan untuk memelihara masa depan anak keturunan kita dengan memerdekakan Tanah Ibu kita masing-masing dari penindasan kolonialis Jawa.
"Kebahagiaan hidup kita bergantung pada kemerdekaan, dan kemerdekaan bergantung pada keberanian", kata Pericles, 4000 tahun yang lalu. Apakah kita berani merdeka? Kemerdekaan sudah mengetok dipintu! Marilah kita buka pintu untuk MERDEKA!

Tengku Hasan M. di Tiro
New York, 3 Januari, 1965


Read more ...

Rabu, 02 Oktober 2013

ACEH UTARA


Sejarah Aceh Utara tidak dapat dilepaskan dari sejarah perkembangan Kerajaan Islam di pesisir Sumatera yaitu Samudera Pasai yang terletak di Kecamatan Samudera Geudong yang merupakan tempat pertama kehadiran Agama Islam di kawasan Asia Tenggara.  Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh mengalami pasang surut, mulai dari zaman Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, kedatangan Portugis ke Malaka pada tahun 1511 sehingga 10 tahun kemudian Samudera Pasai turut diduduki, hingga masa penjajahan Belanda.
Secara de facto Belanda menguasai Aceh pada tahun 1904, yaitu ketika Belanda dapat menguasai benteng pertahanan terakhir pejuang Aceh Kuta Glee di Batee Iliek di Samalanga. Dengan surat Keputusan Vander Geuvemement General Van Nederland Indie tanggal 7 September 1934,  Pemerintah Hindia Belanda membagi Daerah Aceh atas 6 (enam) Afdeeling (Kabupaten) yang dipimpin seorang Asistent Resident, salah satunya adalah Affleefing Noord Kust Van Aceh (Kabupaten Aceh Utara) yang meliputi Aceh Utara sekarang ditambah Kecamatan Bandar Dua yang kini telah termasuk Kabupaten Pidie (Monografi Aceh Utara tahun 1986, BPS dan BAPPEDA Aceh Utara).
Afdeeling Noord Kust Aceh dibagi dalam 3 (tiga) Onder Afdeeling (Kewedanaan) yang dikepalai seorang Countroleur (Wedana) yaitu :
1. Onder Afdeeling Bireuen
2. Onder Afdeeling Lhokseumawe
3. Onder Afdeeling Lhoksukon
Selain Onder Afdeeling tersebut terdapat juga beberapa Daerah Ulee Balang (Zelf Bestuur) yang dapat memerintah sendiri terhadap daerah dan rakyatnya yaitu Wee Balang Keuretoe, Geurogok, Jeumpa, dan Peusangan yang diketuai oleh Ampon Chik.
Pada masa pendudukan Jepang istilah Afdeeling diganti dengan Bun, Onder Afdeeling disebut Gun, Zelf Bestuur disebut Sun, Mukim disebut Kun dan Gampong disebut Kumi. Sesudah Indonesia diproklamirkan sebagai Negara Merdeka, Aceh Utara disebut Luhak yang dikepalai oleh seorang Kepala Luhak sampai dengan tahun 1949. Melalui Konfrensi Meja Bundar, pada 27 Desember 1949 Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia dalam bentuk Negara Republik Indonesia Serikat yang terdiri dari beberapa negara bagian. Salah satunya adalah Negara Bagian Sumatera Timur. Tokoh-tokoh Aceh saat itu tidak mengakui dan tidak tunduk pada RIS tetapi tetap tunduk pada Negara Republik Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Republik Indonesia Serikat kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia dan berlaku Undang Undang Sementara 1950 seluruh negara bagian bergabung dan statusnya berubah menjadi propinsi. Aceh yang pada saat itu bukan negara bagian, digabungkan dengan Propinsi Sumatera Utara. Dengan Undang Undang Darurat Nomor 7 tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom setingkat Kabupaten di Propinsi Sumatera Utara, terbentuklah Daerah Tingkat II Aceh Utara yang juga termasuk dalam wilayah Propinsi Sumatera Utara.
Keberadaan Aceh di bawah Propinsi Sumatera Utara menimbulkan rasa tidak puas pada para tokoh Aceh yang menuntut agar Aceh tetap berdiri sendiri sebagai propinsi dan tidak berada di bawah Sumatera Utara.  Tetapi ide ini kurang didukung oleh sebagian masyarakat Aceh terutama yang berada di luar Aceh.
Keadaan ini menimbulkan kemarahan tokoh Aceh dan memicu terjadinya pemberontakan DIMI pada tahun 1953. Pemberontakan ini baru padam setelah datang Wakil Perdana Menteri Mr Hardi ke Aceh yang dikenal dengan Missi Hardi dan kemudian menghasilkan Daerah Istimewa Aceh. Dengan Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor I/ Missi / 1957, lahirlah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Dengan sendirinya Kabupaten Aceh Utara masuk dalam wilayah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Berdasarkan Undang Undang Nomor I tahun 1957 dan Keputusan Presiden Nomor 6 tahun 1959.
Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Utara terbagi dalam 3 (tiga) Kewedanaan yaitu :
1. Kewedanaan Bireuen terdiri atas 7 kecamatan
2. Kewedanan Lhokseumawe terdiri atas 8 Kecamatan
3. Kewedanaan Lhoksukon terdiri atas 8 kecamatan
Dua tahun kemudian keluar Undang Undang Nomor 18 tahun 1959 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Berdasarkan UU tersebut wilayah kewedanaan dihapuskan dan wilayah kecamatan langsung di bawah Kabupaten Daerah Tingkat II. Dengan surat keputusan Gubemur Kepala Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor: 07 / SK / 11 / Des/ 1969 tanggal 6 Juni 1969, wilayah bekas kewedanaan Bireuen ditetapkan menjadi daerah perwakilan Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Utara yang dikepalai seorang kepala perwakilan yang kini sudah menjadi Kabupaten Bireun.
Hampir dua dasawarsa kemudian dikeluarkan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, sebutan Kepala Perwakilan diganti dengan Pembantu Bupati Kepala Daerah Tingkat II, sehingga daerah perwakilan Bireuen berubah menjadi Pembantu Bupati Kepala Daerah Tingkat II Aceh Utara di Bireuen.
Dengan berkembangnya Kabupaten Aceh Utara yang makin pesat, pada tahun 1986 dibentuklah Kotif (Kota Administratif) Lhokseumawe dengan peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1986 yang membawahi 5 kecamatan. Dan berdasarkan Kep Mendagri Nomor 136.21-526 tanggal 24 Juni 1988 tentang pembentukan wilayah kerja pembantu Bupati Pidie dan Pembantu Bupati Aceh Utara dalam wilayah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, maka terbentuklah Pembantu Bupati Aceh Utara di Lhoksukon, sehingga pada saat ini Kabupaten Aceh Utara terdiri dari 2 Pembantu Bupati, 1 kota administratip, 26 wilayah kecamatan yaitu 23 kecamatan yang sudah ada ditambah dengan 3 kecamatan pemekaran baru.
Sebagai penjabaran dari UU nomor 5 tahun 1974 pasal 11 yang menegaskan bahwa titik berat otonomi daerah diletakkan pada daerah tingkat II maka pernerintah melaksanakan proyek percontohan otonomi daerah. Aceh Utara ditunjuk sebagai daerah tingkat II percontohan otonomi daerah.
Pada tahun 1999 Kabupaten Aceh Utara yang terdiri dari 26 Kecamatan dimekarkan lagi menjadi 30 kecamatan dengan menambah empat kecamatan baru berdasarkan PP Republik Indonesia Nomor 44 tahun 1999.Seiring dengan pemekaran kecamatan baru tersebut, Aceh Utara harus merelakan hampir sepertiga wilayahnya untuk menjadi kabupaten baru, yaitu Kabuparten Bireuen berdasarkan Undang Undang nomor 48 tahun 1999. Wilayahnya mencakup bekas wilayah Pembantu Bupati di Bireuen.
Kemudian pada Oktober 2001, tiga kecamatan dalam wilayah Aceh Utara, yaitu Kecamatan Banda Sakti, Kecamatan Muara Dua, dan Kecamatan Blang Mangat dijadikan Kota Lhokseumawe. Saat ini Kabupaten Aceh Utara dengan luas wilayah sebesar 3.296,86 Km2 dan berpenduduk sebanyak 477.745 jiwa membawahi 27 kecamatan.


Aceh Utara hingga tahun 2006 memiliki 850 desa dan 2 kelurahan, yang terbagi ke dalam 56 buah mukim. Sebanyak 780 buah desa berada di kawasan dataran dan 72 desa di kawasan berbukit. Desa yang terletak di daerah berbukit dijumpai di 12 kecamatan. Yang paling banyak desanya di kawasan perbukitan adalah di Kecamatan Sawang, Syamtalira Bayu, Nisam, Kuta Makmur, dan Muara Batu. Di samping itu, terdapat 40 buah desa yang berada di kawasan pesisir.

Aceh Utara yang beriklim tropis, musim kemarau berlangsung antara bulan Februari sampai Agustus, sedangkan musim penghujan antara bulan September sampai Januari. Suhu dimusim kemarau rata-rata 32.8oC dan pada musim penghujan rata-rata 28oC.

Flora dan fauna, flora yang terdapat di daerah ini terdiri dari berbagai jenis tumbuh - tumbuhan antara lain; kayu merbau, damar, damar laut, semantok, meranti, cemara, kayu bakau, rotan dan sebagainya. Semua jenis tumbuh-tumbuhan hidup subur dikawasan hutan merupakan kekayaan dan potensi yang dapat mendukung pembangunan ekonomi jika mampu dikelola dengan baik tanpa merusak kelestarian alam dan lingkungan.

Sedangkan fauna, Aceh Utara juga memiliki kekayaan dengan berbagai jenis hewan liar seperti gajah, harimau, badak, rusa,indus¬ kijang, orang hutan, babi, ular dan lain-lain sebagainya.


Sumber Berita: www.acehutara.go.id

Read more ...
Designed By