Ratusan tahun berlalu, tak ada yang menyadari Sang
Panglima Perang yang gagah berani di masa kerajaan Samudera Pasai itu terkubur
di sebuah areal pemakaman di Aceh Utara. Keberadaan
Raja Kayanan baru terungkap pada 2009, setelah seorang peneliti sejarah Islam
menginjakkan kaki di kompleks makam itu.
***
“Ini adalah kubur orang penyergap (musuh), yang
berasal dari keturunan terhormat, pemberani lagi pengasih”. Begitulah makna
tulisan dalam huruf arab yang tertera di sebuah batu nisan di sudut Desa
Meunasah Ujoung, Blang Mee, Samudera, Aceh Utara.
Terletak sekitar 2 kilometer dari kompleks
pemakaman Sultan Malikussaleh, batu-batu nisan itu tertutup semak-semak tebal.
Beberapa batu nisan amblas ditelan bumi. Tak ada yang peduli selama
bertahun-tahun. Mungkin, karena tidak ada yang tahu, siapa gerangan yang
terbaring di makam itu. “Tak kenal maka tak sayang”. Begitu kata pepatah. Maka,
ratusan tahun berlalu, kuburan-kuburan itu seolah tak bermakna kecuali onggokan
batu nisan.
Dan, pada awal Juni 2009, peneliti sejarah dan
kebudayaan Islam, Taqiyuddin Muhammad, yang tengah meneliti sejarah Kerajaan
Samudera Pasai, menginjakan kakinya di lokasi makam itu, di sudut Desa Meunasah
Ujoung, Blang Mee, Samudera, Aceh Utara.
Taqiyuddin, yang ahli epigrafi, memeriksa onggokan
batu nisan kuno yang tergeletak tak menentu di komplek makam itu. Ada nisan
yang miring ke kiri, juga ada ke kanan. Selebihnya, nisan-nisan yang telah
amblas, hanya tampak bagian puncak. Dua nisan terlihat beda dari yang lain.
Nisan itu berhias kaligrafi indah ayat-ayat al-qur'an.
Takjub dan kagum. Itulah yang dirasakan Taqiyuddin,
setelah ia berhasil membaca tulisan di nisan itu. “Keterangan inskripsi batu
nisan itu menyebutkan beberapa sifat pemilik makam,” kata Taqiyuddin.
Di antaranya, hadzal qabru al-abban al-hasib
asy-syuja' al-mannan. Makna dari tulisan itu, menurut Taqiyuddin, “ini adalah
kubur orang penyergap (musuh), yang berasal dari keturunan terhormat, pemberani
lagi pengasih”.
Kata-kata asy-syuja' yang berarti pemberani,
menurut Taqiyuddin, sejauh penyelidikan yang ia lakukan sementara ini, hanya
ditemukan pada nisan makam tersebut. Taqiyuddin yang adalah alumni Universitas
Al-Azhar, Kairo, menyimpulkan bahwa kata-kata itu sebagai pujian khusus atas
keberanian dan kepahlawanan seorang pembesar dalam jihad fi sabilillah di masa
silam.
Lantas, siapakah pembesar yang dikubur di lokasi
itu? “Ini adalah makam milik seorang panglima perang di zaman Samudera Pasai,
bergelar Raja Kanayan,” kata Taqiyuddin, putra Peusangan Birueun yang telah
lama menetap di Desa Uteun Bayi, Banda Sakti, Lhokseumawe.
Berdasarkan keterangan di nisan makam itu, kata
Taqiyuddin, Raja Kanayan wafat pada malam Sabtu 3 Sya'ban 872 hijriah (1468 M).
Hal itu menunjukkan bahwa Raja Kanayan telah hidup pada masa pemerintahan
beberapa sultan Samudera Pasai dan meninggal dunia di masa Sultan Zainal
'Abidin bin Ahmad bin Zainal 'Abidin (wafat 878 H/1474 M) menggantikan pamannya
Sultan Mahmud bin Zainal 'Abidin yang wafat pada 23 Jumadil Akhir 872 hijriah
(1468 M), beberapa bulan sebelum wafat Raja Kanayan.
Hal lain yang mendukung intepretasi bahwa Raja
Kanayan sebagai panglima perang di zaman Samudera Pasai, kata Taqiyuddin, ialah
sebuah legenda pertempuran yang dikisahkan dalam Hikayat atau Sejarah Melayu
edisi yang diusahakan oleh W. G. Shellabear. Dalam karya sastra sejarah itu,
pada kisah XIX (hal:112-4), diceritakan bahwa seorang pangeran dari Mengkasar
(Bugis) bernama Semerluki telah diusir oleh ayahnya sebab jatuh hati kepada ibu
tirinya.
Mengutip penjelasan sejarah itu, Taqiyuddin
menyebutkan, sebelum Semerluki pergi merompak ke Ujung Tanah (Melaka), ia telah
membumihanguskan seluruh tanah jajahan di Jawa. Di Melaka ia bertarung dengan
Laksamana (Melaka). Peperangan sengit itu kemudian dimenangkan Melaka, tapi
pasukan Laksamana banyak yang tewas terkena sumpit beracun.
Lalu, Semerluki beralih menyerang Pasai. Mendengar
itu, Raja Pasai memerintahkan Raja Kanayan untuk mengusir Semerluki.
Pertempuran sengit di laut terjadi. Raja Kanayan akhirnya berhasil mengalahkan
Semerluki. Kemudian, Semerluki terpaksa hengkang dari Samudera Pasai. “Ia
mengakui keberanian dan kepahlawanan Raja Kanayan. ‘Berani Raja Kanayan ini
dari Laksamana’ kata Semerluki mengakui kegagahan Raja Kanayan,” demikian
Taqiyuddin mengutip sejarah itu.
Taqiyuddin bilang, berdasarkan legenda yang direkam
dalam Hikayat Melayu itu bisa diketahui bahwa Raja Kanayan ialah seorang
panglima perang laut yang terkenal lihai serta gagah berani di masanya.
Meskipun riwayat hidup Raja Kanayan belum banyak
diketahui, tapi Taqiyuddin memperkirakan Raja Kanayan tak kalah hebatnya dengan
Khairuddin Barbarus (1470-1547), panglima laut (laksamana) Turki 'Utsmani yang
hidup setelahnya.
Pada ke dua nisan makam Raja Kanayan, kata
Taqiyuddin, juga dihiasi syair-syair peringatan untuk menjadi pelajaran bagi
orang-orang yang masih hidup. Di bagian puncak nisan sebelah kaki (selatan)
terukir sebaris doa: “Ighfirillahumma warham li shahibi hadzal qabr (Ya Allah,
ampuni dan rahmatilah pemilik kubur ini)”.
“Ukiran kalimat yang amat jelas terlihat itu seolah
ingin mengingatkan setiap peziarah untuk membacakan doa tersebut kepada pemilik
makam,” kata Taqiyuddin beberapa waktu lalu.
Ketika itu, Taqiyuddin bilang, komplek makam Raja
Kanayan tersebut sepengetahuan dirinya belum tercatat dalam inventaris situs
sejarah Bidang Kebudayaan Aceh Utara. Itu sebabnya, belum pernah dipugar
sebagaimana layaknya.
Kendati temuan dari hasil penelitian Taqiyuddin tentang
makam Raja Kanayan sudah disampaikan ke publik melalui media massa, kala itu.
Tapi Pemerintah Aceh Utara lewat Bidang Pariwisata dan Kebudayaan, baru
tergerak hati pada tahun 2011 untuk mengusulkan anggaran kebutuhan pemugaran
situs sejarah itu.
Kepala Bidang Pariwisata dan Kebudayaan Aceh Utara
Nurliana kepada The Atjeh Post, Sabtu, 12 Mei 2012, menyebutkan, saat ini pihak
rekanan tengah membangun cungkup untuk memayungi makam Raja Kanayan, Panglima
Perang Samudera Pasai, di Desa Meunasah Ujoung, Blang Mee, Samudera. Konstruksi
cungkup makam, kata Nurliana, dikerjakan sejak Senin, 7 Mei lalu dengan dana
APBK Aceh Utara tahun 2012.
Di penghujung April lalu, kata Nurliana, pihaknya
dibantu sejumlah warga telah melakukan pembersihan komplek makam Raja Kanayan
supaya bisa dibangun cungkup. “Penting kita bangun cungkup agar situs sejarah
ini terawat dengan baik,” katanya.
Begitulah, Raja Kanayan, sang Panglima Perang
Samudera Pasai. Makamnya yang bertahun-tahun terabaikan, tanpa ada yang peduli,
kini akhirnya mulai dipugar. Melestarikan warisan budaya yang bernilai. Teramat
bernilai...