Breaking News

Blogger Template

Jumat, 30 Agustus 2013

Tragedi di Masa Konflik




1. Siapakah yang membatai dua ratusan lebih masyarakat Aceh di Pulot Cot Jeumpa pada kurun DI TII. ???
2. Tangan siapa yang berlumuran darah di Tjot Panglima Era DOM ????
3. Pekerjaan siapa atas penyiksaan dan pembunuhanBangsa Aceh Pinto Angen dan Gedung PU Aceh Utara ???
4. Atas Usaha Siapa penyiksaan manusia Islam di Rumoh Aceh ???
5. Siapakah yang membuat kado-kado mayat di masa DOM ???
6. Siapa yang membuat Kuburan Massal di Pantai Kuala Tari dan di Seentoro Aceh tercinta ini ???
7. Siapa pula yang menciptakan banyak janda di Cot Klieng ???
8. Sipa pula yng memuntahkah peluru atas mereka yang menghadiri ceramah agama di IDI dan bau Anyir   darah manusia di Simpang KKA Aceh Utara ???
9. Bagaimana jerita perih mereka yang disiksa di Gedung KNPI Lhokseumawe ???
10. Tak sedihkah saudara bila mengingat kalamereka membantai para teungku dan ulama dan dikuburkan massal tanpa farzu kifayah di Beutong Ateueh, bukankah mereka para Syuhada ???
11. Sipa pula yang membentuk Milisi di Takengon sehingga mereka dengan semenamena membunuh han membakar rumah penduduk pesisir. ???
12. Siapa pula yang membumihanguskan kedai-kedai dan rumah penduduk diseluruh Aceh ???
13. Sudah lupakah anda ketika mereka menyayat-nyayat tubuh seorang ulama di Laweung dan memotong kemaluan serta memasukkan kedalam mulut nauzhubillah summa nauzhubillah. ????
TOLONG JAWAB SEMUA PERTANYAAN INI DENGAN HATI YANG JUJUR DAN DENGAN AQIDAH YANG ANDA MILIKI..!!!!!!!!!!!!
Read more ...

Raja Kanayan, Kembalinya Panglima Perang Samudera Pasai yang Hilang






Ratusan tahun berlalu, tak ada yang menyadari Sang Panglima Perang yang gagah berani di masa kerajaan Samudera Pasai itu terkubur di sebuah areal pemakaman di Aceh Utara. Keberadaan Raja Kayanan baru terungkap pada 2009, setelah seorang peneliti sejarah Islam menginjakkan kaki di kompleks makam itu.

***

“Ini adalah kubur orang penyergap (musuh), yang berasal dari keturunan terhormat, pemberani lagi pengasih”. Begitulah makna tulisan dalam huruf arab yang tertera di sebuah batu nisan di sudut Desa Meunasah Ujoung, Blang Mee, Samudera, Aceh Utara.

Terletak sekitar 2 kilometer dari kompleks pemakaman Sultan Malikussaleh, batu-batu nisan itu tertutup semak-semak tebal. Beberapa batu nisan amblas ditelan bumi. Tak ada yang peduli selama bertahun-tahun. Mungkin, karena tidak ada yang tahu, siapa gerangan yang terbaring di makam itu. “Tak kenal maka tak sayang”. Begitu kata pepatah. Maka, ratusan tahun berlalu, kuburan-kuburan itu seolah tak bermakna kecuali onggokan batu nisan.

Dan, pada awal Juni 2009, peneliti sejarah dan kebudayaan Islam, Taqiyuddin Muhammad, yang tengah meneliti sejarah Kerajaan Samudera Pasai, menginjakan kakinya di lokasi makam itu, di sudut Desa Meunasah Ujoung, Blang Mee, Samudera, Aceh Utara.

Taqiyuddin, yang ahli epigrafi, memeriksa onggokan batu nisan kuno yang tergeletak tak menentu di komplek makam itu. Ada nisan yang miring ke kiri, juga ada ke kanan. Selebihnya, nisan-nisan yang telah amblas, hanya tampak bagian puncak. Dua nisan terlihat beda dari yang lain. Nisan itu berhias kaligrafi indah ayat-ayat al-qur'an.


Takjub dan kagum. Itulah yang dirasakan Taqiyuddin, setelah ia berhasil membaca tulisan di nisan itu. “Keterangan inskripsi batu nisan itu menyebutkan beberapa sifat pemilik makam,” kata Taqiyuddin.

Di antaranya, hadzal qabru al-abban al-hasib asy-syuja' al-mannan. Makna dari tulisan itu, menurut Taqiyuddin, “ini adalah kubur orang penyergap (musuh), yang berasal dari keturunan terhormat, pemberani lagi pengasih”.

Kata-kata asy-syuja' yang berarti pemberani, menurut Taqiyuddin, sejauh penyelidikan yang ia lakukan sementara ini, hanya ditemukan pada nisan makam tersebut. Taqiyuddin yang adalah alumni Universitas Al-Azhar, Kairo, menyimpulkan bahwa kata-kata itu sebagai pujian khusus atas keberanian dan kepahlawanan seorang pembesar dalam jihad fi sabilillah di masa silam.

Lantas, siapakah pembesar yang dikubur di lokasi itu? “Ini adalah makam milik seorang panglima perang di zaman Samudera Pasai, bergelar Raja Kanayan,” kata Taqiyuddin, putra Peusangan Birueun yang telah lama menetap di Desa Uteun Bayi, Banda Sakti, Lhokseumawe.

Berdasarkan keterangan di nisan makam itu, kata Taqiyuddin, Raja Kanayan wafat pada malam Sabtu 3 Sya'ban 872 hijriah (1468 M). Hal itu menunjukkan bahwa Raja Kanayan telah hidup pada masa pemerintahan beberapa sultan Samudera Pasai dan meninggal dunia di masa Sultan Zainal 'Abidin bin Ahmad bin Zainal 'Abidin (wafat 878 H/1474 M) menggantikan pamannya Sultan Mahmud bin Zainal 'Abidin yang wafat pada 23 Jumadil Akhir 872 hijriah (1468 M), beberapa bulan sebelum wafat Raja Kanayan.

Hal lain yang mendukung intepretasi bahwa Raja Kanayan sebagai panglima perang di zaman Samudera Pasai, kata Taqiyuddin, ialah sebuah legenda pertempuran yang dikisahkan dalam Hikayat atau Sejarah Melayu edisi yang diusahakan oleh W. G. Shellabear. Dalam karya sastra sejarah itu, pada kisah XIX (hal:112-4), diceritakan bahwa seorang pangeran dari Mengkasar (Bugis) bernama Semerluki telah diusir oleh ayahnya sebab jatuh hati kepada ibu tirinya.

Mengutip penjelasan sejarah itu, Taqiyuddin menyebutkan, sebelum Semerluki pergi merompak ke Ujung Tanah (Melaka), ia telah membumihanguskan seluruh tanah jajahan di Jawa. Di Melaka ia bertarung dengan Laksamana (Melaka). Peperangan sengit itu kemudian dimenangkan Melaka, tapi pasukan Laksamana banyak yang tewas terkena sumpit beracun.

Lalu, Semerluki beralih menyerang Pasai. Mendengar itu, Raja Pasai memerintahkan Raja Kanayan untuk mengusir Semerluki. Pertempuran sengit di laut terjadi. Raja Kanayan akhirnya berhasil mengalahkan Semerluki. Kemudian, Semerluki terpaksa hengkang dari Samudera Pasai. “Ia mengakui keberanian dan kepahlawanan Raja Kanayan. ‘Berani Raja Kanayan ini dari Laksamana’ kata Semerluki mengakui kegagahan Raja Kanayan,” demikian Taqiyuddin mengutip sejarah itu.

Taqiyuddin bilang, berdasarkan legenda yang direkam dalam Hikayat Melayu itu bisa diketahui bahwa Raja Kanayan ialah seorang panglima perang laut yang terkenal lihai serta gagah berani di masanya.

Meskipun riwayat hidup Raja Kanayan belum banyak diketahui, tapi Taqiyuddin memperkirakan Raja Kanayan tak kalah hebatnya dengan Khairuddin Barbarus (1470-1547), panglima laut (laksamana) Turki 'Utsmani yang hidup setelahnya.

Pada ke dua nisan makam Raja Kanayan, kata Taqiyuddin, juga dihiasi syair-syair peringatan untuk menjadi pelajaran bagi orang-orang yang masih hidup. Di bagian puncak nisan sebelah kaki (selatan) terukir sebaris doa: “Ighfirillahumma warham li shahibi hadzal qabr (Ya Allah, ampuni dan rahmatilah pemilik kubur ini)”.

“Ukiran kalimat yang amat jelas terlihat itu seolah ingin mengingatkan setiap peziarah untuk membacakan doa tersebut kepada pemilik makam,” kata Taqiyuddin beberapa waktu lalu.

Ketika itu, Taqiyuddin bilang, komplek makam Raja Kanayan tersebut sepengetahuan dirinya belum tercatat dalam inventaris situs sejarah Bidang Kebudayaan Aceh Utara. Itu sebabnya, belum pernah dipugar sebagaimana layaknya.

Kendati temuan dari hasil penelitian Taqiyuddin tentang makam Raja Kanayan sudah disampaikan ke publik melalui media massa, kala itu. Tapi Pemerintah Aceh Utara lewat Bidang Pariwisata dan Kebudayaan, baru tergerak hati pada tahun 2011 untuk mengusulkan anggaran kebutuhan pemugaran situs sejarah itu.

Kepala Bidang Pariwisata dan Kebudayaan Aceh Utara Nurliana kepada The Atjeh Post, Sabtu, 12 Mei 2012, menyebutkan, saat ini pihak rekanan tengah membangun cungkup untuk memayungi makam Raja Kanayan, Panglima Perang Samudera Pasai, di Desa Meunasah Ujoung, Blang Mee, Samudera. Konstruksi cungkup makam, kata Nurliana, dikerjakan sejak Senin, 7 Mei lalu dengan dana APBK Aceh Utara tahun 2012.

Di penghujung April lalu, kata Nurliana, pihaknya dibantu sejumlah warga telah melakukan pembersihan komplek makam Raja Kanayan supaya bisa dibangun cungkup. “Penting kita bangun cungkup agar situs sejarah ini terawat dengan baik,” katanya.

Begitulah, Raja Kanayan, sang Panglima Perang Samudera Pasai. Makamnya yang bertahun-tahun terabaikan, tanpa ada yang peduli, kini akhirnya mulai dipugar. Melestarikan warisan budaya yang bernilai. Teramat bernilai...
Read more ...

Kamis, 22 Agustus 2013

Komisi A DPRA Paparkan Subtansi Lambang dan Bendera Aceh



 

 BANDA ACEH - Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Selasa (19/3), memaparkan substansi dan makna dari Lambang Buraq dan Bendera Bulan Bintang, yang akan disahkan menjadi Lambang dan Bendera Aceh.

"Dalam  Rancangan Qanun Bendera  dan  Lambang  Aceh  hasil pembahasan bersama antara Komisi A DPR Aceh dengan Tim Eksekutif sebelumnya berjumlah enam BAB dan 29 pasal, namun setelah pelaksanaan RDPU di Banda Aceh, Jakarta dan dengan Komisi A DPRK se-Aceh, terdapat pengurangan pasal menjadi 28, sedangkan BAB tetap enam," kata Juru Bicara Komisi A DPRA Nurzahri, Selasa (19/3), dalam Sidang Paripurna di Gedung DPR Aceh.

Bentuk bendera dan Lambang Aceh hasil kesepakatan bersama DPR Aceh dan Tim Eksekutif Pemerintah Aceh, Nuzarhri menjelasakan adalah Bendera Aceh berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran lebar 2/3 (dua pertiga) dari panjang, dua buah garis lurus putih di bagian atas, dua buah garis lurus putih di bagian bawah, satu garis hitam di bagian atas, satu garis hitam di bagian bawah, dan di bagian tengah bergambar bulan bintang dengan warna dasar merah, putih dan hitam.
"Makna Bendera Aceh sebagaimana dimaksud pada adalah, dasar warna merah, melambangkan jiwa keberanian dan kepahlawanan. Garis warna putih, melambangkan perjuangan suci. aris warna hitam, melambangkan duka cita perjuangan rakyat Aceh. Bulan sabit berwana putih, melambangkan lindungan cahaya iman, dan Bintang bersudut lima berwarna putih, melambangkan rukun Islam," imbuh Nurzahri.

Sementara itu mengenaui Lambang Aceh, Nurzahri menjelaskan, Lambang Aceh berbentuk gambar yang terdiri dari Singa, bintang lima, bulan, perisai, rencong, buraq, rangkaian bunga, daun padi, semboyan Hudep Beu Sare Mate Beu Sajan dalam tulisan Jawi, huruf ta dalam tulisan arab, dan jangkar.

Makna lambang Aceh, kata Nurzahri, adalah Singa, melambangkan adat bak Poteu Meureuhom. Bintang lima, melambangkan Rukun Islam .Bulan, melambangkan tjahaya iman. Perisai, melambangkan Aceh menguasai laut, darat dan udara. Rencong, melambangkan Reusam Aceh. Burak, melambangkan hukum-hukum bak Syiah Kuala. Rangkaian bunga, melambangkan Qanun bak Putroe Phang. Daun padi, melambangkan kemakmuran. Semboyan hudep beusare mate beu sajan, bermakna kerukunan hidup rakyat Aceh. Kemudi,  melambangkan  kepemimpinan  Aceh  berasaskan  musyawarah dan mufakat oleh Majelis Tuha Peuet dan Majelis Tuha Lapan.

Serta  Huruf ta, dalam tulisan aksara arab bermakna pemimpin Aceh adalah umara  dan    ulama  yang    diberi  gelar  Tuanku,  Teuku,  Tengku dan Teungku. sementara Jangkar, melambangkan Aceh daerah kepulauan.

"Lambang Aceh menggunakan warna dasar yang terdiri dari kuning, kuning keemasan, hitam, dan biru," ujar Nurzahri.sumber:www.acehonline.i
Read more ...

Perjuangan




     Perjuangan rakyat yang tertindas di dunia untuk hak mereka untuk menentukan nasib sendiri telah sering dibayangi oleh gagasan yang disebut "integritas teritorial" dan prinsip noninterference dalam "urusan internal" dari negara yang berdaulat. Ketua Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasama di Eropa (OSCE) membacakan pernyataan selama KTT terakhir di Istanbul, Turki, menyatakan keprihatinan yang mendalam tentang situasi yang mengerikan di Chechnya, tapi pada saat yang sama sangat mendukung "integritas teritorial" dari Federasi Rusia. Dalam menanggapi tuntutan Aceh untuk referendum untuk menentukan masa depan mereka sendiri, banyak menteri Indonesia dan politisi telah blak-blakan menegaskan pentingnya menjaga "integritas teritorial" Indonesia melalui cara apapun. Apakah integritas teritorial sehingga keramat itu melegitimasi penggunaan kekerasan terhadap warga sipil tak berdosa untuk mencegah wilayah dari melepaskan diri? Integritas wilayah negara diakui oleh hukum internasional. Tapi hak asasi manusia, termasuk hak untuk menentukan nasib sendiri, juga merupakan bagian integral dari hukum internasional dan menurut definisi harus menjadi perhatian yang sah dari masyarakat internasional. Ini juga merupakan prinsip utama hukum internasional bahwa legitimasi kontrol negara atas wilayah tergantung pada bagaimana mengakuisisi wilayah itu. Dalam kasus Aceh, wilayah itu sah diduduki oleh Belanda dan kemudian diserahkan kepada yang baru dibuat Republik Indonesia setelah Perang Dunia II tanpa proses hukum internasional dan hukum tentang dekolonisasi. Seorang anggota Mahkamah Internasional, Dillard, mengatakan: "Ini adalah populasi yang memutuskan nasib wilayah dan bukan sebaliknya." Selain itu, konsep "integritas teritorial" dari Indonesia muncul selama era kolonialisme sebagai sarana untuk mencegah batas-batas buatan wilayah yang ditaklukkan dari menjadi negara merdeka yang terpisah. Oleh karena itu, konsep dari "integritas teritorial" dari Indonesia tidak berarti suci atau absolut. 


Dalam beberapa bulan terakhir, masyarakat Aceh, organisasi non-pemerintah dan kelompok-kelompok hak asasi manusia telah berulang kali memperingatkan pemerintah dan organisasi internasional Indonesia, termasuk PBB, bahaya ekstrim pendekatan Pihak Militer Indonesia untuk memecahkan konflik politik di Aceh. Meskipun demikian, militer Indonesia sekarang berencana untuk memberlakukan darurat militer di daerah tersebut - yang berarti lebih banyak darah orang Aceh tak berdosa akan tumpah - dan PBB serta demokrasi Barat masih menganggap konflik Aceh sebagai "urusan internal" dari Indonesia. Di sini sekali lagi, gagasan "urusan internal" yang akan digunakan oleh rezim sebagai lisensi untuk membunuh lebih Aceh dan mencegah intervensi dari luar. Ini sikap tidak bertanggung jawab dari masyarakat internasional juga merupakan pengkhianatan dari prinsip hak rakyat Aceh untuk menentukan nasib sendiri untuk memutuskan masa depan mereka sendiri melalui referendum yang adil dan bebas. Dekade pelanggaran mencolok hak asasi manusia dan politik Indonesia di Aceh bukanlah merupakan urusan internal juga tidak jatuh di bawah yurisdiksi domestik setiap negara. Ini adalah perhatian internasional yang tidak dapat diselesaikan tanpa intervensi internasional. Bahkan jika Indonesia berhasil menduduki Aceh secara militer, dan ini tentu akan menghasilkan lebih banyak kematian dan korban, perang akan terus berlanjut. Sejarah menunjukkan bahwa butuh kolonialis Belanda hampir satu abad untuk memahami Aceh tidak bisa dikalahkan dalam perang. Itu juga mengambil kolonialis Indonesia 54 tahun untuk mempelajari bagaimana Aceh ulet dalam berjuang untuk kebebasan mereka. Dan demonstrasi pro-referendum damai di Banda Aceh pada 8 November 1999, di mana seperempat penduduk Aceh (1,5 juta orang) dari seluruh lapisan masyarakat berpartisipasi, adalah bukti lebih lanjut kepada masyarakat internasional bahwa Aceh bersatu dan siap mengorbankan segala sesuatu yang mereka miliki ketika integritas, martabat dan kehormatan yang tertindas. Dua dekade telah berlalu dan puluhan ribu warga Aceh tak berdosa dibunuh atau menghilang tanpa jejak. Berapa lama masyarakat internasional akan menunggu sebelum mengambil tindakan untuk menyelamatkan orang-orang hidup yang masih bisa diselamatkan, atau harus ada lebih banyak pertumpahan darah di hadapan masyarakat internasional akan bertindak. Membantu membuktikan hal ini tidak terjadi. Mengingat fakta tragis bahwa Aceh telah mengalami berabad-abad penindasan oleh kolonialis Belanda, Jepang dan Indonesia, tidak sulit untuk memahami mengapa mayoritas - jika tidak 100 persen - dari Aceh percaya bahwa kemerdekaan adalah satu-satunya jalan ke depan dan referendum adalah cara yang paling demokratis untuk menyelesaikan konflik Aceh. Oleh karena itu adalah tanggung jawab dari masyarakat internasional, termasuk PBB, untuk mendukung dan menjunjung tinggi hak rakyat Aceh untuk menentukan masa depan mereka sendiri melalui referendum gratis atau plebisit. Dan itu juga merupakan tugas PBB untuk mencegah politik dan HAM dari Aceh dari yang dirampas oleh Indonesia atas dasar "integritas teritorial" dan "urusan internal" Republik Indonesia.

Penulis adalah Sekretaris Jenderal Asnlf Aceh Merdeka di Eropa.
Read more ...

Para keluarga TNI Polri Yang Tertembak Di Aceh dan Papua Menuntut Presiden SBY

 
    Dwi Prasestya Andani salah satu dari 3.440 istri Tni Polri yang suaminya tertembak mati di geudong lhokseumawe aceh utara saat operasi militer GAM atau DOM, mendatangi kediaman presiden sby untuk menuntut sejumlah janji-janji mantan presiden suharto dan megawati dalam penumpasan Gam. Saat ditanya oleh wartawan dwi menyebutkan banyak sekali keluarga korban dari Tni polri yang tidak di hiraukan pemerintah,padahal saat ditugaskan di aceh megawati pernah menyatakan akan menyantuni seluruh keluarga Tni polri jika suami atau ayahnya mati dalam peperangan di aceh, tp sampai saat ini hanya gaji pensiun dan bintang jasa saja yang diberikan,sementara janji pendidikan untuk anak korban tidak di santuni. Dwi menyebutka ada sekitar 3.440 Tni Polri yang mati tertembak di aceh, tapi pemerintah selalu menutupi jumlah tersebut dan melarang mempublikasikan kepada wartawan, saat itu wartawan Rcti Ersa siregar juga pernah menyebutkan jumlah korban Tni Polri yang mati di aceh termasuk suaminya dwi (letda yudistira prasetiya) salah satu personil Yonif tempur Yonzipur medan sumatra utara yang mati bersama 2 kompi pasukan di gedong lhoukseumawe aceh utara. Saat telah ditanda tangani Perdamaian antara Gam dan Indonesia kemarin, dwph juga telah mendatang Pangdam Binjai,menagih janji pemerintah tapi Pangdam menyebutkan sejumlah nama-nama pejabat pemerintah untuk di jumpai Dwi, sampai kemarin Dwi langsung menemui Presiden Sby saat Hut Ri di kediamannya cikeas bogor.  Presiden Sby menyambut baik kedatangan dwi dan akan memberikan dana pendidikan gratis selama 20 tahun kepada anak-anak keluarga korban Tni polri yang mati tertembak di aceh. Usaha dwi menemui hasil yang jelas saat penandatanganan dana itu, dengan bercucuran air mata dwi dan 3.440 istri Tni Polri mengucapkan terimakasih kepada Sby. (md) detik.swip.if 17 agustus 2013 jakarta selatan.

Read more ...

“PERKARA TIPU DAYA NASIONALISME INDONESIA”




Persoalan atau masaalah "nasionalisme indonesia" tidak dapat dipahami dengan tidak lebih dahulu memahami letak, kedudukan, dan lingkungan ilmubuminya (geography) yang menentukan hampir segalagalanya. Kerajaan penjajahan Hindia Belanda yang amat luas wilayahnya itu, yang "kesatuan" haram wilayah penjajahannya masih juga tetap dipelihara sampai hari ini, yakni dengan tidak dibebaskan dan tidak dimerdekakan. Kerajaan penjajahan ini telah dapat dipelihara, disambung, dan diteruskan dengan hanya menukar namanya saja, dari Hindia Belanda menjadi "indonesia". Perlu diketahui bahwa kerajaan penjajahan ini bukanlah satu kesatuan yang seharusnya, bukanlah satu kesatuan yang patut menurut ilmubumi politik (geopolitics). Seluruh wilayah dan pelosok Kepulauan Melayu atau Dunia Melayu ini sudah diletakkan di bawah satu kerajaan penjajahan sematamata dengan pedang Belanda yang berlumur darah kita, yang dimulai dari abad ke16 (1599) dan yang masih diteruskan sampai sekarang, walaupun sejak 27 desember, 1949, pelaksanaan pemerintahan seharihari telah diserahkan oleh Belanda kepada orangorang Jawa yang bekerja untuk kepentingan politik, ekonomi, strategi negaranegara imperialis Barat, atas nama satu bangsa purapura yang dibuatbuat oleh mereka sendiri, itulah "indonesia". Henry Kissinger, bekas Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, adalah benar sekali ketika ia menulis bahwa: "indonesia itu tidaklah berarti apaapa selain sebagai satu sebutan arah diatas peta bumi saja, sampai pada waktu Belanda menyadari bahwa lebih besar untung (laba) baginya kalau seluruh Kepulauan Melayu disatukan di bawah sebuah pemerintahan penjajahan". ("Indonesia was nothing but a geographic expression until the Dutch found out it more efficient to unite the islands of the Indies under a single administration") (1). Sesungguhnya inilah asalusul, biang keladi, dari yang dinamakan "bangsa indonesia" dan "nasionalisme indonesia" yang dibikinbikin dan dibuatbuat sematamata untuk membenarkan "kesatuan" pemerintahan penjajahan, untuk membenarkan "kesatuan" perkiraan labarugi, kreditdebit, dari satu keradjaan penjajahan yang maha luas di dunia sekarang ini. Selama wilayah sesuatu kerajaan atau negara tetap dipelihara, maka kerajaan atau negara itu tetap berdiri dan tetap hidup sebagai sediakala, tidak bubar! Walaupun namanya ditukar dengan nama baru, seperti nama Hindia Belanda sudah diganti dengan nama "indonesia": atau nama sipenjajahnya ditukar dari "Van Mook" dengan "Sukarno, Suharto" atau lainlain lagi. Sebagai satu sebutan nama arah di peta bumi, nama "indonesia" menunjukkan kepada satu wilayah permukaan bumi yang sama panjangnya antara Moskow dengan Lissabon, dan sama lebarnya antara Rome dengan Oslo, dengan penduduk lebih dari 170 juta jiwa, yang terdiri dari berbagai bangsa, berbagai bahasa, berbagai budaya, yang sama banyaknya seperti yang terdapat di benua Eropa, juga sama luasnya dengan wilayah yang disebut secara umum sebagai "indonesia" itu. Maka dengan demikian, adalah bodoh sekali untuk berbicara tentang adanya satu "nasionalisme Eropa" pada hari ini, demikian juga adalah sangat bodoh sekali untuk berbicara tentang adanya satu "nasionalisme indonesia", walaupun hal ini sudah dipropagandakan oleh suratsurat kabar Barat, dan oleh mereka yang menganggap dirinya "pandai", padahal mereka sama sekali tidak memahami sejarah, budaya, sociology dan geopolitics dari Dunia Melayu

Read more ...
Designed By