Breaking News

Blogger Template

Selasa, 11 Juni 2013

Sepotong Kisah Perang Cumbok Dalam Ingatan Pocut Hasmamurni




Sepotong Kisah Perang Cumbok Dalam Ingatan Pocut Hasmamurni

Sigli-Perempuan itu sedang mengupas buah pinang di teras rumahnya--di Meunasah Blang, Kecamatan Sakti, Kabupaten Pidie, Selasa 26 Maret 2013. Di teras rumoh Aceh (rumah adat Aceh) turun-temurun milik keluarganya, perempuan itu menyambut The Globe Journal dengan ramah dan bersahaja. "Sliahkah duduk," katanya.

Rumahnya mungkin tak jauh berbeda dengan rumah-rumah adat Aceh lainnya jika dilihat sekilas, namun jika ditelisik lebih dalam, di rumah itulah panglima pasukan perang cumbok:Teuku Daud Cumbok-- menetap pada masa hidupnya.

Perempuan itu adalah Pocut Hasmamurni, 68 tahun. Ia adalah anak dari pasangan Teuku Muhammad Hasan dan Pocut Siti Fatimah Zuhra. Teuku Muhamad Hasan sendiri adalah anak dari T. Daud Cumbok, sedangkan Pocut Siti Fatimah Zuhra adalah putri dari Teuku Panglima Polem.


kediaman Pocut Hasmamurni di Gampong Meunasah Blang, Kec. Sakti, Kab. PidieT. Daud Cumbok, kakek dari Pocut Hasmamurni, adalah Gunco (bupati) Lamlo (setelah perang Cumbok berakhir Lamlo diganti menjadi Kota Bakti, Kecematan Sakti). Pada akhir 1945 hingga 12 Januari 1946, Perang Cumbok meletus selama 22 hari, dan memakan banyak korban, terutama dipihak Uleebalang.
Perang Cumbok adalah perang antara ulama Aceh yang terhimpun dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) dengan para Uleebalang. Perang tersebut berpusat di Pidie.

Dalam buku Mengapa Aceh Bergejolak, Hasan Saleh menceritakan bahwa Perang Cumbok terjadi tatkala kabar kekalahan Jepang telah diketahui kaum uleebalang, sehingga para uleebalang mulai menyusun rencana menggapai kembali kekuasaan mereka, yang dulunya dengan leluasa bisa mereka peroleh di wilayah-wilayah mereka masing-masing atas perintah Belanda.

"Ketika proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia dicetuskan, golongan feodal bertanya-tanya, apa artinya proklamasi itu bagi kelangsungan kekuasaan mereka," tulis Hasan Saleh.

Namun setiap peperangan pastilah menyimpan luka bagi siapapun yang pernah mengalaminya. Hasmamurni menuturkan, ia kehilangan ayahnya pada saat masih terlalu kecil.

"Ayah saya dikenal pintar, oleh sebab itu ia dikirim Jepang untuk sekolah di Padang, sumatera Barat. Ia teringat kampung halaman, dan memutuskan untuk pulang. Ayah saya dibunuh dan ditanam di Glee Cirieh. Pada saat itu umur saya kira-kira 9 bulan. Cerita kematian ayah saya, saya dengar dari nenek saya saya mulai beranjak dewasa," ungkap Hasmamurni. Ia tak terlihat sedih, seolah peristiwa kelam tersebut telah lama ia ikhlaskan.

Hasmamurni kemudian mengambil sebuah foto di dalam rumahnya. Ia menyodorkan foto ibunya. "Ini Ibu saya, Pocut Siti Fatimah Zuhra. Ibu saya adalah putri Panglima Polem," ujarnya menutup pembicaraan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By