Hati ini, setelah lebih setengah abad Indonesia merdekayang oleh mereka di Jakarta mengatakan negara sudah maju, tapi lebih dari setengah penduduk negeri dari rakyat jelata masih belum tahu bagaimana enak nikmat kemerdekaan, bagaimana amannya hidup di dalam negeri kaya raya ini, bagaimana caranya untuk mendapatkan pendidikan tinggi ke luar negeri seperti mereka yang berasal dari pulau Jawa, apa itu tol, kenapa pelanggaran Hak Asasi Manusia tidak pernah henti semenjak negara ini wujud sampai hari ini, dan kapan rakyat merasa aman dan merasa hidup di dalam negerinya sendiri. Tujuh puluh tahun lebih sudah negara ini merdeka nampaknya kondisi dan situasi di dalam negeri masih seperti baru dua atau tiga tahun merdeka apabila dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Brunai Darussalam dan Singapura yang selama 30 tahun merdeka kini rakyat bisa hidup aman, tentram, makmur dan sejahtera. Mereka memiliki kemudahan fasilitas hidup yang sangat memuaskan seperti penggunaan telepon murah, rumah murah, pendidikan murah, mobil murah, jalan tol yang murah, pengurusan dengan birokrasi yang sangat mudah, kota-kotanya yang indah, bersih dan terserlah, serta hidup penuh persaudaraan sesame bangsa sepertinya hidup di alam syurga. Kalau kesehjahteraan untuk rakyat saja selama lebih 70 tahun tidak dapat diwujudkan, KENAPA MESTI INDONESIA ???
Semenjak negara ini meredeka di tangan bangsa Aceh dengan pertahanan Medan Area dan peran Radio Rimba Raya serta jasa pesawat udara Dakota RZ.I. 001 dan 002 nya, Aceh dan beberapa wilayah lainnya tidak pernah mendapatkan nikmat kemerdekaan. Sebaliknya Aceh senantiasa diletakkan pada posisi yang penuh penganiaan, pembantaian, penipuan, pembakaran dan pelanggaran Hak Asasi Manusia secara besar-besaran. Situasi seperti ini nampaknya seperti Jakarta tidak mau dan mengaku bahwa Aceh sebagai wilayah utama dan paling utama dalam negara yang mereka beri nama Indonesia ini secara operasional. Kalau memang demikian adanya maka KENAPA HARUS INDONESIA ?
Bersambung………….
Sumber : Buku Tamaddun Aceh, Hasanuddin Yusuf Adan