Breaking News

Blogger Template

Sabtu, 15 Juni 2013

SEKILAS ABDULLAH SYAFI'I DAN 6 SENATOR AMERIKA




Pengantar:
Artikel ini ditulis untuk mengenang 10 tahun genap gugurnya Panglima Perang Acheh, Tengku Abdullah Sjafi’e, bersama isteri dan lima pengawal beliau dalam medan perang bukit Sarah Panjang Djimdjim Wilayah Pidië Acheh, pada 22 Januari 2002.

Di penghujung hanyatnya, beliau pernah menerima surat dari enam anggota Senator Amerika Serikat. (Salinan surat tersebut disertakan di bawah catatan ini.)
22 Januari 2004.

OLEH YUSRAN HABIB!

Surat Politik yang Tercecer
Catatan Untuk:
1.Mr. Patrick Leahy
2.Senator Edward M. Kennedy
3.Senator James M. Jeffords
4.Senator Russell D. Feingold
5.Senator Dianne Feinstein
6.Senator Robert G. Torricelli

Biro Penerangan ASNLF Denmark mengucapkan terimakasih atas surat saudara kepada Tengku Abdullah Syafie pada 17 Mei 2001. Ini suatu kehormatan kepada bangsa Acheh, karena telah sudi memberi pandangan guna mencari penyelesaian konflik Acheh secara komprehensif. Sayangnya, surat tersebut sarat dengan hal-hal yang kontroversial. Misalnya sokongan saudara: “we supports the territorial integrity of Indonesia.” Diakui bahwa, ini merupakan hak berbicara di alam demokrasi; namun, keberpihakan ini menunjukkan sikap tidak arif. Semestinya saudara meneladani Ulysses S. Grant, Presiden, Amerika Serikat, yang bersikap “neutral” dalam menengahi perang antara Acheh–Belanda tahun 1873. (See the text of President Gran’ts “Declaration of Impartial Neutrality” dalam (Message and Papers of the Presidents).

Sokongan tersebut hanya memperkeruh keadaan dan nampak betapa dangkalnya pengetahuan sejarah saudara tentang Acheh. Acheh bukan Indonesia. Soal Acheh sekarang berada dalam wilayah territorial integritas Indonesia, ini kesalahan sejarah yang mesti diluruskan. Belanda telah menyerahkan wilayah kedaulatan Acheh kepada Indonesia secara illegal, di saat Belanda sendiri secara de jure dan de facto tidak lagi menguasai Acheh. Walaupun antara tahun 1947-1949 wilayah integritas Netherlands East Indies telah dikuasai kembali seluruhnya, tetapi Belanda tidak berani lagi menduduki Acheh. Artinya, sesudah 7 tahun angkat kaki dari Acheh, baru terjadi penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia pada 27 Desember 1949. Kalaupun terjadi penyerahan, hanya terbatas pada wilayah Netherlands East Indies dan tidak termasuk Acheh. Sebab Acheh, tidak pernah menjadi bagian daripada wilayah territorial integritas Netherlands East Indies yang kini menjadi Indonesia.

Konflik Acheh, mesti ditelusuri akar konfliknya dan mesti diselesaikan melalui prosedure: decolonisasi, referendum atau lewat perundingan, seperti saudara katakan: “we feel strongly that dialogue is the only way to end the conflict and hope that both sides will continue to search for ways to restart negotiations.”
Keberpihakan kepada penguasa, sudah menjadi tabiat di kalangan politisi. Contohnya: sikap loyalist-loyalist Acheh yang berkata: “Aceh tidak akan mungkin bisa lepas dari pangkuan Negara Kesatuan RI. Setelah kemerdekaan diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta, Indonesia yang membentang mulai dari Sabang sampai Merauke sudah ditulis di dalam piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sabang itu adanya di Aceh. Itu tidak bisa diubah oleh siapa pun." (Abdullah Puteh. “Aceh Tak Mungkin Lepas dari NKRI Banda Aceh, Minggu 26-10-2003“ –Serambi Indonesia.)

Di sini terdapat muatan politik satu kelas antara saudara dengan loyalist-loyalist Acheh kepada Indonesia. Streotipe politisi seperti ini, mengingatkan kita kepada realitas sejarah, tatkala Amerika masih merupakan bagian daripada wilayah integritas Inggeris (13 Provinsi) yang pusat pemerintahannya di London. Waktu itu, sokongan terhadap integritas wilayah Inggeris ke atas Amerika disuarakan oleh Senator Philadelphia, Trenton, New York, Saratoga, Albany, Maryland, Savannah, Charleston dan Cornwallis yang dikenal sebagai state yang paling loyal kepada British. Dalam Sidang Kongres menjelang kemerdekaan Amerika mereka berkata: ”Britain and America were ’one country’. ”The Americans are the sons, not the bastards of England” (baca: “The Rise and Fall of the British Empire”, pg 100-109. Lawrence James, 1994). Slogan-slogan loyal kepada mother country (British) tersebut sempat membimbangkan penanda tangan naskah proklamasi kemerdekaan Amerika, namun begitu, mereka tetap menuntut Amerika merdeka. Demikian juga ASNLF, tetap bertekat mewujudkan Acheh sebagai suatu negara, sebab Acheh sudah tegak sebagai suatu negara merdeka dan berdaulat, sewaktu Amerika masih lagi merupakan beberapa provinsi daripada Inggeris raya. Dalam konteks ini, kita tidak akan melupakan streotipe Senator-senator dalam putaran sejarah Amerika.

Saudara juga menyebut: “we believe that the use of arms to solve Aceh’s problem is unacceptable.” Ini sikap ambivalen di satu pihak menyokong wilayah integritas Indonesia, di pihak lain tidak menerima penggunaan senjata dalam penyelesaian Acheh– Sikap kontradiksi ini telah dipakai oleh rezim Indonesia untuk mempertahankan Acheh sebagai salah satu wilayah jajahannya dengan kekuatan senjata. Ini terbukti dari pengerahan serdadu Indonesia secara terang-terangan dan rahasia. Diperkirakan 80.000 personil sudah berada di Acheh. Mereka-lah yang melakukan pembunuhan massal, perkosaan, penculikan, penganiayaan, pembakaran rumah penduduk, pertokoan dan sarana pelayanan masyarakat. Akibatnya, bangsa Acheh terpaksa pengungsi ke tempat-tempat yang dirasa lebih aman demi mengelak dari kebiadaban TNI. Tindakan intimidari dan kekerasan yang dilakukan rezim Megawati merupakan sambungan daripada kebijaksanaan politik rezim Suharto (Orde Baru 1966 - 1998), seperti sudah terjadi di Tim-Tim sepanjang tahun 1975-1998. Sekarang kita tahu, hasilnya gagal dan bisa dipastikan bahwa di Acheh, rezim Indonesia akan mengalami nasib yang sama.

Sikap arogan rezim Indonesia = sikap arogan Inggeris sewaktu mempertahankan Amerika –salah satu bagian wilayah integritas– Inggeris. Ketika Inggeris berhadapan dengan pengamanan wilayah yang bermasalah di Amerika tahun 1774, pihak penguasa memecat Lord Dartmouth, Sekretaris Kolonial, digantikan oleh Lord George Germain. Sementara itu, Gubernur New Jersey, Pennsylvania, Maryland, Virginia, South Carolina turut dipecat karena tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

Lord George Germain kemudian merekrut tentara dari Irlandia, Gibraltar dan Minorca dan disusupkan juga penjahat dari penjara-penjara Inggeris, ditambah 19.000 serdadu asal German dua pertiga diantaranya dari daerah Hessian untuk dikerahkan ke kota-kota di bagian Utara Amerika yang bermasalah. Pasukan gabungan inilah yang melakukan pembunuhan dan pembakaran sesuka hati. Haslinya? Lebih dari 3000 orang hilang, 500 terbunuh, 4.500 mati dalam perang dan sakit. Pendekatan militer yang diterapkan Germain untuk menyesaikan konflik di Amerika pada akhirnya gagal, sebab taktik ini, dalam sejarahnya pernah dipraktekkan oleh Tsaritsa Catherina, yang mengerahkan 20.000 serdadu dan penjahat ke kawasan bermasalah, ternyata gagal.

Ketika suhu politik semakin memuncak, Kongres tetap ngotot supaya Amerika merdeka. Realitas politik ini disadari oleh rezim George III. Untuk itu tahun 1775, Inggeris menawarkan pencabutan ketentuan pajak yang selama ini memberatkan, hanya saja Amerika mesti menghormati supermasi hukum dan Parlemen. Tawaran ini hanyalah trik politik, sebab bersamaan dengan penawaran itu, Letnan Jenderal Thomas Gage diperintah menyiapkan pasukan infantri dari beberapa regimen untuk menguasai kawasan-kawasan rawan. Banyak orang tidak percaya bahwa perang akan meletus antara Inggeris-Amerika, sebab masih banyak yang berpikir –Britain and America were ‘one country’ dan the Americans are the sons, not the bastards of England Tetapi dalam realitasnya, tenyata pertumpahan darah tidak dapat dielakkan. Idé kemerdekaan dan kebebasan tidak bisa dikekang, walaupun Inggeris pada masa itu memiliki kekuatan tentara dan milisi terlatih yang ditempatkan di merata tempat di Amerika.

Demikian juga halnya di Acheh. Perlawanan terhadap Indonesia telah berlangsung sejak tahun 1976 lagi, termasuk upaya penyelesaian konflik Acheh secara damai telah disuarakan dalam Rapat Umum SIRA tahun 1998, yang menghimpun sebanyak 2 juta orang (setengah dari penduduk Acheh) yang menuntut dilaksanakan referendum di Acheh.

Di saat perlawanan bangsa Acheh semakin memuncak, rezim penjajah Indonesia menawarkan paket otonomi Khusus dan Undang-undang Nanggroê Acheh Darussalam [ingat: ketika Inggeris menawarkan pencabutan ketentuan pajak yang selama ini memberatkan, hanya saja Amerika mesti menghormati supermasi hukum dan Parlemen.] Undang-undang ini menyebut: 70% dari hasil bumi Acheh diperuntukkan kepada Acheh, selebihnya disetor ke pusat yang hanya berlaku selama 5 tahun. Sesudah itu: 50% disetor kepada pusat dan 50% dinikmati oleh rakyat Acheh. Semua ini adalah trik politik untuk meredam perlawanan bangsa Acheh. Sebab yang berlaku ialah: sejak UU No. 18/2001 (Otonomi khusus) diundangkan, dalam realitasnya tidak pernah dilaksankan. Yang terjadi justeru pengiriman puluhan ribu serdadu Indonesia untuk mengamankan Acheh.

Bangsa Acheh sudah muak dengan permainan politik dan sistem sentralisasi ekonomi pajak yang dibebankan penjajah Indonesia untuk disetor kepada bandit-bandit Jakarta yang mencekik leher bangsa Acheh. Tantangan terhadap beban pajak, telah disuarakan oleh FPDRA salah satu komponen masyarakat sipil Acheh agar bangsa Acheh tidak membayar segala jenis pungutan dan pajak kepada bandit-bandit Jakarta. Perlawanan ini telah dijawab oleh penguasa militer Indonesia dengan menangkap, menahan, mengadili dan menghukum Kausar (Ketua FPDRA) selama 8 bulan penjara.

Saudara tidak perlu terkejut dengan prilaku rezim Indonesia, sebab rakyat Amerika sendiri mempunyai pengalaman pahit suatu masa dahulu terutama di Amerika bagian Utara telah menantang ketentuan sentralisasi ekonomi dan ketentuan pajak Stamp Act yang mengenakan levy terhadap semua dokumen yang dikeluarkan oleh Lord Grenville rezim London tahun 1765.

Setelah perlawanan bergejolak, barulah Parlemen British memperdebatkan soal ”Stamp Act”. William Pitt, salah seorang anggota Parlemen berkata: ’The Americans are the sons, not the batards of England’. Artinya, Amerika secara hukum, moral dan politik mesti tunduk kepada kehendak bourgeois atas nama penjajah di London. Namun begitu, rakyat Amerika bagian Utara nekat menghidupkan preceden tahun 1754, yang menyetujui embargo terhadap semua barang import Inggeris.

Keberanian menantang ini telah menimbulkan konflik vertikal antara rakyat Amerika dan Inggeris. George III, tetap berpendirian supaya “Stamp Act” diberlakukan, bakhan Gubernur Patterson di Prince Edward Island mengipasi dari belakang. Katanya: “sikap yang ditunjukkan penduduk di Amerika bagian Utara sebagai kekanak-kanakan.”

Berikutnya, “The Tea Act tahun 1773” juga ditantang keras, sebab monopoli Inggeris dirasakan semakin mencekik. Sikap Inggeris semakin kurang ajar dan sudah waktunya orang menghitung: berapa banyak orang Amerika yang masih setia kepada George III, bourgeois berselubung pemerintah.

Rakyat Amerika sudah muak dengan prilaku Inggeris, mulai dari mengeruk kekayaan Amerika dengan tanpa ampun barang barang eksport dari New York dan Hudson’s Bay Company Canada mencapai £250.000 pertahun, dari Pennsylvania mencapai £40.000 pertahun (M.G Lawson, passin) sampai kepada jeritan orang India dan Albany yang diperlakukan tidak manusiawi: ”Our woman and young people present you with this bundle of skins, desiring some spirits to make them cheerful in their own country; not to drink here” (Laech 146,-7). “That man a devil and has stolen our lands, he takes Indians slyly by blanket one at a time, and when they are drunk, puts some money in their bosoms, and persuades them to sign deed for our land upon the Susquehana which we will not suffer to be settled by means” (Nammack. XV).

“Those blessing our Father obtain’d by their blood,We are justy oblig’d as their sons make goodAll internal Taxs let us then nobly spurnThese effigies firt – next the Stamp Paper burn;
“May peace and plenty crown the landAnd civil discord ceace,When Britain stretches for her hand To give her children peace” (lihat: Sro, Peeles diary, GD 21/492/3, 15).

Di Acheh juga orang sudah muak dengan prilaku penjajah Indonesia, mulai dari >>menguras kekayaan Acheh siang malam. Misalnya: “sejak tahun 1978 sampai sekarang, sudah 3.700 pengapalan LNG dari Atjeh. Tiap hari diproduksikan dari perut bumi Acheh sebanyak 38.800 m3 LNG dan 25.200 barrel Condensat, kalikan 4 US dollar/m3 untuk LNG dan 15 US dollar untuk condensat per barrel, berarti setiap hari ada pemasukan 155.200 dollar (1.241.600.000,- rupiah) dari LNG dan 378,000 US dollar (3.024.000.000,- rupiah) dari condensat. Kalikan sebulan 25 hari saja dan potong biaya ini itu, sisanya berapa yang masuk ke rakyat Acheh. Boleh dikatakan NOL Besar alias nihil. Makanya di Acheh sampai hari ini masjid kampus saja sudah terbengkalai selama lima belas tahun. Itulah kenyataan.” (Drs. Nurdin Abdul Rahman. “Sebuah Pendapat Tentang Perjuangan Kemerdekaan Acheh dan Persatuan Islam”. ASNLF.COM).

Ditambah lagi dari hasil dari PT. AAF, PT. PIM, PT. PIM II, PT. Kraf Aceh, PT. Aromatik, PT. SAI, sampai kepada jeritan bangsa Acheh:
“Negeriku adalah sebuah puisi yang gundah,dikhianati masa lalu dan semua masa depanNegeriku adalah nyanyian yang gamang.

Mencari kata-kata diantara kebisuan kemanusiaanNamaku Agam namaku Inong Bagai anjing kami diburuKarena sejarah yang kehilangan arahKarena tangan kami lemah
Kami lari ke gunung dimangsa binatangKami lari ke kota dimangsa kebinatangan
Aku ingin mengembara di negeri-negeri asingMencari nama dan alamat rumah kami yang hilangTerbakar diantara sejarah yang sungsang“(“Namaku Agam” – Puisi Jhon, putra Acheh asal Gayo)

„Tatapi! Tatapi! Jangan tutup matamuJangan pula cucurkan air mata;tatap kenyataan!Kitapun dewasa jadi manusia utuh perkasa;benar robék kalbu ketika ibu kitaPerempuan dan gadis-gadis kampung;Hari ini jadi ikan, jadi daging segar Dilalap harimau lapar bernama perkosaan Apalagi di medan perang tak bisa kita bilang!” (Kasidah Mawar, 30)

„Minyak dan gas Achehtambah ganjaCampur baur di sini dengan mesiu Merebutnya perang menyalaPenduduk jadi arang“ (Kasidah Mawar, 74 J. Kusni, Putra Kalimantan)
”merah langit dibakar fajarriuh Acheh hingga ke bandaranak kita abang berhenti belajarsekolah-sekolah hangus dibakarganja dan peluru berbalut maduAcheh penuh serdadupenduduk jadi mata daduRiuh hutan bukan riuh angin, abangSungai dibelah kapal perangSampai ke tangga ajal datangDi kampung tersimpan rahasia perang. Hidup masih tiram di lautberdua dahulu kita pungutAcheh ditikam terus berlanjutIndonesia kita ditombak maut“ (J. Kusni, Putra Kalimantan)

Klimaksnya, rakyat Amerika memandang perlu kesetaraan kedudukan antara British–Amerika. Begitulah penilaian James Wright, Gubernur Georgia tahun 1775. Pergeseran pemikiran dari perasaan kebangsaan British kepada perasaan kebangsaan Amerika terus berkobar dari kalangan rakyat jelata sampai kepada anggota Kongres. Rezim George III bukan hanya menolak, bahkan mengancam dengan pendekatan militer, jika hasrat merdeka diteruskan. Mengapa Amerika dilarang merdeka oleh Inggeris? “Inggeris tokh sudah cukup bangga dengan nama negeri dinamai dengan karateristik British, seperti: New York, Carolina, Rye, Gravesend, Bedford, dll,” tulis Benjamin Franklin dalam London Chronicle 1770. Di Acheh, bukan saja terjadi pergeseran pemikiran dari perasaan kebangsaan Indonesia kepada rasa kebangsaan Acheh, bahkan lebih dari itu, kantor-kantor yang melayani penduduk kosong melompong selama dua tahun (1999 – 200), bendera merah putih turun dan berkibar bendera negara Acheh, kecuali di gedung-gedung pemerintah. Disini terdapat ”kesamaan” pengalaman sejarah antara Amerika–Acheh. Jadi, Amerika mesti memahami tuntutan bangsa Acheh.

Akan halnya dengan pernyataan saudara: „”… GAM actions may prolong the violence, rather than resolve the conflict. One example is the attack led by Sofyan Daud at the end of March as part of a ”defensive strategy” againts the soldiers stationed around the Exxon-Mobil plant.” Sebenarnya, dengan meletus perang antara Indonesia–Acheh, maka, tidak ada sejengkal pun tanah Acheh yang tidak menjadi lapangan perang, tidak terkecuali kawasan Exxon-Mobil yang terang-terangan telah dipakai TNI sebagai markas pertahanan. Exxon-Mobil bahkan diketahui telah memasok dana operasi kepada TNI. “Kontras Aceh memperkirakan tahun lalu perusahaan ini mengeluarkan dana pengamanan projek sekitar 500.000 dollar AS perbulan, atau setiap harinya 16.000 dollar. Sumber lain menyebut angka tersebut belum termasuk transportasi petinggi militer yang hilir mudik Jakarta-Medan-Lhok Seumawé, berikut penginapan dan keperluan lain yang menjadi tanggungjawab perusahaan ini” (ExxonMobil dan Gejolak Aceh – Kompas 24 September 2001).

ExxonMobil terlibat dalam pelanggaran HAM di Acheh. Itu sebabnya The International Labor Rights Fund yang bertindak sebagai pengacara dari 11 keluarga korban asal Acheh Utara telah menggugat ExxonMobil yang dinilai “terlibat dan bertanggungjawab atas pelanggaran HAM di Acheh, yang membantu operasi militer, pembunuhan, penculikan, penyiksaan dan pemerkosaan yang dialamai keluarga 11 penduduk desa Acheh Utara. Kejahatan tersebut dilakukan oleh aparat militer Indonesia yang menjaga keamanan perusahaan ExxonMobil. Gugatan ini juga menyebut bahwa, ExxonMobil telah menyiapkan logistik dan barak militer, yang juga dijadikan tempat penyiksaan. Selain itu ExxonMobil juga meminjamkan eskavator bagi kuburan massal korban penyiksaan” (Kompas 24 September 2001. New York Times edisi 21 Juni 2001).

Itulah sebabnya, maka: “Selama aparat TNI dan Brimob Indonesia-Jawa berada disana, AGAM tidak bisa memberi jaminan keamanan pada perusahaan itu”. Demikian kata Tengku Abdulalh Sjaf’ie. Artinya, serangan GAM diarahkan semata-mata kepada markas TNI yang berada dalam kawasan ExxonMobil, bukan menyerang pegawai dan meledakannya, sebab sejak ExxonMobil beroperasi di Acheh belum pernah ada gangguan dari pihak GAM.

Yang jelas, bahwa Indonesia dan penanam modal asing mempunyai kepentingan ekonomi di Acheh, khususnya ExxonMobil. Di sini nampak bahwa kepentingan mereka lebih diutamakan ketimbang penyelesaian konflik Acheh secara menyeluruh. [Dalam konteks ini, sudah menjadi amalan bagi industri migas dimana saja berada, ternyata lebih banyak membawa bala ketimbang berkah bagi empunya negeri. Inilah yang berlaku di Nigeria, Sudan, Angola, dan Congo]

Bicara soal kedudukan ExxonMobil di Acheh, Amerika tentu tidak melupakan kasus ”Ohio Company” Joint venture Perancis-Inggeris suatu masa dahulu. Ketika itu, Perancis dan Inggeris berebut pengaruh untuk menguasai “Ohio Company”. Untuk itu, pada tahun 1749, Perancis memerintahkan Gubernur Quebec Marquis Duquesne bersama Jenderal Lord Abercromby mengawal ”Ohio Company” dengan kekuatan 11 kompi dan siap-siaga di sekitar Fort William Henry dan Ticoderoga, sementara Brigjen John Forbes memimpin 7 kompi di Fort Duquesne. Inggeris menjawab dengan menutup jalur perdagangan menembusi Utara Amerika–New York dan menugaskan Jenderal Amberst dan James Wolfe memimpin 30 kompi menjaga Ohio dan menyerang St. Lawrence dan Quebec. Pada September 1754, Jenderal Edward Braddock, John Cambell, William Pitt, Mayor Jenderal Jeffry Ambest dan Brigjen James Wolfe menyerang dan pada tahun 1755 baru berhasil menguasai kedudukan Perancis di Fort Cumberland, beberapa km saja dari pangkalan Perancis di Fort Duquesne yang dikawal oleh Johan Herman Von Dieskau. Bagaimanapun, kehadiran pasukan milisi dari Virginia dibawah pimpinan George Washington tahun 1754 ke Ohio dan Pelabuhan Necessity, turut meredakan perang Inggeris-Perancis yang berlaga memperebutkan “Ohio Cmpany”. [menguasai kota-kota penting di atas adalah tindakan mensteril kawasan “Ohio Company” agar tidak ada gangguan.]

Akhirnya, pada tahun 1762–63 perang ini diselesaikan lewat rundingan antara Inggeris-Perancis, dimana Perancis (yang kalah perang) mesti menyerahkan wilayah jajahannya dan berharap supaya 70.000 pendatang asal Perancis yang berada di Utara Amerika dan seluruh orang India ditampung aspirasi politiknya. Kemudian ”Ohio Company” diamankan oleh pasukan gabungan: 18 Kompi tentara Perancis dan 30 kompi tentara Inggeris.

Dalam kasus “Ohio Company” (Amerika), peperangan terjadi antara pemilik modal, sementara ExxonMobil (Acheh), peperangan meletus antara TNA versus TNI yang menempatkan 30.000 personil untuk mengamankan projek ini. Antara Ohio dan Lhôk Seumawé terdapat mata rantai yang berhubungan, yakni: sama-sama mendapat celaka dan bencana. Kasus “Ohio Company” adalah refleksi daripada ketamakan dan keserakahan kolonial nggeris+Perancis yang mengeruk kekayaan bumi Amerika siang-malam. Hasilnya untuk membangun gedung-gedung pencakar langit di London dan Paris, memperkaya kaum kolonial, sementara rakyat Ohio hidup menderita, kedapatan malapeta dan menjadi korban dari pertarungan dua kuasa. Dan “Masyarakat Aceh yang kuat identitas kedaerahannya, tidak lagi melihat manfaat kehadiran ExxonMobil. Kecuali hanya sekedar memandang dari kejauhan perumahan mewah staf perusahaan ini yang dilengkapi sarana pengobatan, lapangan golf, pertokoan dan bermandikan cahaya sinar lampu pada malam hari. Di bawah gubuk-gubuk yang gelap dan pengap itulah rakyat Aceh mengenang kejayaan masa silam. Mengenang para pejuang yang memilih syahid daripada terhina di bawah perintah kaphé (kafir).” (ExxonMobil dan Gejolak Aceh – Kompas 24 September 2001)

Saudara juga mengatakan: “We understand that Aceh the are many groups and individuals who claim to be GAM and that actions heve been caried out in the name of GAM that were never endorsed by the GAM leadership.“ Dalam struktur AGAM, hanya satu garis komando –tidak dikenal “Orang Tidak Dikenal” dan kelompok bajingan lain. Taktik kontra inteligen Indonesia-lah yang menciptakan banyak kelompok bersenjata di Acheh seperti: OTK, Milisi, Brimob, Gegana, Polri dan TNI. Sebagai bukti, Tabloit Aceh Kronika, No. 55, edisi November 2000, memuat judul: ”Brimob Berbaju AGAM. Strategi Perang?” dalam laporan utama (halaman 3) ditulis: ”Anggota Brimob mengenakan kaus oblong berlengan panjang warna biru gelap. Di sisi kiri atas dada, terdapat satu logo yang melingkar satu singa dan satu buraq. Sementara itu, di dada tengah oblong itu terdapat dua garis lingkaran putih yang memagari tulisan „Keumando Geurila Atjeh Meurdehka“ dan didalamnya tedapat bendera GAM.“ Taktik seperti ini pernah dipraktekkan TNI di Tim-Tim yang menyamar sebagai pasukan Falinti. Jadi, argumentasi saudara sangat lemah, sebab fakta tidak akurat.

Saudara juga berkata: ”we would also oppose GAM action that in any way violate human raights. We urge GAM to respect the fundamental rights of all individuals, including non Acehnese in Aceh…” Pernyataan tersebut menyudutkan GAM karena dituduh melakukan pelanggaran HAM. Pada hal fakta di lapangan membuktikan, TNI-lah yang melakukan pelanggaran HAM di Acheh. Hal ini telah dibuktikan sendiri oleh KOMHAMNAS yang ikut menggali kuburan massal di Bukit Sentang, Bukit Tengkorak, Kuala Tari, desa Djeumeurang, Tjôt Panglima, Rumoh Geudông, Komplek Laksus Lameuloë (kota Bakti), Kém Ratjông, Kém Tualang Tjôt dan di beberapa lokasi lainnya. Laporan media asing dan KOMNASHAM patut menjadi rujukan dalam menyikapi pelanggaran HAM di Acheh. Sebagai gerakan kemerdekaan, GAM bertujuan melindungi dan menyelamatkan bangsa Acheh dari kebiadaban TNI, bukan untuk menyakiti, menyiksa dan membunuh bangsa sendiri.

Soal penduduk non Acheh yang terkena imbas perang, sejak awal sudah diingatkan oleh Tengku Abdullah Safie, Tengku Sofyan Daud (wakil Panglima perang Wil. Pase), Tengku Darwis Djinéb (Panglima perang Wil. Batee Iliëk), agar penduduk non Acheh keluar dari Acheh untuk sementara waktu, atas alasan keamanan. Setelah Acheh merdeka, mereka dapat kembali lagi. Tetapi seruan ini tidak diindahkan. Tragisnya, justeru bangsa Acheh sendiri terpaksa mengungsi ke tempat-tempat yang dirasa aman dari amukan TNI.

Perlu diketahui, bahwa penduduk non Acheh transmigrasi asal Jawa telah dipakai sebagai ’enclave’ (suatu sistem pertahanan militer dengan membuat kota-kota pertahanan apabila ada serangan dari dalam. Mereka tidak mau berbaur dalam peradaban bangsa Acheh. Buktinya: lokasi penempatan transmigrasi pun di-jawa-kan, seperti: Sidodadi, Sidoardjo, Karangredjo, Situbondo. [Ingat: nama-nama state di Amerika dinamai dengan karateristik British, seperti: New York, Carolina, Rye, Gravesend, Bedford, dll ]

Lebih dari itu, transmigran ini telah dilatih sebagai milisi bersenjata. Tempat latihannya: Jagong, Timang Gajah, Blang Mantjong, Blang Jorong dan Angkup, (Acheh Tengah). Milisi inilah yang membakar perkampungan penduduk asli, membunuh dan menculik penduduk setempat yang dianggap pro kemerdekaan, khususnya di Acheh Tengah. Ribuan penduduk Acheh Tengah (Gayo) terpaksa meninggalkan harta-kekayaan, melarikan diri ke luar Acheh Tengah demi menyelamatkan nyawa. Semua harta-benda yang tinggal telah dirampas oleh para milisi bersama TNI, termasuk peristiwa pembantaian terhadap Tengku Bantaqiyah bersama 61 anak didik beliau di Beutông Ateuëh, nyata-nyata TNI bersama milisi pelakunya.

Prilaku biadab transmigran asal Jawa di Acheh ini mengingatkan kita kepada prilaku transmigran asal Scotlandia dan Irlandia Utara seramai 24.000 >> 85.700 ribu ke Pennsylvania dari tahun 1710 - 1930. Dan transmigrasi sebanyak 30.000 asal Inggeris, 55.000 asal Iralndia dan 40.000 asal Scotlandia yang membludak di beberapa state di Amerika dari tahun tahun 1760 - 1775. Mereka sengaja dikirim dan direkrut sebagai pasukan milisi Inggeris untuk menghabisi rakyat Amerika anak jajahan yang menolak kehadiran transmigrasi dan yang bersikap anti British. Milisi inilah yang melakukan pembunuhan, perkosaan dan pembakaran sesuka hati di Amerika.

Tindakan biadab milisi terhenti, setelah potilik penjajahan Inggeris berada di ujung tanduk menolak kebijaksanaan militer Inggeris yang mengandalkan kekerasan, intimidasi dan pembunuhan di Amerika. Selain itu, ”new American’s” transmigran asal Scotlandia, Irlandia Utara dan Inggeris mulai sadar bahwa tindakan mereka hanya untuk kepentingan rezim London yang sama sekali tidak merubah nasib mereka dan akhirnya memutar arah perlawanan politik dan militer kepada Inggeris. Sebetulnya, dilihat dari sudut sociology dan cultural, antara Amerika–Inggeris memiliki persamaan bahasa, warna kulit, sejarah, budaya, falsafah, identitas, adat-istiadat dan resam, namun begitu konflik vertikal tidak dapat dielakkan. Amerika tetap bertekat merdeka dari penjajahan Inggeris. Konon lagi antara Acheh dan ”Indonesia”–Jawa, yang sama sekali berbeda falsafah hidup berbangsa dan bernegara, tidak ada hubungan sejarah, politik dan budaya; berbeda peradaban, perasaan kebangsaan (nasionalisme), identitas, adat-istiadat dan resam, maka sangat logik dan rasional jika terjadi konflik vertikal di Acheh.

Lebih ektreem lagi, di kalangan ”new American’s”, terjadi pergeseran pemikiran dari perasaan kebangsaan Inggeris kepada perasaan kebangsaan Amerika dan berani berteriak mempertanyakan empayer British, resam, adat-istiadat dan identitas masing-masing. Di sini, terdapat perbedaan menyolok antara transmigran asal Scotlandia, Irlandia Utara dan Inggeris di Amerika dengan transmigran asal Jawa di Acheh. Di Amerika, para transmigran segera sadar dan pada akhirnya berjuang bersama rakyat Amerika untuk memerdekakan Amerika. Sementara di Acheh, transmigran asal Jawa, diciptakan untuk memusuhi dan memerangi bangsa Acheh agar menghentikan perlawanan kepada penguasa Indnesia-Jawa yang berpusat di Jakarta.


Saudara juga mengatakan: ”… and that GAM as an organization adhere to the principles enshrined in the Universal Declaration of Human Rights and the Geneva Convention as the relate to intern conflict.” Sekali lagi, sebagai gerakan kemerdekaan, GAM sah menggunakan senjata untuk mengusir penjajah Indonesia dari Acheh. Tindakan GAM sesuai dengan keputusan Sidang Umum PBB, 12 Oktober 1970, no. 2621-XXV yang menyebut: “Mengakui hak hukum (legal) dari gerakan kemerdekaan bangsa-bangsa dijajah, termasuk perjuangan menggunakan senjata untuk mengusir penjajah (baca:Indonesia) dari negerinya sendiri.” Itu sebabnya, walaupun sudah ribuan serdadu Indonesia mati di Acheh, penjajah Indonesia tidak dapat menuntut kepada dunia internasional bahwa tindakan GAM melanggar HAM. Tindakan GAM mengikut aturan hukum Internasional. Sebaliknya, sebagai senator-senator dari sebuah negara merdeka, mesti bertanggungjawab terhadap pelaksanaan Resolusi PBB, 2625-XXV (sub a) yang menyebut: “Kewajiban negara-negara merdeka adalah menghapuskan penjajahan dan melarang menggunakan kekerasan terhadap bangsa-bangsa yang sedang menuntut kemerdekaan.”

Dalam konteks ini, patut dipertanyakan pernyataan saudara, terutama yang behubungan dengan anak kalimat “… as the relate to intern conflict”, sebab jika ditelusuri akar konflik di Amerika suatu masa dahulu, muncul pertanyakan sbb: Apakah konflik yang ditimbulkan oleh sistem Pajak “Stamp- Act” yang dikeluarkan oleh Lord Grenville tahun 1765 (berlaku tahun 1766) –yang mengenakan levy terhadap semua dukomen– yang dirasakan mencekik leher orang Amerika, dianggap sebagai intern conflict Inggeris? Apakah kemarahan Amerika kepada George III yang ngotot supaya “Stamp Act” tetap berlaku, jika perlu dengan intimidasi, kekerasan dan pembunuhan, sebagaimana dibuktikan dalam ‘tragedi Boston’ tahun 1772 yang mengorbankan ribuan orang sipil mati, dianggap sebagai intern conflict Inggeris? Apakah penolakan terhadap George III yang menawarkan pencabutan ketentuan pajak yang selama ini memberatkan, hanya saja Amerika mesti menghormati supermasi hukum dan Parlemen, dianggap sebagai intern conflict Inggeris? Apakah usaha rakyat Amerika di bagian Utara menghidupkan preceden 1754, yang menyetujui embargo terhadap semua barang import Inggeris, dianggap sebagai intern conflict Inggeris?

Apakah perubahan sikap rakyat Amerika yang berkata: ’sudah waktunya orang menghitung berapa banyak orang Amerika yang masih setia kepada George III bourgeois berselubung pemerintah dan Amerika tetap ngotot menuntut merdeka dari penjajahan Inggeris, dianggap sebagai intern conflict Inggeris? Apakah penolakan rakyat Amerika terhadap ketentuan ‘The tea Act tahun 1773, bisa dianggap sebagai intern conflict Inggeris? Apakah penentangan rakyat Amerika terhadap kebijaksanaan monopoli perdagangan British yang mematikan ekonomi rakyat dan menyulut terjadinya konflik antara Amerika-Inggeris, disifatkan sebagai intern conflict Inggeris? Jawabannya sudah tentu tidak, bukan? Sebab rakyat Amerika memandang bahwa konflik Amerika-Inggeris adalah konflik vertical Amerika merasa dijajah dan Inggeris penjajah Jika konflik tersebut diartikan konflik intern Inggeris sebab Amerika salah satu wilayah integritas Inggeris maka rakyat dan Kongres Amerika tidak perlu menuntut dan menanda tangani proklamasi kemerdekaan 4 Juni tahun 1776.

Dasar pikiran rakyat Amerika menuntut merdeka sangat berbeda dengan dasar pikiran bangsa Acheh. Acheh adalah suatu negara tertua di dunia, ketika Amerika masih lagi sebagai salah satu wilayah territorial Inggeris, Acheh sudahpun merdeka dan berdaulat sejak tahun 1500-an. Jadi GAM tidak memperjuangkan negara Acheh baru, melainkan menyambung kembali kedudukan Acheh sebagai sebuah negara merdeka dan berdaulat –successor state– Hanya saja diakui, bahwa putaran sejarah sedang bergulir, sehingga Acheh, kini berada dalam wilayah territorial Indonesia.

Jadi jelaslah bahwa, konflik Acheh bukan konflik intern indonesia, melainkan konflik vertikal Indonesia penjajah dan Acheh terjajah dan, penjajahan ini wajib dihapuskan, sebab berlawanan dengan tamaddun, pri kemanusiaan dan keadilan.

Akhirnya, intervensi untuk menyelesaikan konflik Acheh diperlukan suatu identifikasi masalah, analisis, kebenaran sejarah dan kebenaran moral. Mengapa mesti atas dasar kebenaran (justification?) Sebab kami bangsa Acheh sepakat dengan Alexander Hamilton yang berkata: „justice is the end of goverment. It is the end of civil society. It ever has been and ever will be pursued until it will be obtained, or until liberty be lost in the pursuit.”

Demikian.
========================

Salinan:

UNITED STATES SENATE
WASHINGTON, DC 20510
May 17, 2001

Tgk Abdullah Syafi’iec/q Teungku Nashiruddin bin AhmadGam-Joint Committee on Security MattersKuala Tripa Hotel Banda Aceh, Aceh

Dear Tgk Nashiruddin:
We are writing to convey our concern about the deteriorating situation in Aceh. We support the territorial integrity of Indonesia and we believe that the use of arms to solve Aceh’s problems is unacceptable. We feel strongly that dialogue is the only way to end the conflict, and hope that both sides will continue to search for ways to restart negotiations.

We understand that in Aceh there are many groups and individuals who claim to be GAM, and that actions have been carried out in the name of GAM that were never endorsed by the GAM leadership. We are encouraged by your practice of repeatedly denouncing such violations and hope you will continue to do so, but we are also concerned that some GAM actions may prolong the violence, rather than resolve the conflict. One example is the attacks led by Sofyan Daud at the and of March as part of a ‘’defensive strategy’’ against the soldiers stationed around the Exxon-Mobil plant.

While we do not believe the U.S. Government should support a military offensive in Aceh, we would also oppose GAM actions that in any way violate human rights. We urge GAM to respect the fundamental rights of all individuals, including non-Acehnese in Aceh, and that GAM as an organization adhere to the principles enshrined in the Universal Declaration of Human Rights and the Geneva Conventions as the relate to internal conflict

Sincerely,
1. Mr. Patrick Leahy, United States Senator
2. Senator Edward M. Kennedy, United States Senator
3. Senator James M: Jeffords, United States Senator
4. Senator Russel D. Feingold, United States Senator
5. Senator Dianne Feinstein, United States Senator
6. Senator Robert G.Torricelli, United States Senator

posted;biokaleuhmate.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By