Menangnya pasangan Zaini Abdullah dan Muzakir
Manaf (Zaini-Zakir) pada pilkada gubernur karena berbagai sebab. Walau jika
ditilik dari segi hakikat, semuanya takdir Allah. Sepanjang sejarah manusia,
baik disukai atau tidak, orang-orang perang mutlak menguasai wilayah selama 10
tahun setelah damai.
Setelahnya, ingatan masyarakat pada perang sudah pudar
dan berkembang kembali sehingga jika sesuai dengan rakyat, orang-orang tersebut
memimpin kembali. Partai Aceh (PA) yang dibentuk oleh mantan GAM tidaklah
seperti partai kebanyakan. Kalau bisa disebut, PA bukan partai, ianya dibentuk
oleh Komite Peralihan Aceh (KPA) produk mantan GAM karena tuntutan keadaan
setelah MoU Helsinki 15 Agustus 2005.
PA militan, menguasai sistem pemerintahan sampai
seluruh kampung di Aceh. Mereka jago mempengaruhi penduduk, baik dengan cara
halus maupun dengan cara kurang halus. Ini tidak mungkin dilakukan oleh partai
manapun yang bukan lahir dari perubahan gerakan perjuangan. Pengalaman pahit
ditemukan PA selama lima tahun masa Irwandi-Nazar menjadi gubernur yang diusung
orang-orang yang kemudian membentuk PA.
Sebelum ini, semua daerah di Aceh, baik yang
kepemimpinannya dipegang oleh orang usungan PA atau bukan, keadaan tetap
membingungkan PA sendiri. Masalahnya, sebelumnya orang-orang ini dididik untuk
melawan, tapi tiba-tiba setelah MoU Helsinki, mereka diperintahkan untuk
memimpin, sementara ilmu kepemimpinan belum diberikan.
Masalah lain, mereka harus bersinergi dengan sistem
pemerintah yang tadinya ‘musuh besar.’ Maka, kedua sistem tersebut kacau
sehingga menjadi sistem baru yang lahir secara prematur dan berakibat pada
kemarahan rakyat yang tidak diuntungkan oleh sistem barus tersebut.
Saat itu, Irwandi-Nazar sini hanyalah boneka yang
lahir dari kacaunya sistem secara tiba-tiba. Keduanya terpilih karena dukungan
mantan GAM. Namun ketika mendapat posisi yang tak pernah diimpikan sebelumnya,
kedua orang ini terlena sehingga menganggap mereka terpilih karena didukung oleh
rakyat. Inilah yang membuat keduanya mencalonkan dirinya menjadi gubernur tanpa
bergabung dengan PA.
Kenyataan ini membuat PA sadar bahwa ‘jika bukan
anggota mereka sendiri, tidak bisa dipercaya. Walau sepintar atau sepopuler
apapun, jika bukan anggota sendiri tetap tidak bisa dipercaya. Harus anggota
sendiri yang diusung.’ Intinya, selama 10 tahun setelah damai, siapapun yang
didukung PA pasti menang, kecuali di satu atau dua tempat tertentu yang dari
sebelum damai PA tak berkuasa.
PA menganggap pemilukada adalah lanjutan perjuangan
sehingga seluruh anggota dari sistemnya bekerja mati-matian sebagai pertaruhan
harga diri mereka dan harga perjuangan. Semua usaha harus dilakukan, apapun
itu. Dari sinilah muncul cara lembut dan kurang lembut. Jikalau sebelum
pemilihan ditemukan intimidasi dan paska pemilihan ditemukan kecurangan dari
PA, maka mungkin saja muncul gugatan, tapi gugatan pihak manapun tidak akan
berpengaruh pada hasil kemenangan PA. Walau dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK)
sekalipun, tetap PA yang menang dan laporan-laporan akan dilupakan begitu saja.
Bagi rakyat Aceh sendiri, walau banyak yang tidak lagi
simpati kepada sebagian anggota PA, mereka masih sangat mencintai perjuangan
untuk kehormatan Aceh dan menjaga perdamaian. Rakyat di Aceh ingin perdamaian
terpelihara sehingga mereka memilih calon gebernur/wakil gubernur usungan PA,
karena sistem PA yang memegang kendali perdamaian.
Selain itu, rakyat masih menghargai orang-orang yang
telah meninggal dunia saat perang Aceh. Dan, bagi sebagian besar rakyat Aceh,
Muzakir Manaf masih menjadi orang yang sangat diidolakan. Mereka ingin melihat
bagaimana Aceh jika Muallem, begitulah sapaan akrab untuk Muzakir Manaf, sang
panglima menjadi pemimpin Aceh secara sah dan total.
Masalah lain, sebelum ini PA tidak mudah melobi
Jakarta karena belum paham sistem politik partai nasional yang berkuasa di
Jakarta. PA pun sadar, sikap emosional saat membangunkan idelologi di Aceh dulu
tidak bisa dipakai lagi, tapi kini sikap perjuangan harus diimbangi dengan
rasio dalam menghadapi lawan politik yang bermain aturan tertulis.
Inilah yang membuat mereka membuka diri dengan partai
dari luar Aceh. Jadi, ikutnya komponen masyarakat sipil, partai politik seperti
PAN dan Golkar yang mendukung calon gubernur usungan PA, lebih kepada tujuan
politis urusan hubungan dengan Jakarta.
Artinya, di Aceh, PA tidak butuh dukungan parta-partai
nasional. PA tetap menang tanpa dukungan partai-partai tersebut sebab selama
tahun-tahun terakhir perang Aceh era ini (2000-2005), pengaruh partai nasional
telah ‘dibersihkan’ di Aceh. Bagi partai nasional, walau pemilih di Aceh kurang
dari empat juta jiwa, tapi Aceh sangat penting untuk ukuran gengsi dan
keberhasilan partainya di Istana Negara dan parlemen Jakarta.
Aceh, bagi Indonesia, seperti gadis manis yang seksi,
siapa yang dapat perhatiannya akan populer dan dianggap hebat. Dalam hal ini,
PA satu-satunya organisasi yang memiliki sejarah panjang untuk mengubah nasib
Aceh sehingga bagi Jakarta, Aceh adalah PA. Intinya, Aceh mempengaruhi politik
di Indonesia. Siapa yang bisa berbaik-baik dengan Aceh adalah partai nasional
pemenang.
Dan, parahnya, di Indonesia ke depan, kemungkinan
besar partai pemenang adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan
Partai Golongan Karya (Golkar). Keduanya dalah ‘mantan musuh besar’ PA. Maka
ajaiblah arah sejarah politik di Aceh dan Indonesia. Siapa yang memerlukan
siapa?
Satu lagi untuk Zaini-Zakir, munculnya dukungan dari
kalangan para mantan jenderal adalah cerita lain. Ini adalah risiko besar, baik
bagi RI atau mantan GAM sendiri. Risiko bagi RI adalah mereka tidak bisa lagi
membendung arus Aceh jika jaringan PA masuk ke Istana Negara dan parlemen di
Jakarta. Risiko bagi PA, mereka membuka ruang untuk ‘ditelanjangi’ oleh Jakarta
sehingga maksud-maksud yang lebih besar dari otonomi khusus tidak mudah lagi
diperjuangkan.
Semua pihak lebih cenderung menyelamatkan perdamaian.
Lelah dan lukanya berperang masih terasa. Seperti kata orang, ‘dalam politik,
tidak ada kawan atau musuh abadi.’ Ini persis strategi Sun Tzu yang
mengharamkan kompromi dan menyerah, tapi jika keadaaan tidak lagi
menguntungkan, diharuskan melarikan diri untuk menyerang di lain waktu.
Deklatator GAM (Yang Mulia, Almarhum) Hasan Tiro, memilih strategi menutup
semua pintu untuk disusupi dan menjauhi pintu-pintu ‘musuhnya.’
MoU Helsinki dan UUPA mungkin bukan barang tawar lagi,
tapi harus diperjuangkan dengan usaha keras. Keadaan membuat sejarah politik di
Aceh berubah dan fleksibel. Selamat menghadapi perubahan dan berkembanglah di
atasnya untuk bisa melestarikan budaya dan memajukan peradaban Aceh. Kepada
Zaini-Zakir, jadilah pemimpin Aceh yang dapat kami banggakan seperti Sang
Pembaharu Aceh (Yang Mulia, Almarhum) Hasan Tiro.
Oleh Thayeb Sulaiman, Redaktur Budaya
Harian Aceh, Direktur Lembaga Budaya Saman, Ketua Laskar Peradaban Aceh.
Dimuat: Halaman Muka Harian Aceh, Rabu 11 April 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar