Breaking News

Blogger Template

Sabtu, 15 Juni 2013

Mengapa Zaini-Zakir Menang?




          Menangnya pasangan Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf (Zaini-Zakir) pada pilkada gubernur karena berbagai sebab. Walau jika ditilik dari segi hakikat, semuanya takdir Allah. Sepanjang sejarah manusia, baik disukai atau tidak, orang-orang perang mutlak menguasai wilayah selama 10 tahun setelah damai.
Setelahnya, ingatan masyarakat pada perang sudah pudar dan berkembang kembali sehingga jika sesuai dengan rakyat, orang-orang tersebut memimpin kembali. Partai Aceh (PA) yang dibentuk oleh mantan GAM tidaklah seperti partai kebanyakan. Kalau bisa disebut, PA bukan partai, ianya dibentuk oleh Komite Peralihan Aceh (KPA) produk mantan GAM karena tuntutan keadaan setelah MoU Helsinki 15 Agustus 2005.
PA militan, menguasai sistem pemerintahan sampai seluruh kampung di Aceh. Mereka jago mempengaruhi penduduk, baik dengan cara halus maupun dengan cara kurang halus. Ini tidak mungkin dilakukan oleh partai manapun yang bukan lahir dari perubahan gerakan perjuangan. Pengalaman pahit ditemukan PA selama lima tahun masa Irwandi-Nazar menjadi gubernur yang diusung orang-orang yang kemudian membentuk PA.
Sebelum ini, semua daerah di Aceh, baik yang kepemimpinannya dipegang oleh orang usungan PA atau bukan, keadaan tetap membingungkan PA sendiri. Masalahnya, sebelumnya orang-orang ini dididik untuk melawan, tapi tiba-tiba setelah MoU Helsinki, mereka diperintahkan untuk memimpin, sementara ilmu kepemimpinan belum diberikan.
Masalah lain, mereka harus bersinergi dengan sistem pemerintah yang tadinya ‘musuh besar.’ Maka, kedua sistem tersebut kacau sehingga menjadi sistem baru yang lahir secara prematur dan berakibat pada kemarahan rakyat yang tidak diuntungkan oleh sistem barus tersebut.
Saat itu, Irwandi-Nazar sini hanyalah boneka yang lahir dari kacaunya sistem secara tiba-tiba. Keduanya terpilih karena dukungan mantan GAM. Namun ketika mendapat posisi yang tak pernah diimpikan sebelumnya, kedua orang ini terlena sehingga menganggap mereka terpilih karena didukung oleh rakyat. Inilah yang membuat keduanya mencalonkan dirinya menjadi gubernur tanpa bergabung dengan PA.
Kenyataan ini membuat PA sadar bahwa ‘jika  bukan anggota mereka sendiri, tidak bisa dipercaya. Walau sepintar atau sepopuler apapun, jika bukan anggota sendiri tetap tidak bisa dipercaya. Harus anggota sendiri yang diusung.’ Intinya, selama 10 tahun setelah damai, siapapun yang didukung PA pasti menang, kecuali di satu atau dua tempat tertentu yang dari sebelum damai PA tak berkuasa.
PA menganggap pemilukada adalah lanjutan perjuangan sehingga seluruh anggota dari sistemnya bekerja mati-matian sebagai pertaruhan harga diri mereka dan harga perjuangan. Semua usaha harus dilakukan, apapun itu. Dari sinilah muncul cara lembut dan kurang lembut. Jikalau sebelum pemilihan ditemukan intimidasi dan paska pemilihan ditemukan kecurangan dari PA, maka mungkin saja muncul gugatan, tapi gugatan pihak manapun tidak akan berpengaruh pada hasil kemenangan PA. Walau dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) sekalipun, tetap PA yang menang dan laporan-laporan akan dilupakan begitu saja.
Bagi rakyat Aceh sendiri, walau banyak yang tidak lagi simpati kepada sebagian anggota PA, mereka masih sangat mencintai perjuangan untuk kehormatan Aceh dan menjaga perdamaian. Rakyat di Aceh ingin perdamaian terpelihara sehingga mereka memilih calon gebernur/wakil gubernur usungan PA, karena sistem PA yang memegang kendali perdamaian.
Selain itu, rakyat masih menghargai orang-orang yang telah meninggal dunia saat perang Aceh. Dan, bagi sebagian besar rakyat Aceh, Muzakir Manaf masih menjadi orang yang sangat diidolakan. Mereka ingin melihat bagaimana Aceh jika Muallem, begitulah sapaan akrab untuk Muzakir Manaf, sang panglima menjadi pemimpin Aceh secara sah dan total.
Masalah lain, sebelum ini PA tidak mudah melobi Jakarta karena belum paham sistem politik partai nasional yang berkuasa di Jakarta. PA pun sadar, sikap emosional saat membangunkan idelologi di Aceh dulu tidak bisa dipakai lagi, tapi kini sikap perjuangan harus diimbangi dengan rasio dalam menghadapi lawan politik yang bermain aturan tertulis.
Inilah yang membuat mereka membuka diri dengan partai dari luar Aceh. Jadi, ikutnya komponen masyarakat sipil, partai politik seperti PAN dan Golkar yang mendukung calon gubernur usungan PA, lebih kepada tujuan politis urusan hubungan dengan Jakarta.
Artinya, di Aceh, PA tidak butuh dukungan parta-partai nasional. PA tetap menang tanpa dukungan partai-partai tersebut sebab selama tahun-tahun terakhir perang Aceh era ini (2000-2005), pengaruh partai nasional telah ‘dibersihkan’ di Aceh. Bagi partai nasional, walau pemilih di Aceh kurang dari empat juta jiwa, tapi Aceh sangat penting untuk ukuran gengsi dan keberhasilan partainya di Istana Negara dan parlemen Jakarta.
Aceh, bagi Indonesia, seperti gadis manis yang seksi, siapa yang dapat perhatiannya akan populer dan dianggap hebat. Dalam hal ini, PA satu-satunya organisasi yang memiliki sejarah panjang untuk mengubah nasib Aceh sehingga bagi Jakarta, Aceh adalah PA. Intinya, Aceh mempengaruhi politik di Indonesia. Siapa yang bisa berbaik-baik dengan Aceh adalah partai nasional pemenang.
Dan, parahnya, di Indonesia ke depan, kemungkinan besar partai pemenang adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Golongan Karya (Golkar). Keduanya dalah ‘mantan musuh besar’ PA. Maka ajaiblah arah sejarah politik di Aceh dan Indonesia. Siapa yang memerlukan siapa?
Satu lagi untuk Zaini-Zakir, munculnya dukungan dari kalangan para mantan jenderal adalah cerita lain. Ini adalah risiko besar, baik bagi RI atau mantan GAM sendiri. Risiko bagi RI adalah mereka tidak bisa lagi membendung arus Aceh jika jaringan PA masuk ke Istana Negara dan parlemen di Jakarta. Risiko bagi PA, mereka membuka ruang untuk ‘ditelanjangi’ oleh Jakarta sehingga maksud-maksud yang lebih besar dari otonomi khusus tidak mudah lagi diperjuangkan.
Semua pihak lebih cenderung menyelamatkan perdamaian. Lelah dan lukanya berperang masih terasa. Seperti kata orang, ‘dalam politik, tidak ada kawan atau musuh abadi.’ Ini persis strategi Sun Tzu yang mengharamkan kompromi dan menyerah, tapi jika keadaaan tidak lagi menguntungkan, diharuskan melarikan diri untuk menyerang di lain waktu. Deklatator GAM (Yang Mulia, Almarhum) Hasan Tiro, memilih strategi menutup semua pintu untuk disusupi dan menjauhi pintu-pintu ‘musuhnya.’
MoU Helsinki dan UUPA mungkin bukan barang tawar lagi, tapi harus diperjuangkan dengan usaha keras. Keadaan membuat sejarah politik di Aceh berubah dan fleksibel. Selamat menghadapi perubahan dan berkembanglah di atasnya untuk bisa melestarikan budaya dan memajukan peradaban Aceh. Kepada Zaini-Zakir, jadilah pemimpin Aceh yang dapat kami banggakan seperti Sang Pembaharu Aceh (Yang Mulia, Almarhum) Hasan Tiro.
 Oleh Thayeb Sulaiman, Redaktur Budaya Harian Aceh, Direktur Lembaga Budaya Saman, Ketua Laskar Peradaban Aceh.
Dimuat: Halaman Muka Harian Aceh, Rabu 11 April 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By