Adalah satu tanda dari pada
kedudukan Kerajaan Acheh yang terkemuka dan menduduki tempat penting dalam
dunia ketika President Ulysses.S.Grant dari Amerika Serikat segera mengeluarkan
satu pernyataan yang luar biasa, yang dinamakan ‘Pernyataan Berdiri-Sama-tengah
Yang Tidak Memihak’ (‘Proclamation of Impartial Neutrality’) dalam perang
antara Belanda dengan Acheh. Dalam perjanjian ini dinyatakannya pula bahwa
Amerika Serikat tidak mau membenarkan serangan Belanda atas Acheh. (MESSAGES
AND PAPERS OF THE PRESIDENTS, washington, D.C. , 1874).
Sesudah kemenangan di Bandar
Acheh barulah pemerintah Kerajaan Acheh menuntut kepada pemerintah Inggeris
supaja menunaikan tugasnya membantu Kerajaan Acheh menurut Perjanjian antara
kedua negara. Menurut perjanjian itu Inggeris mempunyai keawajiban untuk
membantu Acheh melawan serangan Belanda. Tetapi amat disesalkan bahwa
pemerintah Inggeris pada waktu itu mengchianati perjanjian yang sudah
ditanda-tangani oleh wakil2nya yang berkuasa penuh itu. Kejadian ini akan tetap
mendajdi bukti dan saksi sejarah bagaimana janji2 Kerajaan inggeris itu tidak
dapat diperjajai. Debat yang terjadi di parlemen Inggeris perkara Perjanjian
Pertahanan dengan Kerajaan Acheh ini kemudian membuktikan bahwa pemerintah
Inggeris sudah menerima suapan dari Belanda supaja tidak menepati dan
menghormati janjinja dengan Kerajaan Acheh, dengan Belanda menyerahkan satu
jajahannya di Afrika kepada Inggeris: jajahan itu ialah Gold Coast, sekarang
Ghana. Lord Granville, Menteri Luar Negeri Inggeris pada waktu itu, dalam
jawabannya kepada Habib Abdul Rahman Zahir, Menteri Luar Negeri Acheh, pada 15
Juli, 1873, tidak pernah mengatakan bahwa Perjanjian Pertahanan Acheh-Inggeris
itu tidak sah, atau tidak berlaku lagi, atau sudah dibatalkan, tetapi ia hanya
mengatakan bahwa Inggeris tidak mau memenuhi kewajibannya menurut Perjanjian
itu. Oleh Menteri Luar Negeri Inggeris itu tidak dibantahnya perkara ada dan
sah-nya Perjanjian itu. Ia hanya tidak mau melakukan kewajibannya menurut
Perjanjian itu. Alasan yang diberikannya untuk berchianat itu ialah karena
Inggeris "sudah menanda-tangani satu perjanjian lain dengan Belanda yang
isinya berlawanan dengan Perjanjian dengan Acheh itu" dan juga dengan
alasan bahwa Inggeris "telah tidak menjalankan dengan terus-menerus
kewajibannya terhadap Acheh dalam Perjanjian itu."
Politik pemerintah Inggeris
untuk tidak menghormati dan mengchianati Perjanjian-nya dengan Kerajaan Acheh
itu mendapat kejaman yang amat keras dalam surat2 kabar Inggeris, dan dalam
Parlemen inggeris hungga hal itu menjadi perdebatan besar dalam pemilihan umum
beberapa tahun lamanya. Hal ini juga menjadi satu bukti tentang kuatnya
kedudukan Acheh dalam politik dunia internasional sebagai satu negara merdeka
yang kedaulatannya diakui dunia dan tidak pernah menjadi persoalan atau
perdebatan. Thomas Gibson Bowles, seorang pemimpin partai politik dan anggota
Parlemen menulis sebuah artikel dalam majallah FRAZER’S MAGAZINE, yang terbit
di London, dimana ia menamakan jawaban Lord Granville kepada Acheh sebagai
"satu dokumen yang paling tidak mempunyai rasa malu, yang pernah ditulis
manusia". Ia menamakan Perjanjian Inggeris-Belanda dimana Belanda
menyerahkan satu daerah di Afrika kepada Inggeris untuk merugikan Acheh sebagai
"satu tawar-menawar haram", dan jawaban Menteri Luar Negeri Inggeris
kepada Acheh dinamakannya satu "satu pengakuan yang memalukan untuk
meninggalkan kewajiban terhadap Acheh yang mencerminkan sikap orang2 Kementrian
Luar Negeri Inggeris yang selalu sedia mengchianati Perjanjian
antara-negara." Thomas Gibson Bowles membuat kesimpulan: "Surat dari
Lord Enfield (Wakil dari Lord Granville) kepada Sultan Acheh bersifat sama
sebagai di atas juga, sebab waktu oleh Sultan Acheh diminta bantuan Inggeris,
menurut Perjanjian, supaja Inggeris membantu Acheh, oleh Enfeld dikatakan bahwa
Inggeris tidak dapat memenuhi Perjanjian itu sebab Inggeris sudah lebih dahulu
melanggarnya, dan ia menasehati Sultan Acheh supaja berbaik-baik dengan Belanda
yang menyerangnya. Dalam kedua kedua perkara ini, pihak yang bersalah yang
berpura-pura berchutbah kepada pihak yang menjadi korban, dan melatakkan atas
pundak yang tidak bersalah, tanggung-jawab dari pihak yang bersalah. Kami
mengatakan bahwa yang bersalah adalah pemerintah Inggeris." (FRAZER’S
MAGAZINE, London, Januari, 1874,p.124-134).
Lord Stanley of Alderley,
seorang bangsawan Inggeris, berdiri dalam Majlis Tinggi Parlemen Inggeris
(House of Lords) membela Acheh dan mengejam Pemerintah Inggeris sebab telah
melanggar Perjanjian Pertahanan dengan Achehh. Beliau menuntut supaja
Pemerintah Inggeris menghormati dan memenuhi kewajibannya menurut Perjanjian
Pertahanan tersebut, dan supaja Inggeris membantu Acheh melawan Belanda. Dalam
sebuah pidato pada tanggal 28 Juli, 1873, beliau berkata:
"Belanda tidak
mempunyai alasan dan tidak mempunyai sebab untuk menyerang Acheh yang tidak
berbuat apa2 kepada Belanda. Sekarang Belanda sudah menyerang Negara Acheh dan
sudah dikalahkan dan digagalkan. Kejatuhan Acheh akan menyebabkan kehancuran
kemuliaan kita diseluruh Asia Timur dan Asia tenggara; kekejewaan besar akan
dirasa oleh warga Inggeris di Asia Tenggara dan oleh orang2 Melaju di Malaja,
yang kesan baik dari mereka adalah sangat penting bagi kita. Perjanjian baru antara
inggeris dengan Belanda ini bukan saja merusakkan kemuliaan Negara Inggeris
tetapi juga merusakkan kepentingan ekonomi kita. Sistem penjajahan Belanda di
Jawa bukan saja berlawanan sekali dengan kebebasan perdagangan, tetapi hampir
tidak berbeda dari perbudakan – Belanda menamakannya
"kerja-tidak-bergaji" – sehingga tidak ada alasan sama sekali mengapa
pemerintah Inggeris mau menolong meluaskan sistem ini samapai ke Sumatera
Utara, atau se-kurang2nya mengapa tiadk dibuat pengejualian untuk Acheh sebab Negara
Acheh berhak mengharap kita tidak melupakan kemerdekaannya yang dari zaman
purbakala, dan sejarahnya yang gilang-gemilang, sebab Acheh sudah menjadi satu
negara Merdeka ketika Belanda masih satu provinsi Spanyol.
"Sejak waktu itu Acheh
sudah mempunyai pengaruh yang besar sekali atas Selat Melaka, dan mengirimkan
armada besar2, yang sering mengalahkan armada yang besar2, yang sering
mengalahkan armada Portugis dalam setiap peperangan. Lebih 300 tahun yang lalu
Acheh sudah meletakkan dirinya dibawah perlindungan Chalifah osmaniah (Turki)
dan meriam besar2 yang dikirimkan oleh Sultan Salim sebagai hadiah kepada Raja2
Acheh masih dapat dilihat sampai sekarang di Pidië dan Pasè. Perlu kita tanya:
mengapa Belanda telah menyerang satu negara Merdeka dan berdaulat yang tidak
berbuat apa2 terhadap negeri Belanda, dan ini dilakukan pada waktu dimana
Belanda sendiri masih takut kemerdekaannya yang baru diperoleh itu mungkin
dirampas oleh negara lain, lebih2 sesudah perang Perancis – sebab semua kita
mengatahui bahwa di Jerman ada satu partai yang ingin mengambil negeri Belanda
dan merampas tanah jajahannya sekali, dan sebagian besar orang Jerman sudah
jakin bahwa golongan terbanyak dari bangsa Belanda memang ingin bersatu dengan
Jerman. Dalam hal ini, Jerman mempunyai hak yang sama besar atau sama kecflnya
seperti "hak" Belanda untuk menyerang dan menjajah Acheh. Jawa saja
tidak menjadi soal, tetapi kalu Sumatera dimasukkan kebawah Jawa maka mungkin
baru inggeris tidak akan mengakuinya. Dalam sesuatu keadaan, sikap pemerintah
Inggeris sudah dapat diterka, misalnya seperti waktu negeri Belanda jatuh dalam
tangan Perancis pada awal abad ini (dimana Inggeris menduduki Jawa supaja Jawa
dyangan diambil oleh Perancis). Inggeris masih mungkin membiarkan Jawa jatuh
ketangan Tuan-nya yang lain, tetapi mustahil Inggeris dapat menerima Acheh
jatuh kedalam tangan sesuatu kekuasaan militer yang kuat. Sebab sebagai sudah
dikatakan oleh Admiral Sherard Osborn baru2 ini, Acheh adalah satu tempat yang
amat penting sekali dalam strategie perang lautan." (HOUSE OF LORDS,
Speech of Lord Stanley of Alderlley, 28 juli, 1873. Hansard, Vol. 217,
p.1077-1081)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar