Breaking News

Blogger Template

Rabu, 04 Februari 2015

Aceh Dipimpin Ratu


             Taj’al-Alam, janda Sultan Iskandar Tsani dan puteri Sultan Iskandar Muda, memerintah selama 34 tahun, masa yangcukup lama, terutama bagi seorang wanita pemimpin. Dalam masa penuh politik intrik asing dan ancaman pengkhianatan dari tokoh-tokoh yang ingin merebut tahta, maka masa 34 tahun itu tidak akan dapat dilampaui dengan selamat oleh Taj’al-Alam tanpa ada kelebihandalam kepribadiannya. Aceh dapat membanggakan kebesaran dari tokoh wanita ini dalam sejarahnya mungkin tidak ada duanya dalam lesmbaran seajarah nasional pada masanya.

 Menuurt catatan Bustanul’s-Salatin, Taj’al-Alam ditabalkan pada hari yang sama pada saat suaminya meninggal dunia. Maka gelarnya lengkap yaitu : Paduka Sri Sultan Taj’Alam tsafiatu’ddin Syah Berdaulat Zillu’lahi Fi’l’Alam binti’s Sultan Raja Sultan Iskandar Muda Johan Berdaulat. 

Menurut Bustanu’s-Salatin, Taj’al-Alam mengutamakan pendidikan agama dan perekonomian, utamanya dengan meningkatkan penggalian emas. Dia adalah seorang negarawan bukan seorang militer. Sayang, belum banyak penelitian mengenani masa pemerintahannya. Mungkin karena dia seorang wanita dan kebesaran masa Sultan Iskandar Muda tidak berhasil dicapainya kembali. Sungguhpun demikian, prestasinya sebagai cukup besar. Kecuali Ratu Elizabeth dari Inggris, pada masa itu tidak tedengar peranan seoaang raja perempuan yang demikian mengagumkan seperti Taj’al-Alam.

Kelebihan Taj’al-Alam dalam memerintah terlihat dari dukungan para menteri, orang besar, dan ulama. Menurut catatan, lembaga kenegaraan Tiga Segi diterapkan pada masa Taj’al-Alam. Turut mendukungnya adalah dua orang cerdik pandai dan berpengaruh, yaitu Syekh Nuru’ddin Ar-Raniri dan Syekh Abdu’rr-Ra’uf. Dengan dukungan tersebut berarti tidak ada hambatan keagamaan terhadap seorang wanita menjadi Raja.

Cukup menarik membicarakan perseoalan kedudukan wanita di Aceh yang dianggap tidak janggal memegang jabatan tinggi bahkan menjadi raja. 375 tahun dahulu, Aceh telah pernah mempunyai seorang laksamana wanita. John Davis telah menceritakan apa yang dilihatnnya sendiri. Dua abad lalu tampil kedepan untuk memerintah seorang wanita yang kesanggupan dan ketangkasannya tidak beda dengan apa yang dimiliki oleh seorang raja laki-laki.
Taj’al-Alam bukan saja telah mengatasi ujian berat untuk membuktikan kecakapannya memerintah, tapi juga berhasil mengadakan pembaharuan dalam pemerintahan, memperluas pengertian demokrasi yang selamaini kurang disadari oleh kaum laki-laki sendiri. Jika catatan tuanku ahmad dapat dijadikan pegangan, pada zaman sebelum Taj’al-Alam sudah berlangsung suatu demokratisasi pemerintahan, yaitu adanya suatu badan mahkamah atau badan resmi yang merupakan badan musyawarah. Taj’al-Alam telah memperluas jumlah anggota tersebut dengan menyertakan wanita dan menambahkan jumlah wanita sebanyak 18 orang lagi, mewakili mukim-mukim tiga segi 22, 25, dan 26 mukim) di Aceh Besar. 

Pada masa Sultan Iskandar Muda “hak berserikat” sudah mendapat perhatian dalam mana hak wanita atasa harta pencarian serupa suaminya. Dengan perkataan lain wanita sebagai isteri turut sebagai pemegang saham atas harta pencarian, bukan sebagai “jujuran”. Juga pada masa itu telah dibentuk suatu divisi wanita yang diberi nama divisi “keumala cahaya.” kemudian, Taj’al-Alam adalah penggemar olahraga.

Dr. J. Jakobs yang mengupas persoalan wanita Aceh, mengmukakan bahwa wanita memimpin bukanlah perseolan aneh. Katanya : “Tijdens onze expeditie naam samalanga had aldaar eene vrouw met naam pocut maligai als regentens de teugels van het bewind in handen en wist haar gezag met kracht te handhaven zij dreigde toentertijds iedereen werrbaren man met straf van ontmanning, wanneer hij in den oorlog zijne plicht als landverdediger mocht verzaken”. (bahasa Belanda)

Jacobs meneceritakan bahwa keurutu sudah pernah seorang wanita menjadi hulu balang, yakni Cut Nya’ Kerti. Demikian pula, Cut Nyak Fatimah di salah satu mukim di Aceh Barat. Jacobs mengatakan bahwa keberhasilan pemerintahan yang dipimpin oleh wanita di Aceh selama lebih setengah abad telah mendorong penulis bernama ploss menyatakan dalam risalahnya, “Das Weiss in des Natuur-und Volkenkunde, II,” halaman 444, untuk mengatakan, bahwa “Aceh telah menjadi contoh bagaimana di kepulauan Indonesia pun wanita sewaktu-waktu bisa menjadi pengaruh dibidang politi.” “Das markwiirdigste Beispiel von Frauenregierung biete des reich Atjeh auf Sumatra.

Tenntu saja pengaruh terkemukan yang dapt diperebut oleh wanita di masyarakat bergantung sekali hasil peranan yang dijalankannnya, terutaama yang sudah jelas tentunya adalah kesanggupan dan keberanian berkelahi atau berperang. Jika kesanggupan dan keberanian itu ada,apalagi mengagumkan, maka wanita akan mendapat tempat tidak kalah bahkan bisa lebih dari laki-laki. Sedikit banyak agaknya terasa jug didalam masyarakat Aceh bahwa wanita merupakan faktor yang kadang-kadang tidak bolehdiabaikan. Itulah pula sebab banyak daerak dikenal apa yang disebut Ada “ganti tikar” atau diAceh dikenal “metukar bantai, ” yaitu adik atau abang dari seorang suami yang meninggal menggantikan adik atau abangnya mengawini sang janda. Bukan saja maksudnya supaya harta peninggalan tidakjatuh ke tangan orang lain, tapi juga untuk mepertahankan pengaruh yang sudah tertanam didalam mesyarakat berkat peranan wanita tersebut.

“Pada suatu kali Galdorp bersamatiga buah brigadenya pernah menyergap tempat persembnyian lawan yang terdiri dari empat orang pria bersama isteri-isteri mereka.  Laki-laki itu segera dapat ditewaskan. Dan pada waktu orang menyangka, bahwa perseolannya sudah selesai. Akan tetapi, wanita-wanita itu mengambil senjata-senjata suami mereka lalu menyerang pasukan; merek bertembur selama nyawa ada di badan.

Dalam banyak tulisan yang dibuat olen penulis asing dan Indonesia sendiri, rencong merupakan senjata andalam masyarakat Aceh dalam menghadapi musuh. Banyak para pejuang Aceh yang hanya bermodalkan senjata rencong untuk menerobos benteng musuh.

Selain untuk menyerang, rencong juga biasa digunakan untuk membela diri, untuk kepentingan berperang, untuk berburu hewan/binatang. Asal usul rencong kapan mula dibuat oleh orang Aceh itu tidak begitu jelas. 

Sumber : Berbagai refernsi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By